Kisah Anak SMP Tolak Ujian Nasional - KBQTDiary #58

-- Kalibening, 2006 --


"Kalian pembelot!" bentak anak itu, disusul bentakan-bentakan lain. Suasana menjadi makin tegang. Mulai terdengar isak tangis yang tak bisa lagi dibendung.


Malam itu suasana hati anak-anak kelas tiga SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga memang sedang kalut. Mereka berkumpul di salah satu ruang kelas, menyidang tiga siswa yang dianggap membelot.


"Kami nggak membelot! Kami hanya mau cari pengalaman baru, itu aja!" sergah Izza, salah satu dari tiga tertuduh.


Sebelumnya, anak-anak kelas tiga SMP itu sudah menyepakati satu hal yang tak terbayangkan. Bahkan membuat pendiri sekolah, Pak Bahrudin, terkejut bukan main dan melesat jauh dari perkiraannya. Anak-anak yang sudah disorot berbagai media itu, yang digadang-gadang lanjut ke sekolah-sekolah favorit itu, justru bermufakat untuk tidak ikut ujian akhir nasional (UAN).


Alasannya sederhana tapi mengandung idealisme yang cukup mewah. Anak-anak remaja itu menganggap bahwa semestinya kelulusan tidak ditentukan dengan ujian yang seragam. Mereka berpendapat bahwa keberhasilan belajar tidak boleh diukur dengan angka-angka dalam selembar ijasah.


Keputusan itu digenggam erat oleh seluruh siswa, hingga muncul tiga anak yang punya ide nyeleneh. Izza, Fina, dan Kana, memutuskan untuk tetap ikut ujian nasional.


"Kita semua kan sudah sepakat nggak ikut UAN! Kalau kalian tetap ikut, berarti kalian mengkhianati kesepakatan!" gugat salah seorang anak.


"Iya, bukankah kita semua sepakat, tugas akhir kita adalah membuat karya, bukan ikut UAN. Memangnya kalian mau apa sih ikut UAN? Masih mengejar ijasah?" gugat yang lain.


"Tidak, tidak!" sela Fina, "Kami hanya mau merasakan bagaimana proses UAN!"


"Ya! Kita harus merasakan langsung sesuatu yang selama ini kita kritik," imbuh Kana.


Gugatan demi gugatan terus meluncur. Pembelaan demi pembelaan tak jua makbul. Hingga akhirnya pendamping kelas mereka, Pak Ahmad, menengahi persengketaan itu.


"Sudah, sudah. Jangan ada permusuhan di antara kita. Pasti ada jalan keluar. Mari kita cari solusinya bersama," tutur beliau.


Setelah rembug dengan cukup alot dan emosional, akhirnya mereka menemukan titik terang. Tiga anak itu dibolehkan ikut UAN dengan satu syarat.


"Kalian harus buat karya dari UAN itu!" putus para penggugat. Izza, Fina, dan Kana saling pandang, tersenyum senang.


Benar saja. Usai UAN, mereka membuat karya tulis yang disebut 'disertasi'. Isinya gugatan atas 'budaya' ujian akhir nasional yang terlampau seram, mistis, sarat kriminalisasi, tak manusiawi, dan penuh ketidakadilan. Torehan pengalaman itu mereka bukukan dengan judul "Lebih Asyik Tanpa UAN", yang diterbitkan LKiS Yogyakarta dan cukup menggemparkan khalayak pada masanya.


Tak berselang lama, tulisan mereka diperas menjadi satu artikel singkat dalam bunga rampai berjudul "Menggugat Ujian Nasional". Buku yang berisi esai para pakar dan praktisi pendidikan nasional. Dua tahun kemudian, pada 2009, kisah fenomenal itu direka ulang menjadi film pendek oleh adik-adik kelas mereka dengan judul; "Jujurlah, Kawan!" (Link: https://youtu.be/FRdyqMZPOFw )



-- Kalibening, 2021 --


Siang ini, Sabtu 9 Oktober 2021, para pendamping berbagi kisah dengan anak-anak baru Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT). Mereka nonton bareng film pendek drama UAN itu, sebagai salah satu rangkaian acara Pekan Keakraban (semacam MOS).


Para pendamping yang menjadi saksi sejarah bercerita tentang bagaimana suasana yang mereka hadapi saat itu. Bercerita tentang awal mula lahirnya Qaryah Thayyibah, hingga perubahan-perubahan yang terjadi atas inisiatif dan kesepakatan siswa.


Anak-anak yang baru usai ikut ujian kejar paket, juga berkisah tentang bagaimana mereka mengerjakan soal-soal ujian yang  sama sekali berbeda dengan soal-soal UAN. Tidak ada lagi soal-soal mata pelajaran. Yakni berupa aspek literasi dan numerasi, yang sebagian besar mengandalkan nalar dan wawasan.


Sejak 2020, kementerian pendidikan memang sudah resmi menghapus Ujian Nasional (UN). Sebagai gantinya, diberlakukanlah Asesmen Nasional (AN). Itu pun tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa, bukan lagi ukuran keberhasilan belajar anak di sekolah.


Pemutaran film pendek ini menjadi semacam penanda kecil. Bahwa kemerdekaan siswa dan lembaga yang sedang diupayakan di lingkungan pendidikan nasional hari ini, sudah dimulai oleh anak-anak usia SMP di sini sejak belasan tahun lalu.


"Di sini, kalian adalah subyek. Kalianlah pelaku aktif proses belajar. Maka kalianlah yang paling berhak menentukan dalam proses belajar ini, tentu dengan kesadaran dan tanggung jawab. Bukan kami para pendamping, bukan pula Pak Din, apalagi mereka para pejabat yang jauh di Jakarta sana," pungkas Hanif, pelaku sejarah dan koordinator pendamping KBQT saat ini.


__

Salatiga, 9 Oktober 2021

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya