“Saya mengaji Fatihah dengan Mbah Arwani satu minggu selesai,
tetapi dengan Mbah Qodir satu bulan, masyaallah. Kadang hati setengah jengkel
(ngaji nggak tambah-tambah), tetapi anehnya setiap beliau keluar dari
pintu tengah, siap mengajar anak-anak pasti yang saya tatap adalah wajah yang
ceria, senyum yang khas.. plengeeh.. seakan hati saya disihir, lenyap
rasa gundah saya. Saya jadi semangat untuk mengaji.”
KH. Munawir
Abdul Fatah (Anggota MUI Provinsi DIY)
Mengemban Amanah
KH. R. Abdul Qodir Munawwir, atau Romo Kyai Qodir, dilahirkan pada
Sabtu Legi 11 Dzulqo’dah 1338 H bertepatan dengan 24 Juli 1919 M. Beliau adalah
salah satu putra al-maghfur lah KH Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad
(muassis Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta) dari istri pertama,
Ny. R. Ayu Mursyidah, yang berasal dari keluarga Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Setelah KH. M. Munawwir wafat (1942 M), Romo Kyai Qodir meneruskan
estafet tanggung jawab ayahandanya untuk mengasuh pesantren bersama sang kakak
(KH. R. Abdullah Afandi Munawwir) dan adik iparnya (KH. Ali Ma’shum) dalam usia
yang relatif muda, yakni 18 tahun. Meskipun usia beliau masih relatif muda
namun apa yang telah beliau dapatkan dari guru-guru beliau waktu itu sudah
cukup sebagai bekal untuk meneruskan amanah berupa pesantren, khususnya dalam
hal pengajian Al-Qur’an. Di antara guru-guru beliau ialah sang ayah sendiri,
KH. M. Munawwir, dan KH. Dalhar Watucongol.
Di kemudian hari, mengenai hal ini, dikisahkan oleh KH. Umar
Abdurrahman (Bantul) ketika mendampingi beliau silaturrahim ke kediaman almarhum
KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saat itu, menurut penuturan Kyai Umar, Kyai Hamid
sempat mengatakan bahwa Kyai Abdul Qodir adalah sosok seorang putra yang sangat
mengerti dan memahami keberadaan orangtuanya. Yakni mampu menyerap ilmu dari
orangtuanya, mengabulkan apa yang menjadi harapan orangtuanya, dan mampu
menggantikan serta meneruskan perjuangan orangtuanya. Dan satu lagi; mampu
meneladani sifat-sifat serta kepribadian orangtuanya yang mulia.
Teman-teman seangkatan Romo Kyai Qodir sewaktu mengaji Al-Qur’an
kepada ayahanda al-maghfur lah KH. M. Munawwir antara lain; KH. Arwani
Amin Kudus, KH. Umar Abdul Mannan Mangkuyudan, KH. Umar Harun Kempek, KH.
Ma’sum Gedongan, KH. Murtadho Buntet, KH. Badawi Kaliwungu, KH. Abdul Hamid
Hasbulloh Tambakberas, KH. Ahyad Blitar, KH. Suhaimi Bumiayu, KH Zuhdi
Kertosono, dan banyak lagi.
Romo Kyai Qodir menikah pada usia 25 tahun dengan Ny. Hj. Salimah
Nawawi (Jejeran), diakadkan oleh al-maghfur lah KH. Muhammad Manshur
(Popongan) yang merupakan mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyyah. Beliau
dikaruniai 8 putra-putri, yakni; Fatimah (wafat waktu kecil), Nur Jihan (wafat
waktu kecil), Nur Widodo (wafat waktu kecil), Ny. Hj. Ummi Salamah, KH. R.
Muhammad Najib, Ny. Hj. Munawwaroh, KH. R. Abdul Hamid, dan KH. R. Abdul
Hafidz.
![]() |
KH. R. Abdul Qodir Munawwir |
Filosofi “Layang-layang”
Dalam periode Romo Kyai Qodir, pengajian Al-Qur’an diselenggarakan
dengan menggunakan metode seperti yang ada pada zaman KH. M. Munawwir. Santri
yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz Al-Qur’an (bil hifdzi / bil
ghoib) disyaratkan terlebih dahulu membacanya di hadapan Kyai dengan melihat
mushaf (bin nadzri) dengan baik dan benar. Untuk mencapai puncak keberhasilan
dalam menghapal Al-Qur’an, yakni adanya pengakuan dari Romo Kyai Qodir,
tidaklah mudah. Dalam hal ini beliau menerapkan standar yang cukup ideal.
Santri yang disahkan dan beliau ijinkan mengikuti prosesi wisuda Khotmil Qur’an
adalah santri yang sudah mampu membaca 30 juz dengan sempurna dalam posisi
sebagai imam tunggal dalam shalat tarawih yang dilaksanakan selama 20 malam
pada bulan Ramadhan. Hal ini merupakan ikhtiar beliau untuk mencetak penghafal
Al-Qur’an yang tangguh.
Untuk mengetahui sejauh mana kelancaran hapalan santri, beliau
biasa melakukan ujian mendadak. Di waktu dan hari yang tidak terduga, para
santri diharuskan selalu siap menghadap beliau yang terkadang tidak mengajar
mengaji seperti biasanya, yakni para santri menyetorkan hapalannya. Tetapi,
setelah tawassul Fatihah yang ditujukan kepada para guru dan para ahli silsilah
sanad Al-Qur’an, beliau langsung membaca sebagian ayat atau satu ayat dari
Al-Qur’an kemudian menunjuk salah satu santri untuk melanjutkannya. Hal ini
beliau lakukan secara acak.
Beliau juga menerapkan program semacam ujian semester yang
dilaksanakan pada bulan Rabi’ul Awwal dan Sya’ban menurut masing-masing juz
yang sudah didapat dan disetorkan oleh para santri. Waktu itu, secara
keseluruhan jumlah santri berkisar 70-80 orang yang dibagi menjadi beberapa
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 santri. Kalau beberapa juz yang
sudah didapat ternyata tidak semuanya lancar, maka beliau memerintahkan untuk
menyetorkan kembali beberapa juz yang belum lancar tersebut dan tidak
diperkenankan menambahnya lagi.
Metode seperti ini dilandasi oleh filosofi “layang-layang” yang
beliau terapkan. Seseorang yang hapalan Al-Qur’annya sempurna dan lancar
diibaratkan sebagai layang-layang yang mampu terbang tinggi karena mendapat
angin yang cukup. Jika benangnya diulur lagi, ia juga akan bertambah tinggi.
Sebaliknya, jika yang tidak sempurna dan tidak lancar hapalannya ibarat
layang-layang yang kurang angin, sehingga walaupun benangnya diulur, ia tetap tidak
akan mampu mencapai ketinggian yang diharapkan. Artinya, jika hapalan sekian
juz sudah mantap dan lancar, tidak masalah jika akan menambah hapalan lagi.
Namun bila hapalan masih kacau, tidak akan sempurna jika ditambah-tambah terus.
Pembimbing Para Hamilul Qur’an
Romo Kyai Qodir merupakan sosok yang memiliki disiplin dan
keistiqomahan yang tinggi. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas yang beliau
lakukan setiap hari. Di mulai dari jam tiga dini hari, beliau bangun, kemudian
membangunkan salah satu santri (Kyai Umar) yang waktu itu ikut ndalem untuk
diajak shalat tahajjud. Setelah menunaikan shalat tahajjud, beliau membaca
Al-Qur’an hingga menjelang shubuh, dilanjutkan dengan membangunkan para santri
untuk menunaikan shalat shubuh berjama’ah. Dalam membangunkan para santri,
beliau selalu didampingi oleh Kyai Umar dan Kyai Hasyim Syafi’i (Jejeran). Kyai
Umar bertugas membawa lampu petromak sedangkan Kyai Hasyim bertugas membawakan
ember berisi air untuk menyiram santri yang masih tidur.
Setelah selesai dzikir pagi, beliau mengajar Al-Qur’an kepada para
santri secara bil ghaib. Sekitar jam tujuh pagi, pengajian selesai.
Kemudian beliau bersantai sejenak, lalu melanjutkan mengajar Al-Qur’an kepada
para santri putri yang datang dari komplek utara (Nurussalam). Sehabis Dzuhur,
sekitar jam setengah dua siang, beliau melanjutkan kembali mengajar Al-Qur’an
di masjid. Kali ini yang mengaji bersifat umum, ada yang menghapal (bil
ghaib) dan ada yang tidak (bin nadzri), tidak hanya para santri
tetapi juga masyarakat umum. Saai itu beliau didampingi dua asisten, yakni Kyai
Ahmad Munawwir dan Kyai Zainuddin. Keduanya adalah adik beliau, satu ayah lain
ibu.
Pengajian selesai sekitar jam setengah lima sore. Kemudian para
santri menyiapkan diri untuk mengaji kitab di Madrasah Diniyyah. Sehabis
Maghrib diterapkan program takror (mengulang hapalan) kepada para santri
dengan model berpasangan, itupun tak terlepas dari pengawasan beliau. Setiap
jam sembilan malam, beliau juga menyempatkan diri mengajarkan Qiro’ah
Sab’iyyah, yakni ilmu tentang bacaan Al-Qur’an dan tata caranya menurut
tujuh imam ahli qiro’ah, kepada beberapa santri tertentu.
Khusus pada bulan Ramadhan, pada setiap ba’da dzuhur sekitar jam
setengah dua dan setelah shalat tarawih selama dua puluh hari beliau membaca
Al-Qur’an secara tartil dan estafet bersama para santri sambil disiak
oleh para santri lain secara keseluruhan sebanyak satu setengah juz dengan dua
pebagian waktu; yakni siang hari tiga perempat juz dan malam hari juga tiga
perempat juz. Di sela-sela membaca Al-Qur’an beliau menyempatkan memberikan
penjelasan kepada para santri perihal bacaan-bacaan yang terkandung dalam Qiro’ah
Sab’iyyah.
Dalam bepergian, di sela-sela waktu dan tempat yang tidak terduga,
beliau sangat biasa mengkhatamkan Al-Qur’an. Pernah suatu hari, beliau didampingi
Kyai Hasyim Syafi’i bepergian untuk berziarah di sekitar Bantul. Berangkat
mulai ba’da Ashar, dimulai dari makam Dongkelan kemudian meluncur ke makam
Sewu. Lalu beristirahat di kediaman kenalan beliau di Giriloyo pada sekitar jam
sepuluh malam. Pagi harinya beliau melanjutkan perjalanan. Sesampainya di
Gesikan, persis di musholla agak kecil, beliau mengajak berhenti untuk membaca
Dzikir Tahlil dan doa Khotmil Qur’an. Baru setelah itu, beliau kembali ke
Krapyak.
“Syim, bagi siapa saja yang hapalan Al-Qur’annya sudah lancar,
dalam menjaga hapalannya (nderes) bisa dilakukan di manapun dia berada dan
tidak harus sambil membaca dan duduk saja. Tetapi bisa dilakukan sesuai dengan
keadaan, semisal sambil berjalan, rebahan, naik kendaraan, dan lain
sebagainya.” pesan beliau kepada Kyai Hasyim sebelum meneruskan perjalanan
menuju Krapyak.
Semasa hidup, di samping sehari-hari mengasuh pesantren, Romo Kyai
Qodir juga mengisi pengajian di pelosok-pelosok kampung di Yogyakarta, termasuk
sima’an rutin Ahad Pahing setiap bulan yang dilaksanakan secara bergilir dari
satu tempat ke tempat lain di wilayah Bantul. Beliau juga aktif di Jam’iyyah
Nahdlatul ‘Ulama, menjadi Penasehat Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz Pusat, serta
menjadi Anggota Majlis Pentashih Al-Qur’an.
Saking sibuknya mengabdikan diri untuk para santri dan masyarakat,
sampai-sampai beliau tidak memedulikan kesenangan duniawi secara mendalam.
Apapun benda dan berapapun banyaknya harta, beliau tidak pernah menghitungnya.
Namun setiap kebutuhan hidup keluarga beliau senantiasa tercukupi, bahkan istri
beliau, Ny. Salimah Nawawi, selalu diperintahkan untuk mengambil sendiri
berapapun banyaknya yang dibutuhkan tanpa harus sepengetahuan beliau.
![]() |
Masjid Lama Pesantren Al-Munawwir Krapyak |
Mengajar dengan Keteladanan
Diceritakan oleh KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus, Rembang), bahwa
beliau mengaji Surat Al-Fatihah kepada Romo Kyai Qodir selama tiga bulan.
Sampai-sampai beliau seakan sakit hati karena santri-santri lain sudah khatam
tetapi beliau masih saja Al-Fatihah. Setelah diusut, ternyata waktu itu, sang
ayah (KH. Bisri Mustofa) menitipkan beliau kepada Romo Kyai Qodir secara
sungguh-sungguh.
“Kyai, hari ini saya titip anak saya kepada Kyai. Tolong ajari anak
saya bagaimana caranya membaca Al-Fatihah yang baik dan benar. Tapi ingat Kyai,
kalau nanti shalat anak saya sapai tidak diterima oleh Allah subhaanahu wa
ta’ala lantaran fatihah yang Kyai ajarkan, saya akan tuntut Kyai nanti di Yaumil
Hisab.” Ujar Kiai Bisri kepada Kyai Qodir.
Romo Kyai Qodir sangat memegang erat komitmen ini. Sehingga beliau
benar-benar membimbing proses mengaji dan keseharian para santri dengan tegas
dan contoh nyata berupa kedisiplinan, keistiqomahan, dan ketawadhu’an. Beliau
seringkali ikut mengaji bersama para santri kepada santri beliau sendiri,
membawa dan ngesahi (memberi makna gandul) kitabnya sendiri dalam
pengajian kitab-kitab kuning. Tentunya, santri yang dimaksud telah mendapat mandat
dari beliau dan dianggap sudah mumpuni dalam mengajarkan kitab, seperti KH.
Abdul Mannan (Malang) yang mengajar kitab Tafsir Jalalain atau KH. Hasyim Yusuf
(Nganjuk) yang mengajar kitab Fiqih Fathul Mu’in.
Setiap kali mendapat undangan dalam berbagai acara, di manapun
tempatnya, beliau senantiasa menyempatkan waktu untuk menghadirinya.
Terlebih-lebih kalau pihak yang mengundang beliau berasal dari keluarga yang
tidak mampu, beliau prioritaskan untuk menghadirinya. Selain sangat menyayangi
orang fakir, beliaupun sangat mencintai anak-anak yatim. Sebagaimana dikisahkan
oleh KH. Abdullah Faqih (Temenggungan – Malang), ketika itu Kyai Faqih kecil
beserta adiknya, Gus Najib, yang telah yatim, pertama kalinya tiba di Pesantren
Al-Munawwir Krapyak untuk mengaji, didampingi sang ibu yang juga turut mengaji
dan menetap di komplek utara. Sesampainya mereka di depan gerbang pesantren,
dan setelah ketiganya turun dari becak, nampak Romo Kyai Qodir berada di dekat
gerbang bersiap menyambut mereka. Dengan rasa haru, sambil melambaikan tangan,
beliau menyambut, “Ayo, ayo, mari ke sini anak-anakku, silakan, silakan..” Keduanya
mencium tangan beliau dan beliaupun memeluk serta mengecup kening kedua anak
yatim ini dengan penuh kasih sayang.
Adapun santri-santri yang pernah mengaji Al-Qur’an kepada beliau di
antaranya adalah; KH. Ahmad Munawwir (adik) Krapyak, KH. Mufid Mas’ud (adik
ipar) Sleman, KH. Nawawi Abdul Aziz (adik ipar) Ngrukem, K. Muhdi Tempel -
Sleman, KH. Jawahir Sewon, KH. Ali Harun Sewon, KH. Umar Abdurrahman Bantul,
KH. Bilal Kulonprogo, KH. Hasyim Syafi’i Jejeran, KH. Munawir Abdul Fatah
Krapyak, Ny. Hj. Walidah Munawwir Ngrukem, KH. Shohib Demak, KH Shodiq
Purworejo, KH. Ahmad Djablawi Klaten, KH. A. Mustofa Bisri Rembang, KH. Ahmad
Husnan Pekalongan, KH. Abdullah Demak, KH. Munawwir Kebumen, KH. Ardani
Mangkuyudan, KH. Ibnu Hajar Wonosobo, Ny. Hj. Shofiyah Syafi’i Purworejo, K.
Munawwir Klaten, KH. Sofyan Nganjuk, KH. Syafi’i Abbas Banyuwangi, KH. Masduki
Abdurrahman Jombang, KH. Abdul Mannan Malang, KH. Dahlan Basuni Surabaya, KH.
Ridhwan Abdul Rozaq Kediri, KH. Abdullah Faqih Malang, KH. Ali Shodiq
Tulungagung, KH. Umar Pare, KH. Musta’in Malang, KH. Yusuf Hasyim Nganjuk, KH.
Muhtarom Sya’roni Blitar, KH. Ahyad Blitar, KH. Maftuh Afandi Ngawi, KH.
Khoiruddin Pare, KH. ‘Ashim Ma’lum Tulungagung, KH. Misbah Ahmad Sidoarjo, KH.
Misbah Zainuri Kediri, KH. Murod Sampang, KH. Sulthon Jombang, NY. Hj.
Zuhriyyah Mundzir Kediri, Ny. Hj. Aminah Blitar, KH. Masduki Mahfudz Malang,
KH. Thoyyib Ghozali Surabaya, KH. Manshur Sampang, KH. Rosyad Thoyyib Sampang,
KH. Suhaib Syukur Pasuruan, KH. M. Umaerah Baqir Bekasi, KH. Amin Siraj
Cirebon, KH. Syarif Husein Tasikmalaya, dan masih banyak lagi.
Khotmil Qur’an Terakhir
Dalam perjuangan dan pengabdian beliau terhadap keluarga, para
santri, dan masyarakat, tidak terasa ternyata beliau terserang diabetes
melitus yang mengakibatkan kesehatan beliau menurun. Meskipun beliau hanya
mampu berbaring, pengajian Al-Qur’an tetap berlangsung seperti biasanya. Hingga
pada akhirnya kondisi beliau betul-betul berubah drastis dan semakin parah,
sehingga mengharuskan beliau dirawat di RS Panti Rapih. Menurut Pak Mastur
(Kretek – Bantul), Romo Kyai Qodir sebenarnya tidak berkenan dirawat di rumah
sakit, begitu pula keluarga beliau. Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, yakni wafat di ruah sakit. Namun setelah mendapat penjelasan
tentang penyakit yang beliau derita dari dr. Yasin dan arahan dari KH. Ali
Ma’shum, akhirnya beliau dan keluarga berubah pikiran.
“Perlu kalian semua ketahui, bahwa iman itu tidak terdapat di rumah
sakit, tetapi iman itu ada di sini (Kyai Ali memegang dadanya). Sekian banyak
orang yang datang ke masjid tetapi kenyataannya sekian banyak pula yang sesat
di luar sana. Oleh karena itu, mari kita bawa serta Kyai Abdul Qodir ke rumah
sakit sebagai sebuah ikhtiar kita selaku hamba Allah subhaanahu wa ta’ala dan
bertawakkallah.” ujar Kiai Ali Ma’shum kepada segenap keluarga.
Saat-saat terakhir menjelang wafat, beliau masih sempat untuk
sekali lagi dan terakhir kalinya mengkhatamkan Al-Qur’an 30 juz, dalam kondisi
kesehatan yang makin kritis. Sampai pada akhirnya, dalam kondisi yang sangat
berat, setengah sadar setengah tidak, sehabis membaca surat Al-Ikhlas, beliau
bertanya kepada Kyai Hasyim,
“Syim, kalau setelah surat Al-Ikhlas itu kemudian seterusnya surat
apa ya, Syim?”
“Setelah surat Al-Ikhlas seterusnya adalah surat Al-Falaq, kemudian
surat An-Nas, Romo..” jawab Kyai Hasyim sambil sesenggukan, tak mampu
membendung air matanya.
“Syim, tolong bantu aku menyelesaikannya ya, Syim..” pinta beliau.
“Inggih, Romo..” jawab Kyai Hasyim, kemudian dengan amat pelan
disertai sesenggukan menuntun kalimat demi kalimat , ayat demi ayat dari surat
Al-Falaq, An-Nas, Al-Fatihah, dan seterusnya sampai diakhiri dengan doa Khotmil
Qur’an.
Melihat kondisi beliau yang semakin kritis, Pak Mastur dengan
perintah Ibu Nyai, pulang ke Krapyak untuk memberitahukan kepada para kerabat,
khususnya KH. Mufid Mas’ud dan KH. R. Abdullah Afandi, perihal kondisi beliau
tersebut. Setelah selesai mengabarkan hal tersebut, belum sampai kembali di
rumah sakit, Pak Mastur sudah mendengar kabar bahwa Romo Kyai Qodir telah
wafat. Suasana haru dan pilu sontak terasa melingkupi Krapyak waktu itu. Semua
merasa kehilangan dan merasa ditinggalkan oleh beliau.
Setelah selama kurang lebih 20 tahun beliau mengemban amanah dan
perjuangan ayahandanya, khususnya dalam mengajar Al-Qur’an dan mencetak
kader-kader huffadz yang handal, akhirnya beliau berpulang ke hadirat
Allah subhanahu wa ta’ala pada malam Jum’at Kliwon, pukul 18.30, 17
Sya’ban 1381 H / 2 Februari 1961 M., di RS Panti Rapih, dalam usia relatif muda
(42 tahun), di sisi istri beliau.
Pemakaman dilaksanakan pada siang harinya ba’da Shalat Jum’at, di
dekat pusara ayahanda tercinta, KH. Muhammad Munawwir.
Beliau meninggalkan seorang istri Ny. Hj. R. A. Salimah binti KH.
Nawawi dan lima putra-putri; Ny. Hj. Ummi Salamah (Krapyak – Yogyakarta), waktu
itu masih berusia 9 tahun; KH. R. Muhammad Najib (pengasuh Madrasah Huffadz I
Al-Munawwir Krapyak), waktu itu masih berusia 6 tahun; Ny. Hj. Munawwaroh
(Glagahombo – Muntilan – Magelang), waktu itu masih berusia 4 tahun; KH. R.
Abdul Hamid (pengasuh PP Ma’unah Sari Bandar Kidul – Kediri), waktu itu masih
berusia 2 tahun; dan KH. R. Abdul Hafidz (pengasuh Madrasah Huffadz II
Al-Munawwir Krapyak), waktu itu masih berusia 6 bulan di dalam kandungan.
Meskipun beliau telah tiada di tengah-tengah atmosfer kehidupan
Krapyak, namun semangat dan keteladanan beliau senantiasa menginspirasi para
santri, terutama bagi mereka yang sedang berupaya tahaffudz Al-Qur’an.
Dan estafet amanah terus bergulir ke generasi selanjutnya.
~
Krapyak, 12 Rabi’ul Awwal 1434
Diolah dari buku Romo Kyai Qodir; Pendiri
Madrosatul Huffadh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta susunan
M. Mas’udi Fathurrohman, S.Th.I., Tiara Wacana: 2011.