Sopir - MbahNajib #17

 Sebelum punya mobil, Mbah Yai Najib tindakan kemana-mana pakai motor. Kadang berangkat sendiri, kadang ajak santri. Suatu hari beliau dapat undangan acara di Kulonprogo.


Beliau mengajak salah seorang santri, sebut saja Gagah. Bisa dibilang, Gagah ini sopir generasi pertama Mbah Yai. Sopir sepeda motor.


"Kang, nanti ikut acara di Kulonprogo ya," dhawuh Mbah Yai.


"Nggih," sahut Gagah.


Ia pun bersiap-siap. Berdandan selayaknya akan hadir acara resmi. Gagah memakai sarung, hem, peci hitam, dan luaran jas. Necis betul. Kemudian ia menuju ndalem. Di sana Mbah Yai sudah menunggu. Beliau mengenakan sarung, baju batik, peci, dan sorban.


"Kamu di depan ya, Kang."


"Nggih, Yai."


"Eh, tapi apa kamu sudah punya SIM?"


"Be.. belum, Yai."


"Lha, gimana."


Gagah cuma diam. Ya bagaimana. Memang tak punya SIM. Padahal belum tentu di jalan ada operasi. Kalaupun dihadang polisi, tentu bisalah nego dengan tameng nama besar Krapyak. Tapi tidak. Mbah Yai tetap mau taat aturan.


"Kalau begitu saya saja yang bawa. Nih," tukas Mbah Yai sambil menyerahkan sorbannya kepada Gagah.


Meski kikuk, Gagah menurut. Mbah Yai duduk di depan, sementara Gagah membonceng di belakang. Sorban Mbah Yai ia selempangkan di pundaknya.


Jadilah pemandangan yang canggung. Gagah yang berjas necis seakan-akan jadi kiainya, sementara Mbah Yai yang batikan jadi sopirnya. Apalagi saat itu wajah Mbah Yai masih terlihat muda.


Betul saja. Ketika sampai di lokasi pengajian, baru saja sepeda motor berhenti, orang-orang bergumam, "Pak Kiai datang, Pak Kiai datang."


Dengan antusias, orang-orang yang dekat parkiran mengerubung. Mereka menyalami dan mencium tangan sosok lelaki berjas necis dan bersorban, dengan begitu ta'zhim. Gagah salah tingkah, sementara Mbah Yai cuma senyum-senyum.


__


Para sopir memang punya kedekatan tersendiri dengan Mbah Yai. Di kalangan para santri, mereka ini salah satu dari empat posisi elit. Yakni santri ndalem, ustadz, pengurus, dan sopir.


Kedekatan itu membentuk hubungan khusus antara para sopir dengan Mbah Yai. Ada ikatan emosional istimewa antara mereka dengan beliau. Dan tentu saja, ada bergudang kisah tentang pribadi Mbah Yai, yang sanadnya bersumber dari para sopir ini.


__


Suatu hari Gareng, sebut saja begitu, menyopiri Mbah Yai di satu acara luar kota. Seperti biasa, usai acara tuan rumah memberi bingkisan jajan untuk oleh-oleh. Salah satunya adalah sebungkus besar keripik singkong. Ditaruh di belakang.


Sampai di suatu daerah, Mbah Yai tertidur pulas. Suasana mobil pun sepi. Gareng membatin di dalam hati, "Wah nyopir begini kalau sambil ngemil keripik enak nih."


Tiba-tiba Mbah Yai bangun! Tepat setelah Gareng mbatin. Lalu beliau mengambil bungkusan keripik di belakang. Membukanya. Mengambil sekeping keripik, lalu membelahnya jadi dua. Ya, satu keping keripik dibelah jadi dua!


"Nih, Kang," kata Mbah Yai sambil mengulurkan setengah keping keripik itu kepada Gareng, "Dimakan, ya."


Gareng yang masih kaget cuma bisa bengong, menerima keripik separo itu, lalu pelan-pelan mengunyahnya. Sementara separo lainnya dimakan Mbah Yai sendiri. Romantis betul.


__


Tidak hanya Gareng, sopir lain juga pernah mengalami hal serupa, sebut saja namanya Arnol. Di tengah terik siang yang panas, Arnol menyopiri Mbah Yai ke suatu acara. Saat itu ikut serta pula keluarga Mbah Yai, termasuk cucu-cucu beliau yang masih kecil.


Di tengah jalan Arnol membatin dalam benaknya, "Panas-panas gini makan es krim enak nih."


Jeda beberapa ratus meter, Mbah Yai menyuruh berhenti. Arnol pun menepikan mobil tepat di pelataran satu minimarket. Mungkin Mbah Yai ada keperluan, pikirnya.


"Tolong belikan es krim ya, Kang," titah Mbah Yai, "Ini duitnya."


Arnol turun dari mobil dan masuk minimarket. Beli es krim, kemudian kembali ke parkiran. Ia kira Mbah Yai membelikan es krim itu untuk cucu-cucunya. Dia benar-benar sudah lupa bersitan hatinya saat menyopir tadi.


Begitu sampai di parkiran, Arnol menyerahkan bungkusan es krim itu, "Ini, Yai."


"Ya, kamu makan dulu es krimnya," kata Mbah Yai Najib, "Dimakan dulu. Nanti kita lanjut jalan."


Arnol bengong. Benar-benar bengong. Ia jilati eskrim itu sambil bengong sebengong bengongnya.


Di hari pemakaman Mbah Yai, kulihat para sopir mengerubung mobil jenazah yang membawa beliau dari pondok ke makam. Mobil terakhir yang dinaiki Mbah Yai di alam dunia.


Tampak betul bendungan air mata mereka tahan, sambil mengiring laju lambat mobil itu. Mereka ingin mengantar perjalanan jasad Mbah Yai Najib untuk yang terakhir kalinya.


__

Lahul Fatihah

Kalibening, 22-1-2021



Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya