Sufi Eskapis x Sufi Solutif

Tasawuf adalah ajaran "eskapisme" yang cenderung mengajak pelakunya untuk kabur (escape) dari realita sosial, dan menyendiri ke dalam kepuasan batinnya sendiri dalam balutan spiritualitas. Begitu kira-kira gugat seorang pengaku "mantan sufi" dalam video pendeknya, sambil menyinggung konferensi para sufi internasional di Pekalongan.

Entah pintu tasawuf mana yang ia masuki, lingkaran para sufi bagaimana yang ia pergauli, kitab tasawuf apa yang ia pelajari, daerah mana dan tokoh siapa yang ia kunjungi, sehingga muncul kesimpulan semacam itu. Ya terserah saja. Itu pengalaman empiris pribadinya.


Mendengar video pendek itu, naluriku langsung tidak setuju. Tasawuf bukan candu untuk mencapai ekstase, nge-fly, dan kabur dari realita. Tasawuf bukan melulu ritual, nyanyian, tarian, penampilan. Tasawuf adalah akhlak kepada Tuhan maupun kepada makhluk-Nya. Setidaknya itu yang kupahami dari ajaran para guru.

Namun kukira ia tak sepenuhnya salah. Sebab mungkin memang ada pelaku tasawuf eskapis semacam itu yang -sayang sekali- lebih nampak di permukaan dibandingkan para pelaku tasawuf solutif. Tasawuf yang menjadi solusi problem umat, atau minimal problem kehidupannya sendiri.

Kita lebih mengenal Imam Al-Ghazali sebagai kiblat tasawuf sunni dengan Ihya-nya. Tapi mungkin tidak tahu bahwa beliau berhasil menengahi konflik keagamaan antar-mazhab maupun antara fuqaha dan sufi, yang dahulu kerap bentrok dan baku hantam.

Kita lebih mengenal Syekh Abdul Qodir al-Jailani sebagai sosok sakti dengan segala keramat melalui manaqibnya. Tapi tidak tahu bahwa beliau adalah tokoh sentral jejaring reformer sosial di masanya. Sehingga melalui kaderisasi yang beliau bina, muncul pejuang-pejuang tangguh semisal Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.

Belum lagi para tokoh pembesar sufi kontemporer pasca kemunculan lembaga tarekat. Semisal Amir Abdul Qodir Jazairi pemersatu dan pemimpin besar Algeria, Syekh Omar Mukhtar sang singa padang pasir Libya, Hazrat Husain Shah arsitek dan pembangun danau irigasi di India.

Ada pula Syekh Ibrahim Niasse pendamping para petani di Senegal, Syaikhah Nana Asmau feminis dan penyair progresif Nigeria, Babaji Barkat Ali penyedia layanan operasi mata gratis dari Ludhian, Abah Anom pemrakarsa rehabilitasi candu di Suryalaya, Nyai Thobibah pengayom masyarakat di Bangkalan, Syekh Yusri Rusydi sang dokter bedah kenamaan dari Mesir, dan lainnya.

Begitulah, sejarah mencatat banyak tokoh tasawuf yang berkiprah dalam peradaban sebagai penggerak sosial, pejuang kemerdekaan, saudagar, bahkan ilmuwan dan inventor. Memang betul sasaran utama tasawuf adalah pemurnian batin pribadi, tapi bukan berarti pelakunya musti kabur dari kenyataan dan permasalahan sosial.

Mungkin sebab itu pula, setahuku, sang presiden organisasi sufi internasional, Maulana Habib Lutfi bin Yahya, gencar mendorong para pelaku tasawuf melalui lembaga-lembaga tarekat untuk aktif berkiprah di sektor-sektor 'duniawi'. Bagaimana agar peperangan para salik melawan penjajah di masa lalu bisa dilanjutkan di masa kini dengan pemberdayaan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pengembangan teknologi, peningkatan kualitas pendidikan, dan pelestarian budaya.

Aku tak tahu apa yang sudah dan sedang diupayakan untuk mewujudkan cita-cita luhur itu. Mungkin pendekatan terhadap penguasa dan pengusaha menjadi salah satu strateginya. Terutama untuk menjaga stabilitas 'mood pemerintahan', merekatkan persatuan kebangsaan, serta memuluskan program-program baik yang tentu saja butuh back-up dan permodalan.

Namun selain merangkul kalangan birokrat dan penentu kebijakan di atas sana, agaknya organisasi ini juga musti lebih erat merangkul gerakan-gerakan proletar di akar rumput. Dengan basis massa yang loyal, tentu akan sangat dahsyat jika organisasi para sufi ini berkolaborasi dengan gerakan-gerakan sosial aras bawah.

Seperti gerakan pemberdayaan petani ala Pak Bahruddin melalui Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Serikat ini, bersama IUWASH dan masyarakat Patemon, beberapa tahun lalu berhasil mengkonservasi debit mata air Senjoyo dan menyelamatkan wilayah-wilayah sekitarnya dari paceklik.

Atau gerakan sistem pertanian terpadu ala Haji Sudarmoko, yang sukses meningkatkan hasil panen tiga kali lipat dan mendayagunakan residu hasil pertanian. Melalui Lembah Kamuning, riset terus dilakukan agar bisa menguntungkan petani dan peternak serta mengentaskan mereka dari jerat pemiskinan.

Atau gerakan pemuliaan disabilitas asuhan Bu Iin, yang setia mendampingi teman-teman difabel untuk berdaya bersama. Melalui Rumah Inklusif, warga difabel difasilitasi untuk berkarya, memasarkan karya, berjejaring, mengaji, hingga advokasi sosial demi kehidupan yang lebih layak.

Atau gerakan zero waste ala Lurah Wahyudi, yang berupaya mengurai masalah sampah agar selesai di desa. Melalui Kelurahan Panggungharjo, sampah di desa dipilah, dikelola, dimusnahkan, dan didaur ulang sehingga tidak mencemari lingkungan.

Atau gerakan penyadaran kesehatan sanitasi yang diperjuangkan Dokter Budi Laksono, sampai-sampai ia dijuluki 'dokter jamban' sebab begitu giat mengadakan jambanisasi. Melalui Yayasan Wahana Bakti Sejahtera, proyek jambanisasi sudah merambah ribuan rumah sehingga tercegah dari resiko diare, kolera, hepatitis, dan penyakit berbahaya lainnya.

Atau gerakan inovasi teknologi ala Mas Arfian bersama nak-anak muda yang giat berkreasi melalui D-Tech Engineering, hingga sanggup menyumbang milyaran rupiah pertahun sebagai pajak kepada negara. Bahkan tahun ini sudah berani membuka kampus gratis bernama Akademi Inovasi Indonesia (AII), yang mengklaim terlahir untuk "menyelesaikan masalah di dunia". Entah disengaja atau tidak, menurutku logo kampus ini mirip kalimat "lillah".

Selama menyimak obrolan dan kiprah mereka, kusaksikan yang selalu dibahas hanyalah kemaslahatan bersama. Mereka selalu memikirkan bagaimana cara menolong kaum yang terlemahkan (mustadh'afin), serta bagaimana mencegah kerusakan lingkungan (rahmatan lil alamin).

Mereka tidak menumpuk kekayaan pribadi (wara'). Tidak merasa lebih baik dari orang lain (tawadhu). Sensitif dan peduli nasib sesama makhluk (karom). Memiliki rasa welas asih yang tinggi (rohmah). Tulus melayani tanpa mengharap imbalan (ikhlas). Selalu optimis dan baik sangka pada takdir (husnudzon). Siap menentang kezaliman dan berjuang demi keadilan (jihad). Serta tentu saja konsistensi gerakan tiada henti (istiqamah).

Bukankah itu semua karakter pengamal tasawuf? Aku yakin mereka ini juga bisa disebut sebagai sufi. Ya, sufi solutif, bukan eskapis.

___

Salatiga, 4 September 2023

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya