Gus Dur dan Pendidikan Alternatif - KBQTDiary #67

Jumat malam kemarin, mbadali Pak Din, saya ikut nimbrung jagongan di Pesantren Edi Mancoro Bandungan tinggalan Kiai Mahfud Ridwan rahimahullah, nyimak Gus Hanif Mahfud, Pendeta Eben, Pak Lukman DPR, dan teman-teman pegiat kerukunan Salatiga lainnya berbincang tentang Gus Dur.

"Pikiran Gus Dur bisa mendalam membaca masa lalu, sekaligus terang memprediksi masa depan, jauh melampaui zamannya," kata Pak Lukman setelah berkisah tentang pengalamannya nyantri kepada Kiai Mahfud Ridwan, sobat karib Gus Dur.

"Bagi kita yang tak sempat bertemu langsung dengan Gus Dur, cara terbaik memahami pikiran-pikirannya adalah dengan membaca tulisan-tulisan langsung beliau. Misalnya yang tercetak di majalah Prisma," tutur Gus Hanif usai bercerita perjalanan Gus Dur era Baghdad-Den Haag, dengan sanad kisah dari Pak Hambali, sobat karib Gus Dur yang kini tinggal di Belanda.

Kebetulan, sore sebelumnya saya baru tuntas baca sepuluh halaman kata pengantar tulisan Gus Dur atas buku 'Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan'-nya Paulo Freire. Saya penasaran, bagaimana pandangan Gus Dur tentang pendidikan pembebasan ala Freire yang selama ini jadi mazhab Pak Din di Qaryah Thayyibah.


Ternyata benar kata Pak Lukman. Pikiran Gus Dur jauh melampau zamannya. Meskipun tulisan tersebut bertanggal 6 Maret 1984, atau sekitar 40 tahun yang lalu di awal 'Era Kurikulum CBSA', namun gagasan Gus Dur tentang pendidikan sangatlah segar dibaca di 'Era Merdeka Belajar' ini.

Setidaknya ada tiga poin penting yang nyangkut di kepala saat membaca tulisan itu.

PERTAMA: ARAH PENDIDIKAN. Gus Dur merunut perubahan arah pendidikan di Indonesia sejak masa kemerdekaan, serta keterjajahannya dalam cengkeraman kapitalisme global. Adapun arah pendidikan yang dibutuhkan pasca kemerdekaan, menurutnya, ialah bagaimana memandirikan masyarakat sesuai potensi dan konteksnya masing-masing. Ia menulis;

"Pendidikan lalu mengarah kepada penyediaan tenaga kerja setengah jadi untuk kepentingan produksi barang-barang ekspor murah itu, sedang di saat yang sama ia dituntut pula untuk menyediakan sejumlah sangat kecil tenaga pengelola di tingkat tertinggi dunia usaha. Dengan demikian, dunia profesi dalam arti yang luas menjadi terlalaikan atau, kalau juga diberi perhatian, hanya terbatas pada sejumlah bidang yang ‘laku keras’ seperti kedokteran dan teknik. Sedangkan pendidikan untuk menghasilkan petani yang mandiri, usahawan kecil yang berswadaya, dan pengrajin yang dapat bersaing dengan barang impor boleh dikata tidak pernah dicapai. Padahal itu yang menjadi kebutuhan sebenarnya bagi masyarakat, dan diharapkan dapat dihasilkan oleh dunia pendidikan negara-negara yang belum lama merdeka."

KEDUA: METODE PENDIDIKAN. Gus Dur menegaskan bahwa metode yang perlu ditempuh untuk menapaki arah memandirikan masyarakat ialah pendidikan yang membiasakan kemerdekaan belajar. Ia tuliskan;

"Rakyat sebenarnya memiliki kekuatan potensial untuk membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan kepapaan akibat struktur masyarakat yang pincang. Kekuatan potensial itu bertumpu pada modal-modal kultural yang mereka miliki, salah satu di antaranya adalah kemampuan mendidik diri sendiri untuk melakukan pembebasan atas tenaga sendiri, dengan cara yang mereka pilih sendiri, dan sesuai dengan program yang mereka kembangkan sendiri."

KETIGA: PENDIDIKAN ALTERNATIF. Gus Dur mewanti-wanti agar gagasan apapun yang datang dari luar musti ditinjau dan disesuaikan dengan konteks keindonesiaan. Termasuk pendidikan alternatif bernuansa pembebasan ala Freire. Menurutnya, inti sistem pendidikan alternatif bukanlah melawan kekuasaan yang ada, melainkan mengubah warga masyarakat dala orientasi dan pola hidup yang diikutinya. Maka metode paling pas di Indonesia adalah pendekatan kultural yang berupaya menghilangkan sekat horisontal dan relatif lambat, bukan pendekatan politis yang cepat dan mempertentangkan antar-kelas.

Gus Dur bahkan mewejangkan suatu kaidah penting bagi pegiat pendidikan alternatif;

"Pada titik ini, sebuah ‘kaidah’ fundamental harus dipahami, yaitu fungsi komplementer antara program pemerintah dan program swasta/masyarakat, dalam artian masing-masing mengakui fungsi dampingan (counterparting functions) yang dimilikinya dalam ‘kerja bersama menyukseskan pembangunan’. .... Dalam pola ‘kerja sama’ seperti itu masing-masing menerima kehadiran yang lain sebagai esensial, namun pada saat yang sama memegang hak untuk mencari jalan sendiri sebagai varian lain dari pencarian ‘teman kolaborasi’nya itu."

Nah, saya justru menyaksikan wujud nyata gagasan Gus Dur di tiga poin tersebut dalam praktik pendidikan di Qaryah Thayyibah. Yakni bagaimana arah pendidikannya ialah memerdekakan warga belajar, metodenya dengan musyawarah dan kemandirian belajar, serta tidak konfrontatif pada otoritas kekuasaan, bahkan memosisikan diri sebagai pelengkap dan penyempurna.

__

Salatiga, Nisfu Sya'ban 1445

*Artikel Gus Dur tersebut bisa dibaca di sini: https://gusdur.net/pembebasan-melalui-pendidikan-punyakah-keabsahan/

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya