Sanad - MbahNajib #15

 Siang itu saat duduk-duduk santai di masjid pondok, ada seorang pria datang menghampiriku. Berbaju koko, celana panjang, berkopyah, dan berjenggot tipis.


"Pak Kiai di ndalem, Mas?" tanyanya.


"Oh iya, Pak. Mau sowan?" sahutku.


"Iya, Mas."


"Monggo langsung saja ke ndalem, Pak."


Pria itu melongok ke luar, melihat ke arah ndalem. Tapi masih saja tak beranjak. Kalau tak salah ingat, ia bilang dari Jakarta. Lalu kutanya lagi,


"Ada keperluan apa, Pak?"


"Saya mau minta ijazah sanad Quran, Mas."


"Oh, njenengan alumni sini?"


Aku bertanya begitu karena mengira dia pernah khatam setoran kepada Mbah Yai Najib di sini. Kemudian hari ini mau minta ijazah sanad Quran kepada beliau.


"Oh, nggak Mas. Saya ngapalin sendiri. Sekarang sudah khatam. Itu istri saya," katanya sambil menunjuk lokasi istrinya di bilik jamaah putri, "Dia juga sudah khatam. Kami berdua ngapalin bareng di rumah, Mas."


"Oooh!" sahutku takjub.


Kemudian ia keluar masjid, memberi aba-aba kepada istrinya. Lalu berdua menuju ndalem untuk sowan. Jujur saja, aku penasaran dengan hasil sowan mereka. Maka kutunggu di masjid sampai mereka usai bertamu.


Sekitar satu jam kemudian, suami istri itu keluar dari ndalem. Mereka kembali mampir ke masjid. Melihatku masih duduk di situ, si pria menghampiriku lagi.


"Gimana, Pak?" tanyaku buru-buru.


"Kata Pak Kiai," jawabnya, "Harus setoran dulu kepada beliau sampai khatam. Baru nanti boleh minta ijazah sanad."


Aku cuma manggut-manggut.


"Terus bagaimana, Pak?"


"Mungkin kami cari kontrakan dekat sini saja, Mas. Biar bisa setoran."


Kisah selanjutnya aku tak tahu. Apakah mereka berdua betul-betul ngontrak sambil ngaji laju, atau malah mukim di pondok, atau bagaimana.


Ijazah sanad memang perkara ketat bagi Mbah Yai. Tak sembarang orang bisa dapat, bahkan tak sembarang santri. Harus setoran hapalan dulu 30 juz. Kemudian terbukti bisa disimak dengan lancar. Baru boleh minta ijazah sanad itu.


Kalau masih belum lancar, apalagi masih 'hutang setoran', ya jangan harap bisa dapat ijazah sanad. Dalam urusan rantai keilmuan ini memang musti ketat. Sebab kaitannya adalah kualitas si mata rantai.


Tidak mungkin Mbah Yai akan mengamanahkan ijazah sanad Quran, kalam Tuhan paling mulia dari seluruh kalam, kitab suci paling unggul dari segala kitab, kepada orang yang tak jelas kualitasnya.


Bagaimana kalau ia menelantarkan amanah itu? Bagaimana nanti pertanggungjawabanmya kepada Mbah Yai? Terus ke atas kepada Mbah Arwani, Mbah Munawwir, sampai ke Imam Hafsh, Imam Ashim, terus sampai kepada Baginda Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam?


Tapi untuk urusan menghapal Quran, Mbah Yai Najib pasang setelan longgar. Seingatku, beliau tidak pernah mengultimatum santri Madrasah Huffadh dengan nada memaksa, apalagi mengancam.


Di satu sisi beliau selalu menasehati agar anak-anak giat mengaji. Ingat tujuan dari rumah. Bangun dari lelap dan lalai, karena hari sudah siang dan umur sudah tua. Dosanya orang melalaikan Quran. Jangan malas mengaji karena itu bentuk kedurhakaan pada orang tua. Selalu nderes biar lanyah, karena tak ada metode terbaik lanyah Quran selain dengan banyak nderes.


Tapi di sisi lain beliau juga tidak memaksakan dan menyamaratakan santri. Beliau paham betul bahwa tidak semua santrinya berbakat dalam menghapal Quran. Yang sudah hapal pun tak semuanya berbakat lanyah.


Kelonggaran ini tersurat jelas dalam dhawuh beliau yang sering disampaikan. Khususnya dalam kesempatan Mujahadah Selasa Wage. Beliau kerap dhawuh,


"Kalau sudah berupaya nderes tapi masih lepas-lepas ya dimaafkan. Yang penting berapapun yang sudah dihapal harus dijaga."


Kemudian ditambah pengayem-ayem, "Kalau bukan dirinya yang 'jadi', ya nanti anaknya. Kalau bukan anaknya, ya cucunya, kalau bukan cucunya, minimal ya tetangganya."


Saat mendengar Mbah Yai menyebut kata 'tetangga' ini, kami para santri cuma prengas-prenges geli. Yang jelas, beliau mengapresiasi semua santrinya. Baik yang lanyah, yang tidak, yang khatam, yang belum. Yang penting 'ngaton' dan jangan tinggalkan nderes.


Kepada para santri yang pamit pulang libur lebaran, Mbah Yai Najib selalu mengingatkan, "Qurannya dideres ya di rumah. Sebab nderes Quran tidak ada liburnya, seumur hidup sampai mati."


Ya, meskipun tidak semua santri beliau mendapat kehormatan ijazah sanad, tapi semuanya patut bersyukur. Sebab sudah diberi kemuliaan oleh Allah menangi guru seperti beliau. Kadang-kadang kupikir; beruntung betul gombal bodhol model begini bisa jadi santri sosok semulia Mbah Yai Najib.


Bejo kemayangan.


__

Lahul Fatihah.

Kalibening, 20-1-2021

Foto: momen pernikahan Syekh Abdul Jalil Muhammad hafizhahullah.



Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya