Habib Soleh Bedug

Dua puluhan tahun lalu, 2005-2007, saat masih sekolah di SMA N 1 Slawi (Smansawi), kadang-kadang aku ikut nimbrung di pengajian Majlis Ta'lim Nurul Hidayah asuhan Habib Soleh bin Ali Alatas tiap malam Rabu, diajak kakak kelas, Mas Alyan. Lokasinya di ruang tamu rumah beliau yang sempit, dekat Pesantren Attauhidiyyah Giren.

Pengajian dimulai bakda isya, diisi wiridan Ratib Alatas dan pembahasan kitab fikih Fathul Qorib. Entah bagaimana ceritanya, Khanan, kawan sekelasku yang aktif di majlis beliau mulai dipercaya menggarap buletin bulanan majlis itu. Aku pun ikut rewang mengisi beberapa rubrik di dalamnya.

Mungkin karena usianya masih sangat muda, 30 tahun, jadi bisa nyambung dengan kami-kami anak remaja SMA. Saat itu para pengurus Rohis punya ide menggelar pengajian umum bulanan di sekolah, dengan mengundang tokoh-tokoh ulama di Slawi dan sekitarnya. Kalau tak salah ingat, Habib Soleh adalah tamu perdana program tersebut saat itu.

Di majlis-majlisnya, beliau kerap cerita tentang perjalanan ngaji dan sosok guru-gurunya. Mulai dari Kiai Said, Kiai Ahmad, Kiai Hasani di Giren tanah kelahirannya, lalu nyantri kepada Mbah Yai Maimoen Zubair di Sarang mulai umur 15 tahun, kemudian lanjut mondok di Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, dan berakhir di Darul Musthofa Tarim Yaman.

Salah satu cerita beliau yang kuingat adalah pengalamannya nyantri di Sarang. Bahwa dulu saat masih mondok, ia pernah sakit paru-paru parah selama empat tahun. Setiap hari batuk berdarah yang tak sembuh-sembuh. Mbah Maimoen begitu memperhatikan perkembangan kesehatannya, kadang memberi jamu.

Hingga akhirnya Habib Soleh berobat selama enam bulan tanpa putus, tapi masih tidak ada perkembangan. Lalu ia sowan kepada sang guru. Mbah Maimoen memerintahkan putranya (Gus Yasin) mengambilkan segelas air zam-zam, lalu beliau menyuwuk air itu dan memberikannya kepada Habib Soleh seraya berpesan, "Sekarang habib mengaji saja, secara syariat habib sudah berusaha."

Berbekal 'manut guru', Habib Soleh terus lanjut mengaji di Sarang sampai tamat, dengan kesehatan yang mulai berangsur pulih. Selepas sembilan tahun mondok di Sarang, ia lanjut nyantri di Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang selama dua tahun, lalu lanjut mengaji di Darul Musthafa Tarim selama sekitar empat tahun. Kemudian pulang ke Giren dan memulai dakwahnya, membuka majlis ta'lim di rumahnya.




Pada tahun 2007, sepulang dari Malang, Habib Soleh sowan ke Sarang, menghadap Mbah Maimoen bersama para tamu yang lain. Setelah bercakap-cakap, di hadapan para tamu itu, Mbah Maimoen menitahkan khusus kepada Habib Soleh, "Habib Soleh buat pondok, ya."

Tentu saja yang diperintah kaget dan hanya diam. Ia merasa tidak punya apa-apa untuk membangun pondok, bahkan sejengkal tanah pun tidak ada. Namun lagi-lagi, berbekal 'manut guru' titah itu pun terwujud. Satu tahun setelah perintah itu, pada 2008, Habib Soleh sudah membuka pondok pesantren di desa Bedug, Pangkah, Tegal, yang dihuni 20 orang santri mukim.

Nama pesantren (ribath) itu sama dengan nama majlis yang ia rintis; "Nurul Hidayah" (cahaya petunjuk), pemberian gurunya saat di Tarim, Habib Umar bin Hafizh. Pada harlah pertama ribath, tahun 2009, Mbah Maimoen sempat rawuh di pondok baru itu dan terlihat sangat bahagia sampai-sampai berkomentar, "Santri Habib Soleh nanti fauqol alf (di atas seribu orang)."

Lagi-lagi Habib Soleh hanya bisa menengadahkan tangan dan berujar, "Amin." Dakwah beliau pun mulai berkembang, baik di dalam pesantren maupun di majlis-majlis asuhannya di berbagai tempat, seiring berbagai tantangan yang dihadapi, Kang Imron lebih paham tentang hal ini.

Mbah Maimoen terakhir kali berkunjung ke Bedug pada 2018, setahun sebelum beliau wafat, sambil berpesan untuk membuka pesantren putri dan sekolah formal berbasis pesantren. Titah itupun terlaksana berupa Madrasah Tsanawiyah Ribath Nurul Hidayah pada 2020.

Kemarin malam Habib Soleh wafat, malam Jumat tanggal 19 Mulud 1447 (12 September 2025), beberapa jam setelah ziarah ke makam kakek buyutnya; Kiai Said bin Armiya di pemakaman Giren, tepat di usia yang masih terhitung muda, 49 tahun. Meninggalkan putranya yang kelak akan meneruskan pesantrennya, Yik Umar Hafidz Alatas, serta para santri Ribath Nurul Hidayah yang kini berjumlah seribuan, seperti dhawuh Mbah Maimoen tujuh belas tahun lalu.

Sampai kutulis catatan ini, rasanya masih kaget, "Bib Soleh wis laka."

Untuk para santri Habib Soleh, mohon koreksi jika ada kekeliruan dalam tulisan ini. Saya sekadar ingin 'mengabadikan' kenangan masa remaja.

Lahul Fatihah

20 Mulud 1447

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya