Hubungan Guru-Murid di Pesantren: Sambung Ilmu dan Rasa #SeriSantri (3)

Istilah ‘guru’ konon berasal dari bahasa Sansekerta, berupa dua kata yang digabung jadi satu; ‘gu’ yang berarti ‘gelap’ dan ‘ru’ yang berarti ‘terang’. Maknanya ialah orang yang berperan mengantar dari kegelapan menuju terang.

Pengertian ini menunjukkan bahwa peran ‘guru’ tak sekadar ‘pemberi informasi’, melainkan juga menumbuhkan kesadaran, dan mengantar si murid keluar dari gelapnya kebodohan menuju terangnya ilmu. Seperti kata Rabindranath Tagore, bahwa pendidikan tertinggi bukanlah yang sekadar memberikan kita informasi, tetapi membuat hidup kita harmonis dengan segala yang ada.

Hubungan guru-murid semacam itu sangat jelas terlihat dalam interaksi antara kiai dengan para santri. Hubungan yang tak sekadar belajar-mengajar dengan kegiatan intelektual (ta’lim), tetapi juga pembudayaan adab melalui aktivitas sosial (ta’dib) dan keterpautan batin atau spiritual (rabithah). Berikut ini penjelasan tiga jenis hubungan tersebut;

Foto: KH. Abdullah Faqih Langitan sedang santap bersama cucu-cucunya

Intelektual (ta’lim)

Ialah hubungan yang terjalin sebab adanya proses pengajian. Apapun bentuk pengajiannya, entah berupa pembahasan suatu kitab secara intensif, atau pengajian umum sekadar mendengarkan (jiping; ngaji kuping). Proses ini disebut dengan ‘ta’lim’, yang menyambungkan rantai keilmuan si santri kepada gurunya, kepada gurunya guru, dan seterusnya hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sosial (ta’dib)

Berupa hubungan manusiawi antara guru dan murid sebagai sesama makhluk sosial. Hubungan ini tercipta melalui proses pergaulan alamiah sehari-hari. Mulai dari sowan, shalat berjamaah, bermasalah, berdiskusi, sampai berkhidmah. Santri bisa melihat langsung praktik kebaikan dari kitab-kitab yang ia pelajari dalam keseharian kiainya. Karakter santri banyak terbentuk dari proses penyaksian dan pengalaman ini. Biasanya ada hal-hal dari diri guru yang akan melekat dan ditiru si murid secara sukarela, bukan sebab pamrih atau terpaksa. Inilah yang disebut dengan proses ‘ta’dib’.

Spiritual (rabithah)

Yakni keterikatan batin antara murid kepada gurunya secara spiritual. Ikatan ini terjalin, utamanya, melalui proses saling mendoakan dan kirim Fatihah. Jika hubungan intelektual menyambungkan aspek akal, hubungan sosial membersamakan aspek raga, maka hubungan spiritual ini menautkan aspek jiwa. Inilah yang disebut ‘rabithah’.

Tiga bentuk hubungan ini betul-betul menunjukkan makna 'guru' sesuai istilah aslinya dalam bahasa Sansekerta di atas. Yakni orang yang mengajarkan pengetahuan, mencontohkan keteladanan, dan menuntun perjalanan spiritual seorang murid dari gelap (‘gu’) menuju terang (‘ru’), minazh-zhulumati ilannur.

Hebatnya, tiga jenis hubungan ini tidak hanya berlangsung saat si santri masih tinggal di pesantren saja. Tetapi juga lestari sampai santri ‘boyong’, bermasyarakat, bahkan setelah kiainya meninggal pun hubungan itu masih terjalin secara aktif.

Banyak alumni pesantren yang tetap mengaji kitab kepada kiainya, meskipun hanya sebulan sekali. Banyak alumni pesantren yang intensif sowan kepada kiainya untuk mohon doa dan petunjuk, meskipun hanya setahun sekali. Banyak alumni pesantren yang kerap didatangi kiainya ketika menghadapi persoalan-persoalan tertentu, meskipun hanya melalui mimpi.

Hubungan semacam ini membuat kiai menyayangi santrinya, dan para santri menghormati kiainya, sehidup semati. Seperti orang tua dan anak. Bukan hubungan transaksional ‘jual beli pengetahuan’, bukan pula hubungan insidental yang hanya berlaku saat berada di pesantren.

Semua jenis hubungan antara kiai-santri tersebut menjadi bentuk pelestarian hubungan antara Rasulullah dengan para sahabatnya. Sebab kita semua tahu bahwa para sahabat tersambung kepada Rasulullah tidak hanya secara pengetahuan, tetapi juga kebiasaan hidup dan keterpautan jiwa. Kita semua paham bahwa Rasulullah mendidik para sahabat tidak hanya dengan mengajar dan dhawuh-dhawuh, tetapi juga mencontohkan keteladanan dan selalu mendoakan.

Demikian pula semestinya hubungan kita, umat akhir zaman, dengan Rasulullah. Jangan sampai kita memosisikan Rasulullah hanya sebagai ‘sumber ilmu agama’, untuk dikutip hadits-haditsnya, kemudian diperdebatkan tafsirannya. Lebih dari itu, beliau menjadi teladan bagi nilai-nilai kehidupan kita, juga muara bagi kerinduan jiwa-jiwa kita.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya