Pakdhe Kiai Abda; Wakaf Hidup Untuk Masjid

 KIAI MASJID


Sebelum wafat, Pakdhe Yai Abda menitahkan putra-putri dan santri-santrinya untuk membaca 10.000 kali shalawat. Lalu beliau tak sadarkan diri. Ketika sadar, beliau kabarkan kepada semua yang hadir di situ, "Aku sudah ketemu Kanjeng Nabi. Tinggal satu rumah lagi (akan kusinggahi)."


Semua orang di kamar itu menghirup wangi semerbak luar biasa. Esok harinya, Jumat pagi beliau betul-betul 'pindah rumah'. Dari rumah yang penuh perjuangan di alam dunia, ke rumah peristirahatan total di alam barzakh.


Sebagai kiai, beliau tidak hanya berperan menjadi pengajar ilmu agama dan pengupas kitab-kitab salaf, tapi juga penggerak masyarakat yang sangat giat. Beliau punya energi dan wibawa yang begitu besar, khususnya bagi warga Kalibening.


Apalagi ketika dimulainya proyek pembangunan (renovasi) Masjid Al-Muttaqin Kalibening. Beliau tak henti-hentinya memotivasi masyarakat untuk mandiri dan berdaya membangun masjid kampung sendiri. Setelah jadi, beliau terus menyemangati masyarakat untuk memakmurkan masjid.


Sehari-hari beliau mengimami shalat jamaah lima waktu di Masjid Al-Muttaqin Kalibening. Bahkan pernah juga memimpin warga untuk riyadhah shalat jamaah 40 hari tanpa putus sebagai pengamalan salah satu hadits Rasulullah, yang jaminannya adalah terbebas dari sifat munafik dan api neraka.


Bakda subuh dan bakda Ashar beliau membacakan kitab di masjid. Ihya dan Jalalain adalah wiridan rutinnya. Tiap selasa siang beliau menggelar pengajian pekanan bersama para ibu. Tiap malam ahad beliau gelar pengajian bersama para bapak. Lengkap dengan tanya jawab fikih keseharian. Semua dipusatkan di Masjid Al-Muttaqin.


Belakangan, saat ada keresahan warga sebab banyaknya anak kecil yang kecanduan hape, beliau bertindak. Beliau gelar pengajian untuk anak-anak tiap sore, lalu tiap pekan. Beliau turun langsung membimbing mereka ngaji, hapalan doa dan ayat-ayat Quran.


Demi memakmurkan masjid pula, beliau meminta tiga orang; Kiai Yasin, Kiai Rouhan, dan aku, untuk menyimak sorogan Quran santri-santri Pesantren Hidayatul Mubtadiin di masjid tiap bakda Ashar. Semarak betul saat itu.


Saat awal masa pandemi, beliau sangat resah sebab merebaknya ketakutan masyarakat untuk berjamaah di masjid. Kekuatiran yang sangat manusiawi dari seorang pejuang masjid. Apalagi watak beliau memang ketat untuk urusan akidah dan syariat. Tapi beliau tetap taat aturan ulil amri, untuk membatasi kegiatan dan beberapa protokol lainnya.


Ketika itu beliau datang ke rumah (rumah kami berdampingan), menemuiku. Kemudian memintaku untuk membaca Quran (tartilan) di masjid dengan pengeras suara tiap jelang maghrib. Maka titah itu kulaksanakan, tapi hanya berlangsung sekitar sebulan, Sya'ban - Ramadan, lalu aku mudik ke Tegal.


Kuingat betul khutbah beliau saat Idul Fitri kemarin; "Di saat susah wabah seperti ini, mari saling bantu sesama warga. Jangan sampai ada tetangga yang tidak bisa makan, tidak punya beras! Infak panjenengan untuk masjid dan pesantren tidak hanya digunakan untuk pembangunan, tapi juga bisa disalurkan untuk warga yang sangat membutuhkan! Mari saling bantu, saling tolong menolong!"


Belum lagi aktivitas kemasyarakatan yang begitu padat. Undangan ceramah atau kenduri, pasti dihadiri. Gelar 'kiai' yang beliau sandang betul-betul hakiki, bukan sekadar sebutan penghormatan dan formalitas.




Sugeng tindak, Pakdhe Kiai Abda Abdul Malik bin Simbah Kiai Abdul Halim, Kalibening. Hari ini, Jumat 9 Juli 2021 / 29 Dzulqa'dah 1442, kami kehilangan beliau. Kiai yang pesantrennya membentang sekampung Kalibening, kiai yang santrinya seluruh warga Kalibening, kiai yang hidupnya diwakafkan untuk masjid.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya