Pendamping - MbahNajib #20

Kami, para santri jelata, menyaksikan betul hawa kasih sayang dalam keluarga kecil Mbah Yai Najib. Kehangatan hubungan beliau dengan seorang istri, seorang anak, seorang menantu, dan dua orang cucu.


"Mus, Mus.." panggil Mbah Yai suatu kali kepada sang istri, Bu Nyai Musta'anah. Tapi Bu Nyai tak kunjung menyahut.


"Mus.." diulang lagi panggilan itu. Tak jua ada sahutan.


"Dik Mus.." panggilan ketiga, kali ini dengan lebih lembut. Bu Nyai langsung menyahut sambil senyum.


Melalui teman-teman santri ndalem, sering kudengar bagaimana sabarnya Mbah Yai menghadapi berbagai masalah keluarga. Bagaimana bijak dan hati-hatinya beliau menentukan berbagai langkah demi kebaikan bersama. Serta bagaimana bakti Bu Nyai kepada beliau.


Menyadari tugas sang suami yang padat melayani umat, Bu Nyai sangat sigap mengawal kesehatan Mbah Yai Najib. Beliau kawal betul urusan makanan, minuman, dan istirahat. Kuingat betul saat dulu Mbah Yai baru pulang dari rumah sakit, Bu Nyai selalu siapkan irisan buah di bangku setoran.


Kami juga menganggap Bu Nyai jadi juru selamat saat setoran -terutama saat shift malam. Jika sudah dirasa cukup lama Mbah Yai tertidur saat santri setoran, dan suara para santri sudah melemah, Bu Nyai akan muncul dari balik tirai ruang tengah dan membangunkan beliau dengan sangat halus.


"Yes! Syafa'aaaat!" bisik santri yang sudah ngos-ngosan.


Kalau Bu Nyai tak jua muncul, sementara Mbah Yai nampak begitu lelap, maka beberapa santri bengal mulai memijat Mbah Yai dengan lebih keras. Santri yang masih bersuara dibungkam agar semua diam. Sambil beristighotsah lirih mengharap sang juru selamat segera datang; "Isyfa' lanaa lana lanaa! Yaa habibanaa!"


Tentu saja teman-teman ndalem, sopir, dan pengurus punya lebih banyak pengalaman bersama beliau. Pak Lurah kerap menyampaikan pesan-pesan Bu Nyai kepada kami. Terutama berkaitan dengan urusan teknis dan jatah makan.


Misalnya saat Bu Nyai minta agar anak-anak santri mengantri lebih awal, jangan terlalu malam. Tapi tetap saja kami bandel, jam sembilan baru nongol ke ndalem.


"Apa karena nggak ngaji kepadaku," kata Bu Nyai kepada Pak Lurah, "Lalu anak-anak tidak mau manut padaku, Kang?"


Kalimat itu jelas mengiris-iris hati kami. Tentu saja kami memosisikan Bu Nyai sebagai ibu, sebagai guru, sebagai sosok yang titah-titahnya musti dipatuhi juga.


Suatu ketika di Sabtu pagi, sebagai santri baru aku turut piket nyapu di halaman ndalem. Selesai nyapu dan hendak kembali ke komplek, aku dikagetkan kemunculan Bu Nyai dari pintu samping.


"Kang," panggil Bu Nyai.


"Nggih, Bu," sahutku mendekat sambil deg-degan.


"Tolong.." pinta Bu Nyai menyebutkan sesuatu. Aku manggut-manggut sambil tetap menunduk, lalu bergegas kembali ke komplek.


Sampai di komplek aku bengong, plonga-plongo, pelang-peleng.


"Aduh! Tadi disuruh ngapain ya?"




__

Salatiga, 29 Ramadan 1442

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya