Langgar Baitul Atiq dukuh Krajan Desa Tuwel, pas sebelah rumah orang tua, rencananya mau dipugar. Ramadan kemarin para pinisepuh musyawarah. Selain membahas pembiayaan, para sepuh juga membicarakan desainnya, tentu dengan mengundang arsitek muda kebanggaan warga Krajan, Fatah.
Kabarnya, bangunan langgar akan ditambahi kubah dan menara. Agaknya memang masyarakat sedang demam kubah dan menara, meskipun aku pribadi blas tak paham apa fungsi dan urgensinya dalam konteks langgar tengah kampung.
Tapi ya terserah warga kaum saja maunya bagaimana. Setelah musyawarah usai, aku jagongan dengan Fatah. Ternyata selama kuliah di Semarang, dia mondok di pesantrennya Kiai Budi Harjono yang masyhur dengan tari sufinya -bahkan belakangan jadi menantunya.
Langsung saja kuutarakan padanya mengenai keresahanku terhadap arsitektur masjid-masjid dan langgar-langgar kampung belakangan ini, yang agaknya terlalu memaksakan diri agar kelihatan modern dan wah, namun kehilangan sisi-sisi kesahajaannya. Over-ornament, tidak ramah musafir, serta banyaknya organ-organ bangunan yang tidak jelas fungsinya.
Ternyata Fatah mengiyakan dan merasakan keresahan yang sama. Wah ya pantes, santrinya Kiai Budi gitu lho. Dia menyatakan tak sedikit langgar yang jadi 'bagus' dan mentereng usai dipugar, tapi aura keayemannya pudar. Dia malah cenderung suka model masjid-masjid kuno yang ia sebut 'ala Walisongo'; yang umumnya banyak pintu, beratap limas, berserambi luas, dan tentunya ramah musafir dan bocah-bocah.
Akhirnya kami ngobrol tentang bagaimana rencana desain langgar besok. Kami tetap akan mempertahankan beberapa item. Tentu saja tanpa menghilangkan apa yang diinginkan para pinisepuh; kubah dan menara.
Pertama, serambi harus dipertahankan, banyak fungsinya. Bisa untuk dolanan bocah, buka bersama, latihan terbangan, santai musafir, atau sekedar kongkow para pemuda. Aku prihatin dengan banyak masjid yang dipugar dengan penambahan kubah dan menara tapi kehilangan serambi. Kubah dan menara adalah budaya Persia (bangsa Arab awalnya tak kenal kubah dan menara), sedangkan adanya serambi di masjid-masjid lama adalah arsitektur khas Nusantara. Bahkan di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, serambi disebut dengan Mahkamah Kubro (pengadilan agung).
Kedua, jendela-jendela keliling di tiga sisi tembok juga harus dipertahankan. Selain untuk kelancaran sirkulasi udara, juga untuk menyediakan pencahayaan alami di kala siang. Ventilasi dan pencahayaan adalah hal vital dalam tata ruang. Jangan sampai setelah dipugar, langgar yang asalnya lapang dan segar jadi pengap dan gelap sehingga harus selalu diterangi lampu dan disembur kipas angin.
Keempat, posisi kolah yang mudah diakses harus dipertahankan. Bilapun nanti akan diperluas, diperdalam, dipercantik, terserah. Yang penting gampang diakses dan tidak menyulitkan orang tua.
Oiya, satu lagi hal yang agaknya kurang diperhatikan ketika kita rehab langgar atau masjid. Yakni pembenahan tata suara (soundsystem). Banyak masjid-masjid kampung yang megah dan bagus, tapi speakernya naudzubillah. Kukira dana untuk membuat satu menara sangat cukup untuk menyediakan perangkat tata suara berkualitas premium sekelas tata suara Syechermania misalnya. Meski demikian, secara pribadi aku tak sepakat dengan penggunaan speaker secara berlebihan.
Aku percaya bahwa selain berfungsi ritual, masjid dan langgar juga punya fungsi sosial. Misalnya, masjid atau langgar yang berlokasi di pinggir jalan mustinya dirancang agar ramah musafir, terutama urusan serambi dan kolahnya. Masjid atau langgar yang berlokasi di tengah kampung mustinya dirancang agar ramah penduduk, terutama urusan ventilasi dan tata suaranya.
Namun lebih dari semua itu, yang lebih penting dari segala rancangan tata ruang sebuah rumah ibadah adalah eksistensi jamaahnya. Percuma bagus masjid dan langgarnya tapi sepi pemakmurnya. Begitu digiati oleh mereka yang berbeda paham, ngamuk nggak karuan. Iya 'kan?
__
Salatiga, 11 Agustus 2018