Ternyata Sudah Tiga Jam

Saat isoman kemarin aku jadi terbiasa scrolling layar hape berjam-jam, gabut tanpa kerjaan. Biasanya kugunakan hape buat ngetik dan surfing artikel-artikel bahan baku artikel. Tapi masa-masa isoman itu memang sama sekali tak kusentuh kerjaan dan aktivitas 'berbau mikir'.


Sayangnya kebiasaan itu terbawa sampai kini setelah sembuh. Misalnya seminggu lalu. Sejak pagi, jam enam, aku sudah mulai buka hape. Gara-gara di grup-grup watsap banyak kabar-kabar duka wafatnya kerabat dan para guru.


Lalu secara reflek jemariku scrolling kesana kemari, fesbuk, twitter, instagram, watsap, yutub, telegram. Nonton video-video pendek, baca-baca status, kepo isu-isu terkini yang lagi hot. Tak terasa sampai jam sembilan. Ternyata sudah tiga jam!


Tiga jam bukan waktu yang singkat. Tapi bisa begitu saja menguap di hadapan papan sihir itu. Padahal dalam tiga jam ternyata ada banyak hal yang bisa kulakukan.


Tiga jam pantengin layar hape, ternyata bisa buat deep-work, nulis satu-dua artikel buat Green Network, atau nranskrip satu-dua video ceramah ulama buat Santrijagad, atau rampungin belasan draft naskah buku yang mangkrak.


Tiga jam melompat-lompat linimasa facebook, ternyata bisa buat sinau satu menu garang asem ayam, dengan cita rasa yang lumayan mirip garang asem di rumah Talkhis.


Tiga jam baca utas di twitter, ternyata bisa buat baca Atlas Walisongo berbab-bab sampai ngantuk, atau malah bisa lanjutin konten #SeriTarbiyah #UlasBuku dan #Pepujian buat youtube.


Tiga jam pantengin instagram, ternyata bisa buat nderes Al-Baqarah, baca shalawat rahmat seribu kali, dan nyenandung Maulid Jawi plus Kasidah Muji Nabi.


Tiga jam tiktokan, ternyata bisa buat jalan kaki keliling RT sama Aya, joging keliling lapangan Kalibening, bersepeda ke Taman Tingkir, atau gerak badan SKJ 2000.


Tiga jam watsapan, ternyata bisa buat ngobrol dengan orang tua babagan sawah, guyon dengan anak-istri, keliling kampung sekadar menyapa tetangga dan cerita pengalaman isoman, atau dolanan sodor dan dam-daman dengan anak-anak kecil sekitar.


Tiga jam yutuban, ternyata bisa dipake buat bersih-bersih dapur, bolongi biji-biji kelengkeng buat dibikin tasbeh, belajar benerin pompa galon elektrik yang ngadat, nyiram pot-pot jahe merah, atau pilah-pilah sampah plastik buat dikiloin.


Tiga jam berselancar di dunia maya, yang hectic dan melumpuhkan, ternyata bisa buat banyak hal di dunia nyata, yang produktif dan menyehatkan.


Tiga jam yang terasa sekelebat itu bisa mengubah banyak hal dalam hidup. Kebugaran tubuh, potensi finansial, hubungan sosial, kecakapan personal, bahkan pencapaian spiritual. Dalam tiga jam itu aku bisa berlatih kecakapan hidup, kecakapan sebagai pendidik, suami, ayah, dan kecakapan kerumahtanggaan.


Dalam tiga jam itu bisa untuk menjalin tali persaudaraan, mempererat hubungan dengan anak, istri, orang tua, tetangga, dan menanam kesan indah dalam benak orang-orang sekitar.


Dalam tiga jam itu bisa untuk membuat karya-karya baru, merawat lingkungan hidup, membugarkan jasmani, atau berkontemplasi dan menyegarkan rohani.


Namun sebaliknya, sebagaimana kulalui selama ini, dalam tiga jam bisa juga hanya scrolling tanpa tujuan. Dalam tiga jam bisa juga hanya rebah malas-malasan.


Itu baru tiga jam. Bagaimana kalau lima jam? Sembilan jam? Atau bahkan sampai 15 jam tersihir layar gawai? Apakah sepadan dengan apa yang didapatkan?


Apakah sepadan dengan menurunnya kesehatan badan? Apakah sepadan dengan renggangnya hubungan dengan sekitar? Apakah sepadan dengan jiwa yang kering kerontang? Apakah sepadan dengan kesempatan yang terbuang?




Coba periksa berapa durasi rata-rata memaku mata di layar gawai. Buka pengaturan, pilih 'kesehatan digital'. Di situ terpampang berapa jam bergaul di dunia maya, berapa jam bergaul di dunia nyata.


Ketidakmampuan dalam melakukan hal-hal produktif sebenarnya bukan karena tak punya waktu. Melainkan karena terlalu asyik dengan distraksi. Tak komitmen dengan prioritas, atau bahkan tak punya prioritas.


Alangkah betul pepatah itu, "Al-waqtu ka as-sayf (waktu bagaikan pedang) in lam tuqthi'hu (kalau kau tak mematahkannya) qatha'ak (maka dialah yang menebasmu)."


Astaghfirullaha wa atubu ilaihi.


Tuwel, Idul Adha 1442

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya