Menjadi Guru Tanpa Mengajar [Kompas.id]

Kolom opini Kompas online berjudul "Menjadi Guru Tanpa Mengajar"

”Boleh gabung di sini, yang penting tidak boleh mengajar,” ujar Ahmad Bahruddin, pendiri ”sekolah alternatif” setara SMP-SMA Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Salatiga, Jawa Tengah, ketika penulis hendak bergabung sebagai ”pendamping” di komunitas tersebut. Prasyarat ini cukup dilematik sebab penulis merupakan sarjana pendidikan yang dilatih mengajar.


Guru identik dengan tugas pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan satu arah kepada murid. Meskipun strategi dan metodenya bisa berbagai cara, tetap saja posisi guru sebagai pusat dan sumber pengetahuan sangat dominan dalam praktik persekolahan. Hal ini sangat berbeda dengan praktik yang dilakoni para pendamping di KBQT. Tahun pertama gabung di komunitas ini, penulis lebih banyak menyimak dan mengamati untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan ”Kalau tidak boleh mengajar, lalu ngapain?”.

Ternyata menahan diri untuk tidak mengajar justru lebih menantang dan lebih berat daripada mengajar. Baru di tahun kedua penulis bisa memahami dan melakoni peran sebagai pendamping belajar. Pada titik ini penulis mulai paham maksud prasyarat ”tidak boleh mengajar”, yakni agar guru tidak mendominasi proses belajar sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan kebijakan.

Ada dua prinsip utama praktik pendidikan di KBQT. Pertama, pemosisian murid sebagai pelaku utama proses belajar sehingga ia harus aktif. Kedua, proses belajar yang sesuai dengan realitas dan konteks kehidupan, baik keminatan dan potensi pribadi maupun kondisi lingkungan sekitar. Dua prinsip inilah yang menjadikan guru sekadar sebagai pendamping, yang tugasnya sesuai dengan sebutannya; mendampingi kegiatan belajar murid-muridnya.

Siswa Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah belajar dengan cara berdiskusi dengan rekan sekelas di tempat belajar mereka di Kelurahan Kalibening, Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Pendampingan belajar

Berdasarkan pengalaman menjadi pendamping di KBQT, penulis bisa simpulkan bahwa tugas guru sebagai pendamping belajar ada tiga, yaitu memberi dorongan belajar (motivasi), menemani dan membantu proses belajar (asistensi), serta memberi penghargaan atas hasil belajar (apresiasi). Maka praktis, mengajar dan kemampuan mentransfer pengetahuan bukanlah tugas pokok dan fungsi utama bagi guru di sini. Tentu saja muncul pertanyaan; jika tugas utama guru bukan mengajar, lalu bagaimana murid mempelajari sesuatu?

Jawabannya jelas bisa ditebak; murid belajar secara mandiri, baik secara individu maupun berkelompok. Mereka belajar sesuai dengan minat dan kemauan masing-masing. Apa yang mau dipelajari dan dikuasai serta bagaimana proses dan penilaiannya mereka putuskan sendiri. Melalui skema tersebut, maka tiga aspek utama dalam kurikulum pendidikan, yakni perencanaan proses belajar, eksekusi pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar mereka laksanakan secara mandiri. Inilah wujud nyata atas teori yang dikenal sebagai pembelajaran metakognisi.

Proses belajar yang aktif dan mandiri oleh murid hanya bisa diimbangi oleh pendampingan belajar yang memerdekakan oleh guru. Kalau guru masih mendikte, membatasi, dan menyeragamkan, tentu kemandirian belajar murid menjadi tidak ada artinya. Kalau guru masih berposisi sebagai sumber utama pengetahuan di kelas, tentu kemerdekaan belajar murid hanya akan jadi slogan belaka. Maka, pendamping belajar harus steril dari watak mendominasi kelas dan serba menyeragamkan.

Praktik pendampingan belajar semacam ini sesuai dengan konsep-konsep pendidikan aktif-progresif yang memosisikan murid sebagai manusia merdeka dan memiliki potensi yang khas. Misalnya teori pendidikan among ala Ki Hadjar Dewantara yang melandaskan praktik belajar kepada dua hal, yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Maksudnya, setiap murid berhak merdeka dalam proses belajar untuk mengeksplorasi potensi dirinya masing-masing (Dewantara: 1977). Tentu hal ini hanya bisa terwujud jika guru tidak bertindak sebagai pengekang dan pendikte yang mendominasi proses belajar.

Apalagi jika merujuk teori Paulo Freire tentang pendidikan kritis bahwa setiap murid harus berperan aktif dalam pembelajaran, tidak pasif, dan sekadar menampung pengetahuan dari guru (Freire: 1970). Maka, guru harus mau memosisikan diri setara dengan muridnya sebagai pendamping belajar sehingga proses dialog bisa berlangsung efektif. Hal ini sulit terwujud jika guru terus-menerus memakai bank style dalam proses belajar.

Demikian juga teori Howard Gardner tentang Multiple Intelegences bahwa setiap murid memiliki delapan potensi kecerdasan yang berbeda dan tak bisa diukur hanya dengan satu cara penilaian. Perbedaan ini butuh pendekatan yang berbeda pula sesuai jenis kecerdasan itu sendiri (Gardner: 1993). Maka jelas, guru harus berperan sebagai pendamping belajar untuk mendorong siswa agar bisa mengoptimalkan potensi kecerdasannya dengan cara masing-masing. Tujuan ini jelas tak bisa tercapai jika guru selalu menyeragamkan materi ajar, cara belajar, hingga metode penilaian.

Merdeka Belajar

Gerakan Merdeka Belajar yang sudah menggema sejak beberapa tahun lalu adalah momentum perubahan paradigma para guru dari pengajar menjadi pendamping belajar. Melalui gerakan ini, sekolah, guru-guru, dan muridnya bebas berinovasi dalam proses belajar. Guru dianjurkan untuk tidak menerapkan teacher centered learning yang mana kegiatan belajar berpusat pada guru.

Ujian Nasional (UN) sudah diganti asesmen, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) sudah dileluasakan kepada tiap entitas sekolah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sudah disederhanakan, bahkan penerapan Kurikulum Merdeka pun ada keleluasaan pilihan. Tinggal bagaimana mengubah paradigma para guru dan lembaga sekolah agar tidak selalu melihat dirinya sebagai pusat semesta pembelajaran, tetapi sekadar sebagai pendamping bagi aktor utama proses belajar, yakni murid-muridnya.

Sebenarnya tanpa gerakan Merdeka Belajar sekalipun, paradigma pendampingan belajar adalah keniscayaan. Apalagi jika mempertimbangkan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Sumber-sumber pengetahuan begitu luas tersedia, informasi begitu mudah diakses, kecerdasan buatan mulai mengemuka, sehingga kemandirian belajar bukan hal yang aneh dan sulit. Selain itu, kemampuan metakognisi menjadi salah satu keharusan dalam pendidikan di abad ke-21 ini, selain pengetahuan, keterampilan, dan kemapanan karakter (Bialik & Fadel, 2015). Maka, guru yang masih berkutat pada pengajaran semata jelas ia akan tergerus zaman.

Jika paradigma guru sudah tereformasi, langkah selanjutnya adalah teknis penerapan pendampingan belajar di sekolah sesuai dengan jenjang kelas yang dihadapi, yakni bagaimana guru meleluasakan murid untuk menentukan target belajarnya, kemudian melaksanakan perencanaan tersebut, lalu mengevaluasi hasil belajar mandirinya itu. Serta bagaimana agar guru tidak lagi terbebani tugas mengajar dan formalitas berkas-berkas, tetapi agar ia bisa menikmati proses memotivasi, menemani, dan mengapresiasi pembelajaran mandiri murid-muridnya. Apakah bisa? Jelas bisa! Asal mau saja.

*Penulis: Zia Ul Haq, Pendamping Belajar Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga; Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta. Facebook/Instagram: ziatuwel

Editor: YOVITA ARIKA
Link Kompas: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/11/22/menjadi-guru-tanpa-mengajar?open_from=Section_Opini0

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya