Baca Teks Ala Pesantren: Dari Logis Sampai Mistis #SeriSantri (2)

Charles Van Doren dan Mortimer J. Adler di dalam buku How To Read A Book mengklasifikasi metode pembacaan teks menjadi empat level. Pembagian tingkatan ini berdasarkan pada tingkat kemampuan si pembaca sekaligus kerumitan prosesnya. Yaitu elementary, inspective, analytic, dan syntopic.

Entah kebetulan atau tidak, empat model pembacaan teks tersebut lestari dipraktikkan di pondok-pondok pesantren salaf secara alamiah. Berupa pembacaan yang sesuai dengan kapasitas santri menurut kelasnya, dan sangat membantu santri memahami teks-teks turats masa lalu serta mengamalkannya secara kontekstual sesuai zaman di masa kini. Mari kita kupas satu persatu.

Abuya Dimyathi (Banten) bersama tumpukan kitab dan lampu teploknya


Elementer (pengejaan)

Model pembacaan elementer adalah cara membaca suatu teks yang paling dasar. Yaitu tentang bagaimana mengeja rangkaian huruf dan membaca kata-kata. Praktik pembacaan ini dilakukan saat santri mulai belajar membaca huruf hijaiyah (Arab), terutama untuk kepentingan membaca Quran, melalui buku ‘turutan’.

Pembacaan elementer ini juga dipraktikkan saat santri mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf. Yakni ketika mereka berlatih membaca teks ‘gundul’, berupa rangkaian kalimat bahasa Arab tanpa syakal atau harakat. Mereka berlatih membacanya sesuai dengan kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab.

Inspeksif (pemahaman)

Model pembacaan selanjutnya adalah inspeksif, yakni ketika santri mulai belajar memahami makna kalimat dalam teks yang dibaca. Santri sudah mulai membuka kamus untuk mencari arti kata-kata, kemudian menelaah posisinya di dalam rangkaian kalimat.

Biasanya praktik pemaknaan teks ini dilakukan dengan cara ‘ngapsahi’ dalam pengajian ‘bandongan’. Yaitu saat kiai membacakan suatu kitab, menerangkan artinya kata perkata, kemudian santri menyimak sambil menuliskan arti setiap kata tepat di bawahnya.

Analitik (penelitian)

Setelah belajar memahami teks, santri mulai berlatih meneliti aspek-aspek di dalamnya secara intensif, inilah yang disebut model pembacaan analitik. Santri menelaah teks mulai dari tata dan gaya bahasa, hingga susunan dan konteks kalimat. Bahkan sampai menemukan kesalahan cetak suatu teks.

Praktik ini biasa dilakukan saat santri ‘sorogan’ kitab di hadapan gurunya. Yakni saat santri membaca suatu kitab di hadapan guru secara mandiri, kemudian guru mengapresiasi dan mengoreksi. Sebelum ‘sorogan’, santri akan terlebih dahulu mempersiapkan diri. Entah dilakukan sendiri, atau dengan musyawarah bersama kawan-kawan sekelas, atau berkonsultasi dengan kakak kelas yang lebih paham. Proses semacam ini menumbuhkan kemandirian belajar santri sekaligus mengasah kemampuan pembacaannya secara efektif.

Sintopik (perbandingan)

Model pembacaan paling tinggi adalah sintopik, yakni ketika santri tidak hanya mengeja, memahami, dan meneliti suatu teks. Tetapi juga menyandingkan satu teks dengan teks-teks lain untuk menemukan jawaban atas suatu masalah, atau merumuskan ide-ide baru. Nah, praktik ini sangat terlihat dalam kegiatan bahtsul masail, maupun penyusunan karya tulis.

Itulah empat level pembacaan yang semuanya ada dalam praktik belajar di pesantren. Tapi menurut saya ada satu lagi model pembacaan ala pesantren yang tidak masuk dalam teori Van Doren dan Adler, yakni satu model pembacaan yang menjadi ciri khas pesantren salaf dan tidak ditemukan di lembaga pendidikan sekular. Yaitu;

Mistik

Yakni model pembacaan teks secara mistis. Bahwa membaca kitab ala santri bukan sekadar upaya memahami pengetahuan. Tapi juga menjadi bentuk sambung rasa dengan guru, gurunya guru, dan seterusnya sampai penulis kitab. Maka di awal pembacaan pasti ada ritual kirim Fatihah kepada penulis kitab, diiringi doa sebelum membaca teks kitab, “Qaalal muallifu rahimahullahu ta’ala wanafa’ana bihi wa bi’ulumihi fid daroini (telah berkata sang penulis, semoga Allah Ta’ala merahmatinya, serta memberi kita manfaat dan berkah sebabnya di dunia dan akhirat).”

Lalu setelah tuntas pembacaan kitab dari awal sampai akhir, diadakan khataman, dilengkapi pengakuan transmisi ilmiah karya tulis tersebut berupa ‘ijazahan’. Yaitu momen sakral ketika kiai menyampaikan rantaian sanadnya atas kitab tersebut kepada santri-santri yang telah mengkhatamkannya.

Nah, level kelima ini –sayangnya- tak kita jumpai di luar budaya pesantren. Entah di sekolah dasar, menengah, bahkan kuliah; baik saat menelaah buku-buku agama maupun bukan. Padahal berkah adalah kunci. Lha wong sebelum diasupi rejeki makanan zhahir ke perut saja kita berdoa minta berkah. Masa’ iya mau diasupi rejeki makanan batin berupa ilmu ke akal dan jiwa kita tidak butuh berkah?

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya