Kang Ali, Apa Kabarmu?

Sekira bulan puasa tujuh tahunan lalu, ada seorang musafir nyasar ke kamar kosku. Kebetulan kamar kosku dekat jalanan, nampaknya dia sering lewat dan melihatku duduk santai di bawah pohon depan kosan. Sore itu dia mampir, pas jelang berbuka.


Dia memperkenalkan diri dengan nama Ali, sebut saja begitu. Penampilannya cukup necis. Kemeja dan celana gelap, bersepatu dan rambut klimis. Hanya muka dan kulitnya saja yang kusut dan keling, khas musafir pejalan kaki. Ia membawa tas jinjing, seperti sales.

Dari dalam tas itu dia tawarkan tasbih-tasbih dagangan. Tapi dari cara menawarkan barang, agaknya dia tak begitu bakat jadi sales. Bukannya membujukku beli, dia malah curhat.

Karena sudah waktunya berbuka, dia kuajak makan sekalian. Waktu mau berwudlu, aku agak kuatir meninggalkan kamar. Siapa tahu pria asing ini maling. Tapi melihat gelagatnya sepertinya bukan. Benar saja, saat kembali ke kamar, dia masih di sana. Duduk bersila di dalam kamar kosku yang sempit.

Selepas maghriban, pria asing ini bercerita tentang perjalanan hidupnya. Bagaimana dia yang berasal dari satu daerah di Jawa Timur sampai di Bantul, Yogyakarta. Tentu aku bersikap ramah dan apresiatif atas ceritanya. Maklum, pertemuan pertama.

Dia berkisah, dulu pernah hidup mapan. Bekerja menjadi pegawai dengan gaji lumayan. Karena ada suatu masalah, ia kena fitnah dan tak bisa melawan. Belum lagi konflik dengan keluarga besarnya. Kondisi ini membuatnya tak betah, hanya sang ibu yang membuatnya bertahan di rumah.

Lama kelamaan dia tak kuat, maka ia memilih merantau ke Jakarta, dan meninggalkan ibunya. Dalam bayangannya, dia akan bekerja di ibukota barang setahun dua tahun, lalu kembali setelah sukses dan membungkam mulut saudara-saudaranya.

Tapi apa daya, di sana dia hanya bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Lalu ada tawaran pekerjaan dari seorang kawan buruh di daerah Jawa Tengah, tapi sampai di Jogja dia hilang kontak. Kawannya tak bisa dihubungi, maka terlantarlah dia di kota ini.

Untuk menyambung hidup, dia tak mau mengemis. Ia punya cara yang cukup cerdas, atau bisa dibilang licik. Dia akan ikut salat jamaah di satu masjid. Setelah salat, dia akan mendekati dan mengajak ngobrol satu orang yang terlihat jelas sebagai warga setempat, tokoh, dan berada.

Agaknya dia cukup pengalaman membaca psikologi orang. Dia akan cerita tentang tawaran kerja bodong dari kawannya sampai harus terlantar di Jogja. Tentu saja orang waras bakal kasihan mendengar kisah semacam itu. Maka mereka akan memberinya sangu uang, atau bahkan mengajaknya makan dan menginap.

Begitulah hari-harinya ia lalui saat awal terlantar di Jogja. Beralih dari satu masjid ke masjid lain, satu rumah ke rumah lain, untuk menumpang hidup tanpa harus mengemis. Itulah mengapa dia selalu mempertahankan penampilan necisnya, agar omongannya dipercaya dan tak dipandang rendah.

Hingga suatu hari ia mampir di satu pesantren. Sebab kasihan, pengasuh pesantren itu menawarinya bekerja di sana. Dia boleh tinggal dan makan di sana, tapi sambil bersih-bersih dan ngaji. Bahkan pengasuh pesantren memberikan tasbih-tasbih dagangan untuk dijual dan ditabung labanya.

Dari keseluruhan ceritanya, dari gaya bicaranya, dari pola komunikasinya selama mengobrol, bisa kusimpulkan dia orang yang tak tegas. Sosok peragu yang sulit memutuskan langkah, sehingga pada akhirnya merepotkan dirinya sendiri. Tapi itu pula yang membuatku kasihan.

Namun malam pertama itu aku tak menanggapi apa-apa. Hanya manggut-manggut mengiyakan saja. Kupikir setelah cerita, dia akan merasa plong, lalu pamit pulang. Ternyata tidak. Dia menginap. Wah, ya mau bagaimana lagi. Tak mungkin kusuruh dia pergi. Akupun membagi kasur gulung kecil tipisku untuk tidur kami berdua, dengan tetap pasang mode waspada.

Pagi hari, setelah sarapan yang kubelikan, tamu ini pamit pergi. Mau jualan lagi, katanya. Aku sedikit lega dan memberinya semangat. Dia pun pergi dengan penampilan necis, memang tak nampak seperti gelandangan. Tak kuduga, sore hari ia balik lagi ke kosan kumuhku. Aduh.

Dia pun kembali bercerita nasib ngenesnya sampai waktu berbuka. Kali itu tak kutemani dia lama-lama di kos, karena setelah Maghrib aku langsung ke pondok sampai selesai tarawih dan ngaji kitab.

Aku baru balik ke kos jam 10 malam. Kulihat dia sudah selonjor tidur di kasurku dengan kaki menyilang. Sehingga tak ada ruang lagi buatku tidur. Mau tak mau akupun tidur di lantai dekat pintu, beralas sajadah berbantal buntelan baju kotor.

Dia menginap di kosku sampai seminggu lamanya. Tiap malam berkeluh kesah dengan mimik wajah nelangsa, sampai-sampai aku pun ikut sumpek. Aku tak tahu apakah aku hanya salah satu 'korban' cerita sedihnya atau tidak. Yang jelas dia memang sedang susah. Tak ada orang mapan yang mau menjalani laku hidup berkeluh kesah kepada sesama makhluk semacam itu.

Akhirnya di malam terakhir kutega-tegakan ngomong, "Sampean mau begini terus sampai kapan?"

Kusarankan dia untuk meneguhkan hati, mengambil sikap tegas untuk melangkah. Terserah langkah apapun itu, yang penting dia tetapkan tujuan dan yakin atas keputusannya itu. Entah menetap dan mengabdi di pesantren yang sudah mengasihaninya. Atau merintis usaha kecil-kecilan sendiri di Jogja. Atau pulang kampung untuk merawat ibunya.

Kusarankan ia pulang saja ke kampung halaman. Kuingatkan dia masih punya jimat yang sangat ampuh, yakni ibu. Kusampaikan dugaan, jangan-jangan nasib yang terlunta-lunta itu sebab sang ibu tidak rela. Sampai-sampai kuberi dia sangu untuk ongkos transportasi pulang ke daerahnya.

"Sudah dua tahun sampean nggelandang begini tanpa kabar. Pasti ibu sampean kangen."

Dia nampak terisak, lalu berkali-kali minta maaf dan berterima kasih. Kemudian pergi dengan wajah tertunduk. Kuamati dari kejauhan, nampak badan yang kurus, baju yang mulai lusuh, dan mungkin hati yang remuk. Mataku pun sudah mengembun.

Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi, sampai hari ini.

Kang Ali, apa kabarmu? Apakah kau benar-benar pulang? Bagaimana kabar ibumu sekarang? Semoga kalian sehat-sehat saja, berkehidupan layak dan berbahagia.

___

Salatiga, 9 Agustus 2021

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya