Ilmu Pendampingan Belajar - KBQTDiary #64

Serombongan orang datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Setelah beberapa lama, mereka pun pulang ke negara asal kecuali satu orang. Ia tidak ikut pulang. Orang-orang pun penasaran,

"Kamu nggak ikut pulang? Bukankah sudah khatam ngaji Muwattha' kepada Imam Malik?"

"Iya memang," jawab orang itu, "Saya sudah khatam kitab Muwattha'-nya Imam Malik. Tapi saya belum puas membaca diri Imam Malik."

Persis seperti yang dikatakan Habib Jindan tentang pengalamannya mondok di Tarim selama beberapa tahun. Beliau bilang bahwa selama mengaji, selain membaca kitab-kitab salaf, yang lebih pokok justru adalah membaca gurunya, Habib Umar bin Hafizh, sebagai ilmu yang hidup.

Begitulah. Pendidikan Islam bukan melulu tentang menuntaskan bacaan terhadap wahyu, tapi juga bagaimana menyerap cahaya ilmu dari sang pembawa wahyu. Ada proses yang disebut "suhbah", atau sepadan dengan kata "pendampingan" (companionship).

Ituah yang kubahas bersama teman-teman tamu dari Fakultas Tarbiyah Pendidikan Bahasa Arab 2022 UIN Raden Mas Said Surakarta dampingan Masdos Besut Suryanto al-Kartosuro. Selama dua hari mereka menyerbu Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah untuk kuliah teori "Ilmu Pendampingan Belajar" 2 SKS.


Belajar bukan sebatas pengajaran sebagaimana dipraktikkan di kelas, tapi bagaimana kita menjadi sahabat untuk belajar bersama. Saling tanya-jawab, saling mengingatkan, saling mendengarkan, saling membaca satu sama lain.

Inilah cara belajar paling orisinil yang disebutkan melalui kisah para nabi di dalam Quran, sekaligus menjadi sunnah Nabi Muhammad. Sebagaimana beliau memosisikan pengikutnya sebagai SAHABAT.

Tidak semua guru bisa mengajar dengan baik maupun memberi teladan. Termasuk saya. Tapi semua guru pasti bisa mendampingi, yakni sekadar menemani anak berproses. Berupa obrolan, perhatian, dan interaksi alamiah lainnya. Dengan syarat; mau hadir dan mau setara.

Sayangnya, dalam budaya pendidikan kita, proses pendampingan ini tak begitu diperhatikan. Tidak seperti pengajaran, yang bahkan ada jurusan kuliah dan profesinya.

Di zaman ini, ketika anak-anak sudah lebih gesit menggali pengetahuan dan keterampilan mereka sendiri, sudah saatnya guru berevolusi dari "pengajar" (teacher; mudarris) menjadi "pendamping belajar" (companion; sahabat). Sebagaimana dilakukan para nabi terdahulu.

Apalagi di zaman sekarang, ketika Merdeka Belajar lantang digaungkan. Merdeka belajar takkan terwujud selama paradigma gurunya belum pindah dari "beban mengajar" menuju "peran pendampingan belajar". Sedangkan tugas utama pendamping belajar ada tiga. Yakni memotivasi, mengasistensi, dan mengapresiasi.

Hal yang kuanggap unik di KBQT adalah totalitas dalam pemosisian anak sebagai aktor utama pembelajaran. Padahal itulah resep utama Merdeka Belajar. Nah, pemerdekaan semacam ini tidak bakal efektif kalau dipasangkan dengan pengajaran. Kontraproduktif.

Kemerdekaan belajar baru bisa terwujud penuh bila ditandem dengan pendampingan belajar. Maka guru perlu memahami posisinya sebagai pendamping belajar, yang ternyata bukan skill yang bisa dikuasai hanya dengan mengubah pola pikir. Butuh latihan, butuh pembiasaan.

"Anda tidak bisa tiba-tiba jadi pendamping belajar hanya dengan ngobrol sama saya sejam di sini," ungkapku, "Padahal selama belasan tahun Anda diperlakukan sebagai obyek pengajaran, pasti Anda pun akan dipenuhi hasrat untuk mengajari murid-murid Anda. Bahkan saya pun butuh satu tahun penuh di sini untuk memahami bagaimana sebenarnya ilmu pendampingan itu."

Kukira, Ilmu Pendampingan Belajar ini musti ditularkan secara aktif dan masif. Syukur-syukur bisa jadi mata kuliah di fakultas-fakultas pendidikan sebagai bekal para calon guru masa depan. Kebetulan lagi kutulis naskah buku tentang landasan, tujuan, tahap, dan teknik pendampingan belajar. Semoga bisa terbit tahun ini. Amin.

23 November 2023

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya