Bayar Kuliah dengan Inovasi - KBQTDiary #59

 BAYAR KULIAH DENGAN KARYA #KBQTDiary (59)

@ziatuwel


Tiap kali ada tamu berkunjung, teman-teman KBQT selalu menyambut mereka sebagai 'sumber ilmu'. Jika tujuan tamu berkunjung adalah belajar, warga KBQT juga demikian. Biasanya ada sesi sharing pengalaman bersama Pak Din, tanya jawab dengan para pendamping, hingga wawancara langsung dengan anak-anak.


Termasuk hari ini, Rabu 24 November 2021. Kami kedatangan rombongan tamu dari Jawa Barat, 40 lebih kepala dan wakil kepala SMK sekabupaten Subang. Sedianya, para tamu hendak belajar bagaimana praktik pendidikan yang memerdekakan ala KBQT, sehingga bisa menumbuhkan warga belajar yang kritis dan kreatif.



Ternyata Pak Din memberi kejutan. Beliau mendatangkan tamu lain, seorang lulusan SMK yang berhasil menciptakan pesawat dan berbagai kreasi mesin dan diakui di kancah internasional. Dialah Arfian Fuadi, pendiri dan pengelola D-Tech Engineering.


Berita tentang Mas Arfian sudah banyak beredar di media, artikel maupun video. Tentang bagaimana dia menjuarai kompetisi desain mekanik level dunia, juga ceritanya membuat pesawat nirawak untuk dipakai meneliti lapisan es di kutub utara, tentang bagaimana lulusan SMK ini memulai bisnisnya dengan bermodal laptop murah bekas. Maka cocok, tamu para kepala SMK dipertemukan dengan alumni SMK berprestasi.


Prestasi Mas Arfian bukan sebatas karena dia muncul sebagai kreator mesin atau produk mekanik dan laris. Lebih dari itu. Dia juga menularkan ilmunya kepada orang lain dengan idealisme yang unik. Dia muncul sebagai penggerak pendidikan yang merdeka, kreatif, dan berkelanjutan. Itulah semangat yang sangat 'nyambung' dengan ruh KBQT.


Pada kesempatan siang itu, Mas Arfian lebih banyak bercerita tentang program mutakhir D-Tech Engineering yang baru berjalan setahun, yaitu Sustainable Education Project (proyek pendidikan berkelanjutan). Yakni program pendidikan dan pelatihan setingkat D3 yang diselenggarakan oleh D-Tech Engineering dan ATWM (Akademi Teknik Wacana Manunggal) secara cuma-cuma dan berbasis karya.


Melalui kampus ini, mahasiswa belajar berproduksi tanpa dipungut biaya, tapi mereka tetap harus membayar biaya kuliah dengan cara berinovasi dan berkarya. Kampus 'hanya' menyediakan perangkat berupa mesin dan pendampingan saja. Selebihnya, mereka merdeka berkarya apapun, asalkan bisa dijual. Hasil penjualan karya tersebut digunakan untuk 'membayar biaya kuliah', operasional kampus, dan tentu saja menggaji dosen.


Tak sampai di situ, setiap mahasiswa juga mendapat gaji dan asuransi yang layak. Bahkan jauh lebih tinggi berkali-kali lipat dibanding upah minimum kota Salatiga. Belum genap setahun, omset yang dihasilkan oleh 20 mahasiswa baru ini sudah mencapai angka 700 juta rupiah perbulan, dan sudah dikunjungi lebih dari 90 lembaga untuk belajar dan kerjasama.


Keterjangkauan biaya pendidikan, kemampuan berproduksi, kemandirian mahasiswa, dan tercapainya laba penjualan untuk menutup biaya operasional, menjadikan kampus ini bisa bertahan hidup tanpa mengandalkan bayaran dari mahasiswa, tidak seperti kampus-kampus lainnya. Inilah yang menurut Mas Arfian indikator lembaga pendidikan yang berkelanjutan, sustainable.


Di hadapan para guru SMK, Pak Din menanggapi presentasi Mas Arfian dengan bersemangat. Seharusnya, katanya, sekolah menjadi tempat berproduksi, berinovasi, dan berkreasi. Siswa berproduksi dan mendapat penghasilan dari sekolah bukanlah komersialisasi. Itu adalah pemberdayaan dan pembelajaran kemandirian, tentu harus ada regulasi yang berkeadilan, dan memfokuskan pada proses belajar dan inovasi.


Mas Arfian menambahi, bahwa komersialisasi pendidikan yang sesungguhnya adalah; sekolah yang mengharuskan siswa membayar mahal atas pengetahuan yang mereka dapatkan, yang sebenarnya menjadi hak bagi setiap warga negara. Ke depan, dampak positif merebaknya pendidikan kreatif dan berkelanjutan, dimana sekolah/pesantren mampu berproduksi secara mandiri, adalah musnahnya bisnis-bisnis komersialisasi pendidikan (tuition based).


"Semangat pendidikan yang oke justru ada di pesantren jaman dulu. Tidak ada bayar uang pangkal, uang gedung, uang macam-macam. Santri cukup datang bawa beras, sayur, mbako, buat kiainya. Bahkan dia ikut berproduksi di sana. Ikhlas ketemu ikhlas," tutur Mas Arfian.


Sebagai penutup pertemuan siang itu, Pak Din menyitir satu bait syair dari Ta'limul Muta'allim, "Arah pendidikan semestinya adalah kebermanfaatan. Wa kun mustafidan kulla yaumin ziyadatan, minal ilmi wasbah fi buhuril fawaidi. Yakni bagaimana kita berusaha selalu menjadi manusia yang bermanfaat. Khoirukum anfa'ukum linnas. Nah, ukuran kebermanfaatan adalah dengan berkarya, berkontribusi, untuk masyarakat."


Usai acara, Mas Arfian mengajak para sesepuh KBQT main ke bengkel D-Tech Engineering di Canden. Melihat-lihat mesin-mesin pembuat mesin, juga mengobrolkan rancangan instalasi digester sebagai proyek bersama. Sayangnya aku tak bisa ikut, sebab musti ngoyak-oyak anak gadis yang lagi heboh caper pada para tamu, juga sibuk ngitung duit hasil jualan buku. Hehe.


Kalibening, 24 November 2021

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya