MUKADDIMAH
Beberapa pemuda sepakat membentuk suatu wadah diskusi yang
bersifat santai namun serius. Hal ini merupakan klimaks dari akumulasi
kejenuhan kami dengan rutinitas yang ‘hampa’ di kampus.
Sebagian dari kami bisa disebut ‘apatis’ jika ukurannya adalah keaktivan dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan atau pergerakan. Namun uniknya, tidak sedikit dari kami yang justru sangat aktif di medan juang nyata; masyarakat.
Ketika saya berbincang dengan Bung Irfan –aktivis Karang
Taruna- tentang kemerdekaan dan ekspresionisme, atau saat bercakap dengan Bung
Said –pemuda mandiri- tentang implementasi keilmuan dalam era modern, atau saat
berbincang dengan Bung Adam –gus- tentang keliaran dunia malam, atau saat
berbincang dengan Bung Syafak –pembimbing madrasah- tentang manajemen komunikasi
masyarakat, atau saat berbincang dengan Bung Yasin –ustadz pesantren- tentang korelasi
masa lampau dan masa depan, atau saat berbincang dengan Bung Bastian –pengamat personaliti-
tentang kematangan kepribadian, atau saat berbincang dengan Bung Muhid –pemikir
filosofis- tentang keseimbangan intelektual dan spiritual, serta
perbincangan-perbincangan lain bersama kawan-kawan lain di momen-momen
tertentu, memperlihatkan kepada saya adanya potensi kecemerlangan ide dalam
setiap obrolan.
Sementara itu, kami tidak punya wadah yang cukup luas untuk
menampung tumpahan-tumpahan ide jika dibatasi dengan tembok kelas yang formal. Sedangkan,
letupan-letupan ide jika didiamkan, justru akan mematikan tempat tumbuhnya ide
tersebut, yakni pikiran. Maka dari itu, sejak Kamis (18/10/2012) kami mulai
duduk bersama dalam satu lingkaran, bertukar pikir tentang apa saja.
Sementara ini, yang kami bahas adalah buku. Satu pertemuan
satu buku. Dalam rangka menajamkan kembali pemahaman terhadap suatu wacana,
serta memadukan satu wacana dengan wacana-wacana lain agar tidak sempit
pemahaman. Bukankah semakin luas sudut pandang kita, makin bijak pula kita
dalam penilaian terhadap berbagai hal? Dan tukar wacana hanya bisa terjadi
dalam suatu diskusi.
Ini adalah Duduk Selingkar, ya, Selingkar. Karena tidak ada
yang di depan, kami semua di depan. Juga tidak ada yang di belakang, kami semua
di belakang. Setiap orang berhak mendengarkan maupun berbicara. Setiap pikiran
boleh menerima sebaik menyangkal. Hanya ada satu aturan di sini; respek terhadap
pendapat lain.
Tidak ada ruginya berdiskusi. Setidaknya, masing-masing dari kami bisa menelaah apa yang sudah dipahami, bertukar pikir, berbicara, mendengarkan, memperhatikan, dan tentunya; menghargai.
Selingkar hanya mengandalkan kebersamaan. Selingkar tidak
menjadikan peselingkar menjadi apa-apa selain dirinya sendiri. Selingkar bukan
ajang unjuk gigi, hanya satu upaya mengenal jati diri melalui diskusi. Karena dalam
setiap diskusi pasti ada titik temu maupun perbedaan. Nah, proses inilah yang
kemudian akan mengasah kdewasaan dalam persamaan maupun perbedaan.
Ya. Semoga rahmat Tuhan senantiasa mengucur deras kepada
lingkaran pemuda-pemuda ini. Amin.
--
Jogja, 11 Dzulhijjah 1433