Pesona Pasar Slumpring Cempaka

Oleh: Zia Ul Haq

Tak semua tempat wisata yang kukunjungi kutulis di medsos. Tapi untuk wisata Pasar Slumpring ini, rasanya musti kukabarkan kepada teman-teman. Sebab tidak hanya nuansa plesiran, tetapi juga kental dengan unsur pemberdayaan masyarakat, penampilan budaya, dan pelestarian lingkungan.

Sejak dibuka pada Oktober 2017 yang lalu, obyek wisata baru di kabupaten Tegal ini mampu menyalip wisata legendaris pendahulunya, Obyek Wisata Air Panas Guci. Baik menyalip dalam urusan jumlah pengunjung maupun pendapatannya. Hingga kini, terhitung transaksi perdagangan di Pasar Slumpring mencapai 15 juta rupiah perminggunya, bahkan pada liburan akhir tahun lalu tembus 48 juta rupiah. Sedangkan pengunjungnya mencapai 7.000 orang tiap pekan.

Lokasinya di desa Cempaka, kecamatan Bumijawa, kabupaten Tegal. Area wisatanya sendiri kulihat tak terlalu luas. Hanya berupa kebun bambu beberapa petak saja. Namun diuntungkan dengan adanya sumber mata air berupa embung kecil di dekatnya bernama Tuk Mudal, serta lapangan desa yang jelas difungsikan sebagai lahan parkir.

Pasar Slumpring hanya buka tiap hari Minggu, mulai jam tujuh pagi sampai dzuhur. Praktis hanya satu hari obyek wisata ini beroperasi. Jadi kalau dikatakan transaksi di obyek wisata ini 15 juta perminggu, artinya itulah transaksi untuk satu hari saja. Hal pertama yang berkesan di tempat ini adalah penataan lokasi yang profesional dengan tema Jawa klasik. Pernak-pernik dekorasi ruang terbuka yang apik dan semuanya terbuat dari bambu.

Belum lagi penataan posisi para pedagang yang begitu rapi, sangat nyaman untuk pengunjung. Ada jajaran pedagang di jalan masuk, ada kios pedagang di parkiran, dan menu utamanya ialah para pedagang di dalam area Pasar Slumpring. Oiya, untuk masuk area wisata ini, pengunjung hanya perlu bayar Rp10.000,- untuk roda empat dan Rp5.000,- untuk roda dua, sudah termasuk parkir.

Saat masuk ke area pasar, pengunjung disambut oleh loket penukaran uang dengan koin. Satu koin yang berupa bambu bercap itu bernilai Rp2.500,- (dari jumlah ini, pedagang mendapat Rp2.000,- dan pengelola wisata mendapat Rp500,-) Jadi kalau menukar Rp50.000,- kita bisa dapatkan 20 koin. Koin-koin inilah yang akan digunakan untuk transaksi di dalam Pasar Slumpring.

Di dalam pasar, puluhan lapak panganan digelar. Semuanya berupa panganan tradisional siap saji yang diproduksi warga Cempaka. Ada jajanan tradisional, menu makan siang, bebuahan, beragam wedangan, dan cemilan-cemilan. Pedagangnya pun adalah warga Cempaka sendiri. Mereka sempatkan tenaga dan waktu setiap hari Minggu untuk jualan produk mereka masing-masing.

Setelah pilih-pilih panganan, pengunjung tinggal cari spot kosong untuk duduk santai sambil menikmati jajanannya. Oiya, pengunjung tidak boleh bawa bekal makanan sendiri, harus beli di lokasi. Karena memang itu tujuannya; wisata belanja produk lokal warga.

Sambil menikmati jajanan,  pengunjung juga disuguhi penampilan seni dari panggung mungil. Semacam live music. Minggu lalu saat kami berkunjung, kami dimanjakan dengan band spesialis lagu-lagu Koes Plus. Ada pula grup perkusi, kasidah ibu-ibu pengajian, dan Tari Lodhong yang ditampilkan anak-anak SD setempat. Asik sekali suasananya.

Karena judulnya pasar, harap maklum jika suasananya ramai oleh wira-wiri orang dan hingar-bingar panggung hiburan. Tapi memang di situlah nilai jualnya. Kalau pengunjung ingin suasana yang lebih rileks dan relatif hening, bisa keluar arena pasar dan bersantai di embung kecil Tuk Mudal.

Nampak betul keseriusan pemerintah desa Cempaka dalam mengelola wisata Pasar Slumpring ini. Mulai dari konsep kontennya, detail dekorasinya, hingga lalu lintasnya. Bayangkan, desa yang terpencil di pelosok kecamatan Bumijawa ini, tak berlokasi di jalan utama kabupaten, bisa jadi jujugan baru dengan ciri khas yang hidup. Memang ada banyak wisata baru bermunculan di Tegal, semisal taman pinus maupun curug, namun tak semua punya karakter budaya dengan melibatkan potensi masyarakat setempat.

Pantas saja. Pasar Slumpring memang dikonsep secara serius sejak awal. Pokdarwis (kelompok sadar wisata) desa Cempaka sempat studi kunjung pengelolaan wisata Umbul Ponggok di Klaten. Mereka juga merangkul kalangan mudanya untuk melakukan pembangunan talut, konservasi air, dan reboisasi sekitar Tuk Mudal. Semua upaya itu disuntik dengan dana desa sejumlah Rp200 juta, baik untuk pembangunan maupun pelatihannya. Ciamik.





















Kekuatiran kalangan agamawan yang sebelumnya beranggapan bahwa wisata ini akan jadi lahan maksiat dan mafsadat pun sirna. Justru tempat ini efektif menjadi wahana pemberdayaan warga Cempaka. Semua yang terlibat dalam pemgelolaannya, mulai parkir hingga pedagang di dalam, harus ber-KTP Cempaka. Bahan baku produk yang diolah dan dijual pun harus produk lokal Cempaka. Bayangkan, dalam waktu 6 jam seorang penjual nasi jagung bisa menghabiskan hingga 50 kilogram jagung.

Ibu-ibu, petani, anak muda, semua dilibatkan dalam hajatan desa seminggu sekali ini. Ada yang jadi pedagang, pegugas kebersihan, penampil kesenian, petugas parkir, semuanya berseragam busana adat Tegalan hitam-hitam plus caping bambu. Kebun bambu yang biasanya jadi pembuangan sampah dan wingit, kini bisa bernilai ekonomi bagi warga sekitar.

Inilah istimewanya Pasar Slumpring Cempaka, ada kehidupan di sana. Tak sekedar menyuguhkan pesona dan pemandangan saja, tetapi juga memberdayakan segenap manusia dan budayanya. Semoga saja pokdarwis desa Cempaka bisa terus berinovasi agar magnet wisata Pasar Slumpring - Tuk Mudal bisa awet menggaet wisatawan. Tidak sekedar ramai di awal dan sepi kemudian, sebagaimana banyak lokasi wisata spot foto selfi yang lama-lama membosankan.

___
Cempaka, 6 Januari 2019

1 Comments

  1. Bar adus, langsung tuku cendil karo mendoan, enak ketone ya kang, hihihihi

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya