Gara-gara sedikit terlibat dalam proyek buku ini, saya jadi 'melek' bahwa meskipun Salatiga kota kecil (secara luas wilayah) tapi di dalamnya bersemayam tokoh-tokoh ulama besar di masanya. Para pejuang Islam yang berkiprah di tengah masyarakat sesuai bidangnya masing-masing.
Ada Mbah Jangkung dan para pejuang Perang Jawa seperti Mbah Ronosentiko, Mbah Damarjati, dan Mbah Abdul Wahid. Ada Mbah Badrudin Honggowongso yang merintis lembaga pendidikan Islam awal, Mbah Daqoiq Nawawi yang menjadi mursyid tarekat, Mbah Zubair Umar Jailani yang mendirikan perguruan tinggi Islam pertama, Mbah Ghufron yang mengasuh pesantren tertua.
Ada pula Mbah Tamam Qaulani yang memelopori forum tokoh lintas agama, Mbah Mahfudz Ridwan yang mementori para pegiat sosial muda, Prof Zulfa Machasin intelektual Muhammadiyah, dan Kiai Imam Baehaki aktivis NU militan. Mereka bersama para tokoh dari agama lain, tentu menjadi pilar-pilar spiritual dan sosial bagi kota ini, hingga bisa menyandang titel 'kota paling toleran' seindonesia.
Upaya Disbudpar Pemkot Salatiga patut diapresiasi, sebab agaknya masih sedikit pemda yang memfasilitasi proyek penulisan sejarah tokoh-tokoh agama di wilayahnya. Sejak 2023 lalu, pemkot menyokong teman-teman dari UIN Salatiga untuk menyusun bunga rampai Ensiklopedia Ulama Salatiga (Edisi 1). Riset ini dipimpin oleh Pak Faidi, sejarawan asal Madura yang belakangan sedang merumuskan 'metodologi supranatural' dalam rekonstruksi sejarah.
Ketika pertama kali ditawari gabung, saya langsung mengiyakan. Meskipun nama saya tertera di sampul buku, dalam prosesnya peran saya tidaklah banyak, hanya ikut menarasikan data yang sudah terkumpul. Justru teman-teman pengumpul datalah yang paling berperan, sebab merekalah yang turun ke lapangan, sowan kesana-kemari dan mengumpulkan serpihan-serpihan dokumen yang terserak.
Proyek ini tuntas pada akhir 2024, dan alhamdulillah bisa diluncurkan kemarin Jumat, 14 November 2025, dibedah oleh Prof. Ilya Muhsin dan dihadiri dzurriyyah tokoh-tokoh tersebut. Bertepatan dengan nuansa Hari Santri, Hari Pahlawan, dan Harlah ke-240 Pangeran Diponegoro. Pemkot juga mengundang para ulama aktual yang saat ini masih membersamai umat.
Mbah Yai Nasir sangat senang atas terbitnya buku ini. Ia mengatakan, "Apa yang diceritakan, lalu kita dengar, kalau tidak dicatat dan dituliskan, ya akan hilang. Di sinilah pentingnya pencatatan dan penulisan."
Mbah Yai Nur Rofiq, putra Mbah Tamam Qaulani berseloroh, "Para kiai yang masih hidup, monggo dukung para santri untuk giat mencatat dan menulis perihal guru-gurunya. Jadi nanti kalau panjenengan sudah tidak ada, mereka tidak kepaten obor."
Pandangan menarik diungkapkan Mbah Yai Maslihuddin Yazid, "Para sesepuh ulama besar kota Salatiga yang ditulis ini adalah para pendatang. Maka tugas kita adalah: mari kita ciptakan generasi ulama yang asli Salatiga."
Sedangkan Dr. Kiai Ahmad Suaidi mengomentari dari segi sudut pandang kesejarahan, "Selain menjadi tarikh atau sejarah yang menonjolkan aspek data-data historis, tulisan-tulisan tentang para ulama juga harus diperkaya dengan catatan-catatan yang menonjolkan aspek keteladanan sehingga bisa menjadi siroh yang bermanfaat."
Sebagai karya rintisan, tentu saja masih banyak kekurangan dalam buku ini. Sebab tidak ada langkah awal yang sempurna. Tapi tanpa langkah awal, kita tidak akan sampai kemana-mana. Semoga berkah, bermanfaat, berlanjut, dan menginspirasi daerah-daerah lainnya.
__
Kalibening 15-11-2025

