Belakangan ini ada yang mencitrakan bahwa pesantren itu buruk. Entah dalam pembangunannya, lingkungannya, kegiatannya, maupun relasi sosial di dalamnya. Ya silakan saja, toh mungkin itu yang mereka alami. Saya cuma mau cerita pengalaman yang saya rasakan.
Persentuhan pertama saya dengan pesantren dimulai saat remaja di kampung kelahiran, Tuwel. Beranjak usia SMP (2002-2004), setamat madrasah diniyah di Madrasah Bustanul Khairat, saya lanjut ngaji kalong di Pesantren Nurul Hikmah Tuwel, pondok yang bersih dan rapi, dengan bangunan dan kamar-kamar yang sederhana.
Kebetulan ada kakak sepupu yang jadi pengasuh di sana. Lepas maghrib saya berangkat dari rumah ke komplek pondok, lalu sorogan ngaji kitab-kitab tipis kepada beliau. Baru pulang setelah subuh. Itulah momen pertama saya melihat kehidupan santri yang serba mandiri, penghormatan yang begitu tinggi kepada guru, dan pemuliaan kepada buku-buku keagamaan (kitab kuning). Saat remaja itu saya mengenal pesantren sebagai tempat pengkaderan pendekar-pendekar agama, semacam kuil-kuil shaolin di film-film laga tiongkok.
Masuk SMA dan ngekos di Slawi (2005-2007), saya lanjut ngaji kalong di majlis taklim yang digelar oleh Pesantren Attauhidiyyah Giren tiap malam Kamis dan malam Ahad. Pernah satu kali mondok pasanan selama sebulan di sana. Momen ini jadi pengalaman yang sangat berkesan, malah saya bercita-cita pengen pasanan lagi di sana kalau anak-anak sudah besar.
Di situlah saya merasakan nuansa spiritual yang sangat kental, disiplin ritual yang ketat, serta mulai berkenalan dengan istilah-istilah sufistik seperti ma'rifat, wushul, asror, dan semisalnya. Saya mulai dikenalkan tentang 'rasa beragama', bukan 'beragama' saja. Sampai-sampai saya berkeyakinan bahwa santri ya harus jadi wali.
Selepas SMA dan jeda kuliah (2008), saya sempat ikut kakak sepupu yang mondok di pondok induk Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo selama 21 hari. Di sana saya menyaksikan betapa ilmu agama dirayakan dengan begitu semarak dan beraneka bentuk.
Walau cuma tiga minggu, saat itu saya sempat menyaksikan hal-hal seru seperti bahtsul masail, roan jeding sewu, lalaran masal, seminar ilmiah, pagelaran wayang, majlis maulid, ijazahan mujahadah, khataman kitab, hingga hal-hal aneh seperti fenomena orang majdzub yang kulihat langsung dengan bola mataku.
Saat mulai kuliah di Ceger Tangerang Selatan (2008-2010), saya ngaji kalong di majlis taklim yang digelar Pesantren Al-Fachriyyah tiap malam Rabu dan malam Jumat. Di pesantren ini saya merasakan betapa mahabbah (cinta) itu sangat vital dalam berislam. Bahwa kegiatan menggali ilmu dan rutinitas ibadah hampir percuma tanpa landasan cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada rasul-Nya, dan cinta kepada sesama makhluk-Nya.
Dari sinilah saya menyimpulkan bahwa cinta tidak bisa diajarkan, tapi hanya bisa ditularkan. Membaca ilmu dalam kitab memang penting, tapi membaca guru yang menjadi pengamal ilmu dalam kitab jauh lebih penting. Itulah perlunya santri berinteraksi dengan guru yang memiliki getaran mahabbah, biar ketularan.
Dropout kuliah di Ceger, saya pindah ke Jogja (2010-2017) dan mulai mondok di Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Kurang lebih tiga tahun saya bermukim di komplek Madrasah Huffadh, mencoba menghapal Quran tapi tidak khatam, lalu pindah ke kos sebelah pondok karena masalah kesehatan. Tujuh tahun di lingkungan Krapyak, saya saksikan langsung bagaimana keteladanan, kesungguhan, kebersahajaan, kesederhanaan dan kemanusiawian orang-orang pesantren.
Anggapan lawas saya saat remaja bahwa pesantren adalah produsen ulama mulai rontok, karena ternyata banyak juga santri yang jadi pegawai, saintis, peternak, dan politisi. Anggapan lama saya tentang ulama yang harus selalu bergamis atau minimal berselempang sorban pun gugur, sebab saya melihat para kiai di sana berpenampilan sebagaimana warga pada umumnya.
Setelah menikah, saya mulai rewang-rewang jadi juru ajar di madrasah Pesantren Hidayatul Mubtadiin Kalibening (2018-sekarang). Pondok yang manunggal dengan masjid kampung dan masyarakat sekitar, sebagaimana umumnya di desa-desa. Di mana santri berbaur dalam kegiatan kemasarakatan, masyarakat pun rela hati turut serta dalam pembangunan dan kegiatan pesantren.
Saya menganggap pesantren-pesantren semacam itu adalah "pesantren kecil yang besar". Mungkin ukuran bangunan dan jumlah santrinya kecil, tapi perannya justru besar. Sebab ia menjadi benteng sosial kokoh yang melindungi masyarakat dari kerusakan moral, tidak malah menjadi benteng penghalang antara nilai-nilai ideal di dalam pesantren dengan realita di tengah masyarakat.
SAMA TAPI BEDA
Melalui pesantren-pesantren itu saya menyaksikan semangat yang sama. Yakni semangat memahami dan mengamalkan ajaran syariat maupun sikap rahmat yang diwariskan oleh Rasulullah, melalui jalur yang kokoh dan terpercaya. Namun saya juga melihat tradisi-tradisi kepesantrenan yang berbeda.
Ada pesantren yang santrinya menunduk diam saat kiainya lewat, ada yang tidak. Ada pesantren yang mendorong santrinya berpuasa dan tirakat, ada yang malah melarang. Ada pesantren yang menganjurkan santri penuhi kitab-kitabnya dengan coretan makna gandul, ada yang justru memuji santri yang kitabnya kosongan. Ada yang sangat memisahkan santri putri dan putra agar jangan sampai ketemu sama sekali, ada yang biasa-biasa saja dan membolehkan saling jumpa.
PLUS-MINUS
Selain persamaan semangat dan perbedaan tradisi itu, saya melihat ada banyak praktik baik di pesantren yang perlu dilestarikan, terutama dalam konteks pendidikan. Seperti praktik pembelajaran yang mendalam melalui referensi yang terpercaya, adanya keteladanan guru dan keterpautan emosional yang sangat erat dengan para santri layaknya anak sendiri.
Santri juga terbiasa hidup komunal yang relatif bersahaja dan proletar, pesantren apresiatif terhadap perbedaan kemampuan dan kecenderungan santri, hingga keterbukaan akses untuk masyarakat maupun santri dari lain pesantren, dan lain-lain. Saya sudah menyinggungnya sekilas di rangkaian status #SeriSantri beberapa tahun lalu.
Apakah berarti pesantren tidak punya kekurangan di mata saya? Ya tentu ada. Saya punya sekian kritik dan saran untuk pesantren, terutama terkait doktrin-doktrin dan tradisi-tradisi yang kontraproduktif, berdasarkan kajian kependidikan yang saya tekuni. Tapi tema-tema ini tidak pernah saya muat di medsos, sebab lebih sering saya ungkapkan langsung saat ngobrol dengan teman-teman yang mengasuh atau mengelola pesantren.
Misalnya gelagat menyepelekan hal-hal yang dianggap duniawi seperti kesehatan badan, kerapian kamar, dan karir-karir keprofesian. Juga penyeragaman pembelajaran bagi santri yang memang berminat jadi ulama dan santri yang sebenarnya berbakat dalam bidang lain. Serta adanya kecenderungan monumentasi karya maupun sosok masa lalu, sehingga susah untuk koreksi apalagi improvisasi.
Lalu bagaimana dengan masalah perundungan, pelecehan, penyakitan, kenakalan, mismanajemen? Saya kira itu bukan masalah khas pesantren. Masalah-masalah itu ada di semua lembaga pendidikan, apalagi bermodel asrama. Maka pembahasan terkait tema-tema tersebut harus berangkat dari semangat perbaikan kualitas pendidikan secara umum, bukan untuk merendahkan lembaga apapun, termasuk pesantren.
Artikel receh ini saya tulis sebagai 'penggugur kewajiban' selaku orang yang tidak berasal dari keluarga pesantren, pernah mengalami hidup di pesantren, dan sedikit-banyak mengamati praksis pendidikan pesantren. Serta sebagai penyambung lidah sesama santri, di tengah banyaknya narasi yang menjelekkan pesantren seakan tak punya kelebihan, juga tak sedikit reaksi yang memuja pesantren sampai sundul langit serasa tak punya kekurangan.
Selamat Hari Santri Nasional
Berkah bermanfaat!
Salatiga, 23 Oktober 2025