Wushul

Sejak remaja sudah kudengar istilah ini. Istilah berhawa mistis dan berkesan sangat jauh untuk dijangkau. Yakni wushul, atau sampainya perjalanan batin seorang hamba mencapai pintu gerbang hakikat ketuhanan.


Bagi seorang muslim, jalan menuju wushul kepada Allah tak lain dan tak bukan harus melalui rambu-rambu Baginda Muhammad. Tanpa itu, perjalanan ini bisa jadi hanya sekadar petualangan tanpa arah, tersesat dalam rimba kebingungan, atau bahkan mati kelelahan sebelum sampai tujuan.


Maka ke-wushul-an adalah tentang ketersambungan erat antara tiga titik, yakni hamba, sang nabi, dan Tuhan semesta alam.


Dulu kukira wushul ini hanya utopia. Tapi belakangan, hari-hari dewasa ini, setelah mengalami berumah tangga, bermasyarakat, bekerja, penyakitan, bermasalah, dan beragam drama hidup lainnya, kurasakan bahwa wushul ini memang sangat perlu menjadi tolok ukur segala giat kehidupan seorang hamba. Menjadi arah tujuan yang memandu setiap sikap dan langkahnya. Menjadi penentu apa yang berguna dan apa yang sia-sia.


Bukankah, kata Nabi, tanda sempurnanya keimanan seseorang adalah dengan meninggalkan hal yang sia-sia?


Buat apa semua kerepotan mengaji, menghapalkan ilmu alat, mendalami kitab-kitab, menghadiri majlis-majlis, kalau hanya untuk menumpuk-numpuk pengetahuan dan tidak bermuara pada wushul kepada Sang Sumber Segala Ilmu?


Buat apa semua jungkir balik ritual dilakukan, duduk terpekur semalaman, bolak-balik kitab suci dikhatamkan, bulir-bulir tasbih ribuan kali diputar, jika hanya berniat agar keinginan duniawi dikabulkan, tanpa sedikitpun niat untuk wushul Pemilik Hidup dan Mati?


Buat apa semua karya ilmiah-ilmiah mentereng, tulisan penelitian berbulan-bulan, diskusi berbusa-busa, berwacana mendakik-dakik, merumus teori-teori rumit, kalau sekadar unjuk eksistensi dan tidak menuju wushul kepada Yang Mahajelas Adanya?


Buat apa semua kata-kata diceramahkan, dalil-dalil dipidatokan, kalimat-kalimat dimimbarkan, berdakwah kesana kemari, menuturi orang-orang untuk beribadah, kalau hanya untuk mengajari orang lain begini dan begitu, aturan ini aturan itu, tanpa ada himmah untuk wushul kepada Ia Yang Maha Disembah?


Buat apa semua aksi kebaikan, berbagi harta pada yang kesusahan, menolong fakir miskin yang kekurangan, menanam pohon demi kelestarian lingkungan, menjaga sungai demi keselamatan alam, kalau tujuannya sekadar berputar-putar di antara ciptaan, tidak mengarah pada wushul kepada Sang Pencipta Segalanya?


Buat apa semua penemuan, kreasi akal-akalan, pencapaian-pencapaian, jabatan-jabatan, tabungan-tabungan, bangunan-bangunan, pikiran-pikiran, pujian-sanjungan, kalau hanya untuk mengenyangkan perut dan memuaskam ego, tanpa sebersitpun keinginan menuju wushul kepada Yang Mahaabadi?


Buat apa semua adu gelut, berbantah mulut, berebut kursi, jilat-menjilat, sikut-menyikut, dan segala upaya mahal dan melelahkan untuk mencapai puncak itu jika hanya untuk menguasai, tanpa setapak pun melangkah menuju wushul kepada Sang Penguasa Sejati?


Buat apa semua kepedihan hidup, kepayahan usaha, kelelahan berkeluarga, beserta silih bergantinya kebahagiaan, kebungahan, dan keberuntungan, jika hanya untuk dilalui sekejap saja lalu mati, bagai meteor yang melintas sekejap di petala langit, yang berpijar sejenak lalu hilang, dan tidak bersiap diri untuk melakukan perjalanan menuju wushul kepada Sang Awal dan Akhir Perjalanan?


Kawan, kita sudah berkali-kali menelan kecewa, berulang-ulang kenyataan tak sesuai cita-cita, terdampar dalam suka dan duka, terlempar kesana kemari demi penghidupan, terkurung di penjara sempit bernama dunia. Rasa-rasanya eman-eman jika di perjalanan hidup yang singkat ini kita tak mencicipi secuilpun wushul pada-Nya, tanpa secercahpun kerinduan pada nabi-Nya.


Jikapun memang benar wushul sangat jauh untuk dijangkau, setidaknya kita sudah memulai perjalanan itu.




Kalibening, 7 September 2021

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya