Ayam Goreng Digarong Kucing - Kisahikmah #4

Oleh: @ziatuwel

Seorang pemuda melamun. Ada satu rasa penasaran di benak pemuda yang sedang bersemangat mengais ilmu dan berdakwah itu. Ia heran mengapa tiap kali ayahnya berceramah, khalayak begitu khidmat, khusyuk, bahkan tak jarang mereka histeris menangis. Padahal gaya pidato ayahnya biasa-biasa saja.

Hal ini menjadi ganjalan di hatinya tiap kali ayahnya, yang tak lain adalah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, sedang berceramah. Ekspresinya datar, tidak ada akrobat gaya tubuh dan intonasi menggebu-gebu. Ia pun bergumam, "Jika aku yang ceramah, tentu orang-orang akan terkesima."

Hingga dalam satu kesempatan, entah tahu darimana, Syaikh Abdul Qadir berujar kepada putranya, "Nak, nanti kamu yang mengisi pengajian."

"Baik, Ayah!" tukas putranya itu, bersemangat.

Si pemuda naik mimbar. Ia mulai berceramah dengan susunan kata yang indah. Tak lupa ia sampaikan ayat-ayat Quran, hadits-hadits Nabi, kisah-kisah teladan, hingga syair-syair yang indah. Bahasa tubuhnya pun atraktif dan meluap-luap. Namun para hadirin biasa-biasa saja. Tidak ada yang terpukau apalagi sampai menitikkan air mata. Bahkan mereka terkesan menunjukkan gerak-gerik bosan dan tak nyaman.

Pemuda itu betul-betul heran. Ia merasa sudah menampilkan seluruh kemampuan dan pengetahuannya. Setelah ia turun dari mimbar, giliran sang ayah menyampaikan ceramah. Seusai salam dan pembuka, ayahnya berpidato,

"Saudara-saudara. Ada seorang fakir yang sangat miskin..."

Jamaah mulai memperhatikan serius.

"... Makanan yang dia punya hanya sepotong daging ayam goreng di rumahnya. Itu pun hasil pemberian..."

Mulai ada yang menunduk khusyuk.

"... Lalu ia tinggalkan sebentar ayam itu di meja makan. Setelah ia kembali, ternyata ayam itu sudah hilang digarong kucing!"

Seketika pecah tangis jamaah. Ada yang terisak lirih, ada pula yang histeris. Semua tenggelam dalam keharuan yang tak terkatakan. Hanya si pemuda yang termangu heran. Bagaimana bisa pidato sebiasa itu membuat hati orang-orang tergugah?

Selesai pengajian, ia bertanya kepada salah seorang hadirin, pria paruh baya yang tadi menangis tersedu-sedu. Apa yang membuatnya tersentuh oleh ucapan sang ayah. Dijawab oleh pria itu,

"Bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan Guru tadi mengisahkan perumpamaan yang sangat mengerikan!"

"Maksud Bapak bagaimana?"

"Kita ini hanyalah hamba yang fakir, segala amal perbuatan kita hanyalah anugerah dari Allah. Namun setiap hari kita lalai, dengan kesombongan, pamer, menggunjing, dan sebagainya. Hingga segala amal yang kita kerjakan bertahun-tahun itu lenyap digarong oleh setan! Lalu mati su-ul khotimah!"

Terpana si pemuda menyimak penjelasan pria yang mulai berkaca-kaca itu. Ia mulai sadar bahwa ayahnya tidak hanya berceramah dengan lisan, melainkan dengan sepenuh hatinya. Ayahnya tidak sedang menularkan pengetahuan, melainkan sedang menuangkan cahaya. Sehingga khalayak pun menerimanya dengan hati, dan yang diterima pun tak sekedar susunan kata-kata, melainkan bulir-bulir cahaya.

___
*Sumber: dikisahkan oleh guru kami, Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan, dalam jalsah malam Rabu di Al-Fachriyah, Tangerang Selatan. Foto: masjid Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad, Irak.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya