Mencegah Perundungan (Bullying) di Sekolah - KBQTDiary #62

Geram rasanya melihat video beberapa siswa menghajar siswi yang duduk tak berdaya. Apalagi baca berita seorang siswi jadi buta sebab dianiaya temannya, seorang siswa kritis dirundung kawannya, bahkan seorang guru mati dibacok siswanya.

Selain karena problem psikologis pelaku, perundungan terjadi -salah satunya- sebab faktor relasi kuasa yang tidak sehat. Senior merasa lebih berkuasa atas junior, cowok merasa lebih berkuasa atas cewek, yang kekar merasa lebih berkuasa atas yang kerempeng, yang berduit lebih berkuasa dari yang kere, guru merasa lebih berkuasa atas siswa, pribumi lebih berkuasa dari pendatang. Atau sebaliknya.

Geram karena kasus beginian selalu terjadi, bahkan sampai ke level fatal; cacat permanen, gangguan jiwa, bahkan kematian. Langkah yang diambil pun selalu top-down berupa penyuluhan dan semisalnya. Bukan langkah yang diupayakan dari akar; yakni budaya belajar yang apresiatif.



Berikut ini langkah sederhana untuk mencegah perundungan dari akarnya, hasil pengalaman praktik baik pendampingan belajar di KBQT. Kebetulan beberapa di antara warga belajar di sini adalah siswa pindahan, yang mereka jadi korban perundungan di sekolah lamanya. Pengalaman traumatik mereka, alhamdulillah, terpulihkan di sini.

1. Relakan satu hari dalam sepekan untuk tidak menerapkan model pengajaran mata pelajaran yang terpusat pada guru. Tentu saja ini butuh kebijaksanaan dari kepala sekolah.

2. Sempatkan momen itu untuk diskusi kelompok atau musyawarah. Satu kelompok diisi maksimal 10 anak, dimoderatori satu pendamping (guru, siswa senior, wali murid, mahasiswa KKN, atau siapapun yang lebih dewasa).

3. Ajak anak-anak melingkar, ngobrol bebas atau tematik, bisa membahas ide, proyek karya, atau kejadian sekitar dan topik-topik yang lagi ramai.

4. Buat kesepakatan bersama terkait apa yang boleh dan tidak selama bermusyawarah. Setelah sebulan, kelompok bisa diacak dengan kelompok lain, sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan.

5. Leluasakan anak-anak untuk menyuarakan isi kepala dan perasaannya. Apresiasi apapun yang mereka sampaikan. Guru pendamping sekadar jadi moderator saja, menengahi obrolan, dan mungkin menindaklanjuti hasil obrolan.

Sudah itu saja.

Sesederhana itu?

Ya! Memang sederhana!

Kalau mau ditambahi seminar atau workshop bersama psikolog, silakan saja. Tapi langkah paling utama adalah proses diskusi dan komunikasi yang sehat antarsiswa itu sendiri.

Sebab selama ini mereka terlalu lama berbaris di bangku menghadap papan tulis, sehingga lupa melingkar untuk saling berhadap-hadapan. Sebab selama ini mereka terlalu berlebihan mendengarkan, sehingga terabaikan untuk didengar.

Jika siswa terbiasa melingkar berhadapan secara setara, saling berbagi cerita, saling menyimak satu sama lain, maka emosi mereka tersalurkan. Potensi perundungan bisa ditekan serendah-rendahnya.

Apakah di KBQT tidak ada perundungan sama sekali? Ya tetap ada percikan-percikan yang menuju perundungan, baik secara verbal maupun fisik. Namun percikan itu selalu cepat terpadamkan melalui obrolan di tengah lingkaran. Semua problem dibahas dan diurai bersama-sama.

Yuk teman-teman pengelola sekolah, pesantren, komunitas, atau apapun, budayakan untuk mulai mendengarkan anak, tidak hanya ingin selalu didengarkan oleh mereka. Yuk kita juga perhatikan perkembangan mereka, tidak hanya mengejar perkembangan lembaga.

Bisa kok, gampang kok. Tidak butuh biaya tambahan. Tidak perlu anggaran atau fasilitas khusus. Bisa dilakukan dimanapun, kapanpun. Kalau masih bingung gimana mulainya, yuk kami bisa bantu!

Kalibening, Oktober 2023

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya