Santri Patung - MbahNajib #16

 Penanda setoran seorang santri usai adalah ketika Mbah Yai Najib mengulurkan tangan kanan, biasanya sambil berujar, "Wis, Kang." Kemudian si santri menyambut tangan beliau dan sungkem. Lalu undur diri keluar.


Tapi uluran tangan dari Mbah Yai belum tentu berarti usainya setoran. Bisa jadi itu artinya beliau minta dipijat. Apalagi jika si santri baru mulai baca dan Mbah Yai mengulurkan tangan. Pasti semua orang waras di muka bumi paham artinya.


Upin, sebut saja begitu, baru mulai baca di antrian pertama. Baru beberapa larik ayat dibacanya, Mbah Yai mengulurkan tangan beliau. Melihat hal itu, dengan sigap Upin langsung baca shadaqallahul azhim, menyambut tangan Mbah Yai, menyalami dan menciumnya. Lalu mundur teratur.


"Eh," tegur Mbah Yai, "Sik, Kang. Sik. Pijet."


Upin mematung. Sementara santri-santri lain cekikikan.


__


Suatu hari seorang santri ndalem bernama Jarjit, sebut saja begitu, ikut rombongan Mbah Yai Najib ke satu daerah. Selama perjalanan dia duduk di jok belakang mobil jenis ABV. Jalanan ke daerah itu masih rusak. Sehingga Jarjit pun tergoncang-goncang, tersiksa, sama sekali tak nyaman.


Esoknya, sopir Mbah Yai mencuci mobil itu di samping ndalem. Karena ada urusan, ia minta Jarjit meneruskan pekerjaannya. Jarjit menurut. Ia siram, sabuni, dan lap bagian belakang mobil itu sambil mengomel agak keras,


"Mobil kok nggak enak banget begini!"


Usai ngomong begitu, ada suara khas di belakangnya,


"Terus yang enak mobil apa, Kang?"


Jarjit mematung. Dia kenal betul suara itu. Ia pun menengok dan ternyata Mbah Yai sudah berdiri di sana. Napasnya mandeg sebentar. Mati kutu.


"I.. I.. Innopa, Yai," jawab Jarjit sekenanya.


Beberapa waktu kemudian Mbah Yai ganti mobil. Innopa.


__


Mutu, sebut saja begitu, beruntung betul jadi santri ndalem. Sehari-hari ia bisa melayani kebutuhan rumah tangga Mbah Yai Najib.


Suatu hari, setelah melaksanakan tugasnya di ndalem, Mutu hendak kembali ke komplek pondok. Sebelum keluar ndalem, dia clingak-clinguk. Kenakalan ala santrinya kumat.


Diam-diam dia buka kulkas ndalem. Lalu mengambil sebutir apel dari sana. Kemudian menutup pintu kulkas dengan hati-hati. Buah apel yang nampaknya lezat itu dia sembunyikan di gulungan sarung. Aman.


Lantas dia melenggang keluar menuju komplek. Sampai di teras, ada Mbah Yai. Mutu pun menunduk sebagai tanda hormat. Saat itulah apel di gulungan sarungnya lepas. Mak tepluk, nggelundung pas di depan Mbah Yai.


Mutu mematung. Matanya melotot. Maju kena, mundur kena. Berasa ingin jadi tengu saja biar nggak kelihatan. Malu bukan kepalang.


Mbah Yai mengambil apel itu sambil berujar, "Ini, Kang, jatuh."


Mutu menerimanya dengan gemetar. Belum sempat ia ngacir, Mbah Yai menyambung,


"Sekalian apel yang di kulkas ambil semua, Kang. Buat teman-teman."


__


Adatnya, tiap kali ada keluarga santri yang wafat, teman-teman santri sekamar bakal berangkat takziyah. Salah satu santri, sebut saja Ipin, bertugas sowan minta ijin kepada Mbah Yai Najib.


Setelah Ipin menghaturkan maksudnya untuk berangkat melayat ke luar kota, Mbah Yai mengijinkan sambil dhawuh, "Pakai mobil saja ya, Kang."


Ipin mengangguk, "Nggih, Yai."


Sekeluarnya dari ndalem, entah karena tadi salah dengar atau memang lagi tak fokus, ia langsung menemui sopir Mbah Yai.


"Kang," sapa Ipin.


"Apa?" sahut sopir.


"Teman-teman mau takziyah. Sama Pak Yai disuruh pakai mobilnya. Sampean yang nyopir ya."


"Pak Yai dhawuh begitu?"


"Iya."


"Oke."


Jadilah si sopir mengambil mobil Mbah Yai. Kemudian mereka berangkat dengan buncahan rasa istimewa. Cengar-cengir gembira. Bagaimana tidak? Dipinjami mobil kiai lho!


Tak lama, Mbah Yai keluar dari ndalem ke garasi. Beliau mau tindakan. Melihat mobilnya raib, spontan beliau menelepon si sopir.


"Mobil dimana, ya?" tanya beliau.


"Ini sudah saya bawa, Yai," jawab sopir di ujung telepon.


"Lhoh, bawa kemana?"


"Ke kota anu, Yai."


"Siapa yang suruh bawa mobil saya?"


Si sopir langsung mendelik ke arah Ipin. Dia mulai sadar ada yang tak beres.


"Pulang!" kata Mbah Yai, "Mau dipakai mobilnya."


"Nggih, Yai."


Lalu si sopir buru-buru putar arah, balik ke pondok, sambil ngomel-ngomel sepanjang jalan. Sampai di gerbang pondok, Mbah Yai sudah menunggu di sana. Santri-santri di dalam mobil tampak mematung semua. Tampang mereka pucat pasi!


Mungkin inilah kejadian ghosob paling canggih di dunia persantrian. Ketika santri ghosob mobil kiainya sendiri, lengkap sesopir-sopirnya. Ya begitulah rupa-rupa tingkah polah para santri Mbah Yai Najib. Kebayang 'kan betapa sabarnya beliau?


__

Lahul Fatihah.

Kalibening, 21-1-2021



Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya