Mujahadah Setoran - MbahNajib #4

"Kalau kata Pak Hafidh," tutur Mbah Yai Najib suatu kali, "Santri kok setorannya nDawud, sehari kelihatan, sehari tidak. Tapi ada juga yang tidak hanya nDawud, malah kadang setengah bulan tidak kelihatan."


Sebelum setoran hapalan Quran kepada Mbah Yai Najib di ndalem, santri musti setoran dulu kepada para ustadz di aula pondok. Bagi santri yang sudah simakan 5 juz di aula, baru dia bisa mulai setoran hapalan Quran kepada Mbah Yai. Belakangan nambah jadi 10 juz.


Santri bisa memilih waktu setoran. Bisa siang, bisa malam. Biasanya santri yang nyambi kuliah memilih setoran malam. Santri takhosus setoran siang. Santri istimewa setoran siang-malam. Kecuali santri putri, waktu setoran hanya pagi hari.


Momen setoran kepada Mbah Yai bukan sekedar melafalkan hapalan. Lebih dari itu, yakni proses ta'dib yang sangat halus dan meresap. Biasanya Mbah Yai tidak langsung memulai, beliau akan duduk-duduk santai dulu di teras.


Saat menunggu inilah santri belajar mengendapkan hati dan menyiapkan batin. Ketika setoran, santri mulai melafalkan hapalan masing-masing. Satu kloter berisi enam santri sekaligus. Semuanya membaca dengan suara lantang. Kalau tidak fokus ya bisa kacau hapalannya.


Sambil setor, kami juga memijat Mbah Yai. Ada yang memijat telapak kaki sampai betis, ada yang memijat telapak tangan sampai pundak. Momen memijat ini sangat menyenangkan bagi santri, sebab bisa berlama-lama memegang tubuh Mbah Yai.


Kalau ada bacaan yang salah, Mbah Yai akan mengoreksi. Kadang beliau juga memberi isyarat panjang-pendek bacaan dengan jari telunjuk. Atau kadang-kadang juga dengan ucapan.


"Kalau ada tasydid dengungnya hati-hati Kang. Ada huruf tersembunyi di situ, jangan sampai hilang," begitu dhawuh beliau suatu kali yang masih kuingat jelas.


Jika dirasa cukup, beliau akan mengulurkan tangan kanan tanda usai. Lalu si santri meraih tangan beliau dan sungkem, kemudian undur diri. Biasanya beliau sambil dhawuh, "Wis, Kang. Teruskan ya."


Kalau menurut beliau belum cukup, ya dibiarkan saja, si santri akan terus mengulang setoran hapalannya sampai disalami. Bisa sampai sejam atau lebih, sampai berkeringat, yang kemudian kami sebut: "dimiliter".


Hampir semua santri pernah merasakan dimiliter. Aku sendiri paling lama dimiliter hanya sejam setengah. Mulai baca jam sepuluh malam, selesai disalami jam setengah dua belas.


Saat mulai sakit-sakitan, aku pindah ikut setoran siang. Tak kuat dengan angin malam. Pernah kucoba ikut setoran malam. Belum tuntas bacaanku, badan sudah gemetar, kaki dan tangan menggigil, keringat dingin bercucuran, wajah memucat. Agaknya Mbah Yai merasa kasihan, lalu segera menyalamiku, "Wis, wis, Kang."


Kami, para santri, merasakan betul bahwa momen setoran adalah saat-saat melatih nafsu dan mendidik ego. Ternyata anggapan ini tidak meleset. Belakangan, masih kuingat betul Mbah Yai pernah dhawuh, "Mujahadah kalian selama di sini ya saat setoran."


Yang namanya mujahadah ya jelas berat. Sesuatu yang berat ya jelas ada yang kuat, ada yang tidak. Maka istimewa betul teman-teman santri yang khatam setoran ke Mbah Yai. Karena mereka tidak hanya sudah selesai hapalan Qurannya, tapi juga tuntas mujahadahnya.


__

Kalibening, 9-1-2021

Foto: Mbah Yai Najib bersama adiknya, Mbah Yai Hafidh yang lebih dahulu wafat tiga tahun lalu. Lahumal Fatihah.



Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya