Sudah masyhur di kalangan santri bahwa Mbah Yai Najib selalu 'ngewongke' (memanusiakan) siapapun. Sesuai keadaan masing-masing orang.
Kepada tamu yang sowan, beliau betul-betul memperhatikan. Tiap obrolannya bukan basa-basi. Semua tamu -siapapun itu- dianggap pembawa berkah, dan ini serius beliau lakukan, bukan cuma 'abang-abang lambe'. Bahkan sisa minum tamu yang tak habis akan beliau kumpulkan ke satu gelas, kemudian beliau minum sampai habis.
Saat bertamu pun beliau tak mau mengecewakan tuan rumah. Tiap suguhan yang dihidangkan pasti dicicipi. Bahkan pernah ada tuan rumah yang menghidangkan mie ayam cukup pedas. Beliau tak menolak. Tetap beliau santap sedikit-sedikit, sambil diselingi obrolan, hingga habis.
Ketika ada tamu yang bertanya tentang ilmu-ilmu Quran, beliau akan persilakan santri yang memang mendalami ulumul Quran untuk menjawabnya. Jika tamu yang bertanya ada tendensi menguji (nge-tes), beliau dengan rendah hati menjawab, "Saya tidak tahu."
Ada seorang santri Madrasah Huffadh yang sudah mentok tak sanggup menghapal setelah bertahun-tahun berusaha. Orang tuanya sudah minta dia pulang. Akhirnya sowan dan matur kepada Mbah Yai. Beliaupun memaklumi dan menyuruhnya setoran Quran secara bin-nazhar dulu kepada salah satu ustadz sebelum boyong.
Pernah saat ziarah di makam Habib Husein Alaydrus Luar Batang, beliau tak jua memulai tahlil. Padahal saat itu beliau dan para santri sudah belasan menit duduk berkumpul di depan makam. Hanya untuk menungguku yang masih ambil wudhu.
Pasalnya, saat itu akulah yang menjadi pemandu jalan dari parkiran bis ke area makam. Saat aku datang, Mbah Yai bertanya padaku tentang nama habib yang sedang diziarahi, lalu menyuruhku duduk dekat beliau. Semata-mata untuk 'ngewongke' si penunjuk jalan ini.
Pernah juga suatu malam, sekitar jam 9 sebelum setoran, kulihat lelaki berpakaian lusuh dan berpenampilan dekil masuk masjid. Rambutnya awut-awutan. Baunya, duh, masyaallah. Dia mengajakku salaman. Akupun menyambut uluran tangannya sambil terus berusaha husnuzhon. Sangkin dekilnya, tanganku terasa berbekas debu setelah salaman dengannya.
Tak kuat dengan baunya, aku bergegas menuju ndalem untuk ngantri. Siapa juga yang betah berlama-lama dengan bau apek semacam itu. Aku masuk ke ruang tamu, bersama para santri lain. Seperti biasa, Mbah Yai Najib tidak langsung membuka setoran. Beliau duduk-duduk santai dulu di teras ndalem, memperhatikan sekitar.
Saat itulah kulihat pria dekil tadi mendekati Mbah Yai. Dia salaman dan cium tangan beliau. Kemudian duduk berhadapan. Baik Mbah Yai maupun orang itu sama-sama terdiam, tak ada sepatah katapun terucap.
Mbah Yai tetap dengan gestur tubuhnya yang biasa menunduk dan kadang manggut-manggut. Cukup lama, ada kira-kira sepuluh menitan. Baru kemudian orang itu pergi, Mbah Yai masuk ke ndalem dan membuka setoran.
Lahul Fatihah.
__
Kalibening, 11-1-2021