Mengenal Pengetahuan #KelasLogika (1)

Ada pengetahuan Tuhan, yang disebut dengan pengetahuan terdahulu (al-'ilmul qadiim). Ada pula pengetahuan makhluk, yang bersifat baru (al-'ilmul haadits). Nah, pengetahuan makhluk inilah yang menjadi pembahasan ilmu logika.


Bentuk pengetahuan makhluk merupa dua jenis. Pertama, gambaran atau keterangan atas suatu hal (tashowwur). Ketika disebutkan kata "api", tergambar di benak rupa api, maka itulah tashowwur.


Kedua, penetapan keadaan atas suatu hal (tashdiq). Ketika dikatakan bahwa "api itu panas dan bisa membakar", benak mengiyakan perkataan tersebut, itulah tashdiq.


Urutannya, tashowwur dulu baru disusul tashdiq. Maka tashdiq tanpa tashowwur tentu tidak bisa diterima alias batal.


Misal;


Farid mendakwa naksir kepada Indah. Kemudian dia menyatakan bahwa, "Indah adalah anak yang baik, pintar, solehah." Kalimat ini adalah pernyataan tashdiq dari Farid tentang keadaan Indah.


Kemudian Farid ditanya, "Siapakah Indah yang kau maksud?"


Farid menjawab, "Tidak tahu."


Dengan jawaban ini, kita tahu bahwa pernyataan Farid sebelumnya adalah khayalan belaka. Tashdiq-nya tentang Indah palsu, tidak bisa diterima. Sebab dia sendiri tidak tahu siapa itu Indah. Bagaimana bisa Farid menyatakan suatu sifat tentang Indah (tashdiq) padahal dia tidak tahu (tashowwur) siapa orang yang ia bicarakan?


Maka betul apa kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Tanpa tashowwur tiadalah tashdiq. Atau dalam petuah para ulama disebutkan,


 لا تحصل المحبة الا بالمعرفة ولا تحصل المعرفة الا بدوام الفكر


"Tidaklah bisa berhasil mencinta kecuali dengan kenal. Tiada bisa berhasil mengenal kecuali dengan kerap merenungkan."


__


Ilmu atau pengetahuan adakalanya muncul secara spontan (dhoruri) maupun melalui proses berpikir (nazhori). Hal ini berlaku dalam tashowwur maupun tashdiq.


Contoh pengetahuan dhoruri dalam tashowwur adalah ketika disebutkan; malam, langit, bunga, dingin, dan sebagainya. Sedangkan contoh pengetahuan dhoruri dalam tashdiq semisal pernyataan; malam sepi dan gelap, langit tinggi nan luas, dan seterusnya.


Intinya, ilmu dhoruri adalah ketika orang bisa paham secara spontan, tak butuh keterangan lain untuk memahami kata-kata itu. Sebaliknya, ilmu nazhori butuh keterangan lain untuk bisa dipahami. Nah, "keterangan lain" itu, kalau dalam tashowwur disebut dengan qaul syarih (penjelasan; deskripsi), kalau dalam tashdiq disebut dengan hujjah (alasan; argumentasi).


Misal;


Labib diperintah oleh Maimun untuk beli gado-gado, padahal Labib tidak tahu apa itu gado-gado.


"Gado-gado itu apa, Kang Maimun?" tanya Labib.


"Oh, gado-gado itu makanan yang berisi potongan lontong, tomat, timun, kol, selada, kentang, tahu, dan telur yang dikucuri bumbu kacang," jawab Maimun menjelaskan.


Nah, penjelasan Maimun inilah yang disebut dengan deskripsi (qoul syarih), yang didapatkan dari proses bertanya dan berpikir Labib (nazhor), sehingga Labib bisa mendapatkan gambaran yang jelas (tashowwur) tentang gado-gado.


Selanjutnya, setelah tunai tugas membelikan gado-gado, Labib melontarkan pernyataan, "Gado-gado di warung Pak Ridho rasanya enak."


"Kok kamu bisa tahu?" tanya Maimun.


"Iya, Kang. Soalnya tadi saya lihat di warung Pak Ridho ramai. Banyak yang ngantri beli gado-gado di situ," jawab Labib.


Pernyataan Labib bahwa gado-gado warung Pak Ridho enak adalah suatu bentuk penetapan keadaan (tashdiq). Nah, tashdiq-nya ini melalui proses berpikir (nazhor) dengan mengamati keadaan di warung Pak Ridho. Ia melihat bahwa banyak orang yang mengantri beli gado-gado di sana, fakta inilah yang menjadi alasan atau argumen (hujjah) baginya.


__


Perlu dipahami bahwa setiap orang bisa memiliki tashowwur maupun tashdiq yang berbeda-beda, meskipun menghadapi hal yang sama. Sebagaimana anekdot tentang tiga orang buta yang baru pertama kali memegang gajah.


Kata si A, gajah berbentuk kecil memanjang seperti ular karena ia pegang ekor. Kata si B, gajah bulat lonjong besar seperti pohon kelapa sebab ia pegang kaki. Kata si C, gajah tipis lebar seperti nampan karena ia pegang telinga. 


Masing-masing orang punya gambaran yang berbeda. Kita tidak bisa menyalahkan, meskipun mungkin memang salah. Tapi kalau memang kita sudah memahami proses tashowwur, maka kita bisa memaklumi kesimpulan masing-masing orang buta tersebut.


Memahami proses tashowwur dan tashdiq bisa menjadikan kita bijak menyikapi perbedaan pendapat. Selain itu, pemahaman ini juga bisa menuntun kita bersikap logis.


Misal,


Ahsan, seorang santri PPHM Kalibening, sedang duduk santai di Lapangan Pancasila. Kemudian datang seorang mengajak berkenalan.


"Dari mana, Mas?" tanya orang itu.


"Dari Kalibening," jawab Ahsan.


Lalu orang baru itu nyeletuk, "Mas, santri Kalibening itu mabokan, lho!"


Mendengar omongan ini, Ahsan kaget, emosinya terpancing, amarahnya tersulut. Jika ia menyampingkan logika, mendahulukan emosi, bisa jadi orang itu akan dihajarnya.


Tapi tidak, Ahsan justru bertanya, "Kok Anda tahu bahwa orang itu santri Kalibening?"


Kemudian orang itu mulai bercerita apa yang dia lihat. Dia memberikan penjelasan (qaul syarih) tentang santri Kalibening yang ia lihat kepada Ahsan sebagai bentuk tashowwur. Lalu dia menyampaikan alasan (hujjah) atas pernyataan yang sudah ia sebutkan (tashdiq).


Dari keterangan orang tersebut, Ahsan bisa melakukan langkah-langkah selanjutnya. Ia bisa meneliti apakah pernyataan orang itu jujur atau bohong, sesuai fakta atau tidak, kemudian membantah dengan mematahkan argumennya. Ia juga bisa menjadikan informasi itu sebagai bahan pertimbangan pengurus pondok.


Nah, langkah Ahsan ini bisa disebut sebagai tindakan yang logis, sikap yang manthiqi.


__




Istilah;

Ilmu: pengetahuan

Manthiq: logika, penalaran

Ilmu Qadiim: pengetahuan Tuhan

Ilmu Haadits: pengetahuan makhluk

Tashowwur: penggambaran

Tashdiq: penetapan keadaan

Dhoruri: spontan

Nazhori: berproses renung

Qaul Syarih: penjelasan, deskripsi

Hujjah: alasan, argumentasi


Kalibening, Malam Ahad

Pertemuan ke-2 Sullamul Munawraq

3 Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadiin

12 Juni 2022

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya