![]() |
hitamnya kopi tak sehitam dosa kami | pekatnya malam tak
sepekat hati kami | namun kami takkan lelah bernaung | dalam
ruang ampunan tak berujung
|
“Adaow!” seruku saat jemari Pak Tukang Pijat Refleksi menekan betis kaki kiri. Di situlah ada masalah pada pencernaanku, katanya. “Nah, kalau yang ini hubungannya ke otak kecil di belakang. Pusat memori,” katanya sambil memijat bagian punggung kaki kananku, sakit betul, “Pasti sering divorsir ya mikirnya?”
Diagnosa dan
analisa Pak Pijat ini kuacungi jempol. Penalaran penyakit yang ditelusur dari
sebab menuju gejala hingga upaya penyembuhan diuraikannya dengan gamblang. Aku
terpesona. Katanya, penyakitku ini bersumber dari pola makan tak teratur dan
beban pikiran yang terlalu dipaksakan. Efeknya, asam lambung berlebih. Dari
ganasnya asam lambung ini timbullah berbagai ketidaknyamanan fisik.
“Obat hanya
meredakan sementara Mas,” katanya, “kalau habis ya kambuh lagi. Kunci
kesembuhan itu sebenarnya pikiran kita sendiri. Mau memperbaiki pola hidup atau
tidak. Fisik punya haknya, kalau tidak dipenuhi pasti akan jadi masalah. Begitu
pula kalau berlebihan, sama saja.
Jadi sebenarnya, adanya penyakit di tubuh
kita adalah kesalahan kita sendiri. Kalaupun cara hidup sudah bener tapi masih
sakit, mungkin Gusti Allah berkehendak demikian sangkin banyaknya dosa-dosa
kita. Biar dihapus. Jadi ya musti sabar.”
Ucapannya ini
logis-realistis, rasional-relijius. Aku jadi makin merasa banyak bersalah,
mengenang berbagai kesilapan, baik berupa kedzaliman terhadap wadag ragawiku
maupun kedurhakaan-kedurhakaan kepada Tuhan. Andaikata benar penyakit adalah
penghapusan dosa, maka tentu menggunung nian dosa hamba. Namun kuyakin Dia
Mahaluas ampunan-Nya.
Malam terasa
begitu panjang. Mata enggan terpejam dan sekujur tubuh serasa begitu pegal.
Sendawa dan kentut tak henti-henti meletup dari dalam perut. Hingga dini hari,
Jumat jam satu aku masih terjaga, tersiksa. Kubuka beberapa tumpuk buku di rak
untuk menemani begadang tak diinginkan itu.
Ada tiga fragmen
kisah yang membuatku tercenung dan terpesona. Pertama, tentang sikap Baginda
Nabi terhadap seorang pendosa. Kedua, kisah lucu nan haru yang sering
didengungkan syairnya di Maiyah, yakni tentang pertemuan seorang dusun dengan
Baginda Nabi. Ketiga, tentang pemuda pendurhaka di zaman Dzun Nun al-Mishri. Mari
kita simak;
~
Suatu ketika,
datang seorang lelaki ke hadapan Rasulullah saw. sambil mengeluh,
“Aduhai
dosa-dosaku.. Aduhai dosa-dosaku..”
Tampangnya
muram. Diulang-ulanginya kalimat itu. Melihat tingkah pria ini, Rasulullah mencoba
menenangkannya,
“Coba ucapkan,”
tuntun Baginda,
اللهم مغفرتك أوسع من ذنوبي
ورحمتك أرجى عندي من عملي
“Duhai Allah, ampunan-Mu lebih luas dibanding
dosa-dosaku. Dan kasih-Mu lebih bisa kuandalkan dari pada amal perbuatanku.”
Lalu, dengan gelisah, lelaki itu mengucapkan apa yang
Rasulullah ajarkan.
“Ulangi..” titah Baginda.
Ia membacanya lagi, makin tenang.
“Ulangi..” titah beliau lagi.
Iapun memanjatkan doa itu lagi.
“Sudah, berdirilah. Dosa-dosamu sudah diampuni.”(*)
~
Hari itu,
Rasulullah sedang thawaf (mengitari Ka’bah) ketika mendengar seorang
dusun (a’roby) berseru ‘Yaa Kariim!’ (Wahai Yang Mahamulia!).
Rasulullah mengikuti
orang dusun itu tepat di belakangnya sambil menirukan, ‘Yaa Kariim!’. Si
orang dusun menghadap rukun yamani dan berucap lagi, ‘Yaa Kariim!’, Rasulullah
menirukan dari belakang, ‘Yaa Kariim!’.
Orang itu
berbalik arah menghadap mizab (pancuran emas) dan berseru, ‘Yaa Kariim!’,
lagi-lagi Rasulullah menguntit dan menirukan, ‘Yaa Kariim!’
Merasa tak
nyaman, si orang dusun berbalik ke arah Baginda Nabi dan menghardik,
“Hei orang
berwajah cerah! Jangan mengejekku hanya karena aku orang dusun! Kalau tidak
karena wajahmu yang bercahaya, pasti sudah kuadukan kau kepada kekasihku
Muhammad!”
Rasulullah tersenyum.
Beliau menyahut,
“Apakah kau
mengenal nabimu hei saudaraku orang dusun?”
“Tidak.”
“Apakah kau
percaya kepadanya?”
“Tentu! Aku beriman
kepada kenabiannya meski belum pernah kulihat rupanya. Aku membenarkan
risalahnya meski ia belum pernah kujumpa.”
Mendengar itu, maka
Rasulullah membuka jati diri,
“Akulah nabimu
di dunia. Akulah penolongmu di akhirat.”
Tak ragu lagi,
si orang dusun langsung memeluk Baginda Nabi, pancaran cahaya wajah lelaki di
hadapannya itu jelas menunjukkan bahwa ia berkata jujur. Si orang dusun
tersungkur memeluk kedua kaki Rasulullah.
“Bangun! Bangun saudaraku!”
kata Baginda, “Jangan perlakukan aku sebagaimana orang-orang asing
memperlakukan para raja mereka. Karena Allah mengutusku bukan sebagai orang
jumawa ataupun seorang tiran. Namun Dia mengutusku dengan Kebenaran, sebagai
pembawa kabar gembira dan penyampai peringatan.”
Orang dusun itu
bangkit dan tertunduk malu. Seketika, datang Malaikat Jibril as. menghampiri Rasulullah,
menyampaikan kabar,
“Wahai Muhammad,
As-Salaam yaqra-uka as-salaam (Yang Mahadamai menyampaikan salam padamu).
Dia menyampaikan juga; katakanlah kepada orang dusun itu agar tidak tertipu
oleh kemuliaan Kami, karena kelak Kami tetap akan menghisabnya (mengadili,
menimbang amal perbuatan).”
Rasulullah
menyampaikan pesan itu kepada orang dusun yang tertunduk malu. Tak diduga, ia
malah menjawab,
“Apakah benar Dia
akan menghisabku Wahai Rasulullah?”
“Iya,
insyaallah, Dia akan menghisabmu.”
“Demi keagungan
dan keluhuran-Ny,” ucap si orang dusun, “jika Allah menghisabku maka akupun
akan menghisab-Nya!”
“Dengan apa kau
akan menghisab Tuhanmu, hei saudaraku orang dusun?” tanya Rasulullah, heran.
“Jika Ia
menghisabku atas dosa-dosaku, maka akan kuhisab Dia atas ampunan-Nya,” jawab si
orang dusun, “Jika Ia menghisabku atas kedurhakaanku, maka akan kuhisab Dia
atas perkenan-Nya. Jika Ia menghisabku atas kekikiranku, maka akan kuhisab Dia
atas kedermawanan-Nya!”
Rasulullah pun menangis.
Hingga basah jenggot mulianya. Maka Jibril kembali menghampiri beliau,
“Wahai Muhammad,
As-Salaam yaqra-uka as-salaam. Dia menyampaikan agar engkau meredakan
tangismu. Karena sedu sedanmu menghebohkan penduduk ‘Arsy dari tasbih mereka,”
ucap Jibril. Rasulullah menghela napas, Jibril melanjutkan,
“Sampaikan pada
saudaramu orang dusun itu, tak usah menghisab Kami dan Kamipun takkan
menghisabnya. Karena ia kerabatmu kelak di dalam surga.” (**)
~
Dzun Nun
al-Mishri melihat kejadian aneh. Empat orang laki-laki memanggul jenazah kea
rah kuburan tanpa ada siapapun yang mengiringi. Entah siapa jenazah itu, betapa
buruk citranya sehingga tiada seorangpun yang merasa kehilangan atas
kematiannya. Iapun berinisiatif untuk turut mengantar jenazah itu. Semoga
menjadi amal baik, gumamnya.
“Mas, siapa di
antara kalian wali bagi jenazah ini?” tanya Dzun Nun.
“Maaf Mas, tidak
ada. Kita semua di sini atas dorongan yang sama, rasa kasihan,” jawab salah
seorang dari mereka, “Ayo segera kita bereskan saja.”
Jadilah kelima
pria itu mensalatkan hingga menurunkan jenazah ke dalam pusara. Ketika mereka
menimbunkan tanah ke atas lubang kuburan, Dzun Nun kembali bertanya,
“Mas, maaf,
jenazah ini siapa sih? Orangnya bagaimana?”
“Kami juga tidak
tahu, Mas. Setahu kami, tadi ada seorang wanita sedang menangis
tersengguk-sengguk di sisi mayat pria ini. Dia yang minta tolong kepada kami
agar mengurusi jenazah ini.”
Sedang asyik berbincang,
muncul wanita yang dibicarakan. Ia berlari dan tersungkur di atas pusara. Di
samping kuburan itu, ia menangis begitu deras, hingga acak-acakan kerudungnya.
Tapi sesaat kemudian dia hening sambil mengangkat kedua tangan. Dia berdoa,
mengucapkan sesuatu.”
Wanita itu terus
berdoa tanpa menghiraukan sekitarnya, lalu terdiam sambil tersungkur. Para
pengubur pun bingung. Lebih bingung lagi setelahnya, wanita itu terhentak
bangun sambil tertawa-tawa bahagia. Mereka tambah bingung. Setelah suasana
dirasa agak tenang, Dzun Nun mendekat dan memberanikan diri bertanya,
“Mengapa Ibu
tertawa begitu setelah sebelumnya menangis begitu duka?”
Wanita itu
terdiam sejenak,
“Kalau bukan
engkau yang bertanya, demi Allah, aku takkan mau cerita. Tapi karena kutahu kau
termasuk orang-orang saleh, biar kuceritakan padamu,”
Mereka memasang
baik-baik pendengarannya,
“Mas, laki-laki
yang kau kuburkan itu adalah putraku. Dia itu bandelnya bukan main. Doyan
pacaran. Kesana-kemari berbuat maksiat, kalau ada acara-acara maksiat, dia tak
pernah absen. Dia anak muda yang menantang Tuhannya dengan maksiat dan
dosa-dosa, Mas,” kenang Si Ibu.
Si penyimak
geleng-geleng kepala.
“Hingga akhirnya
dia mendapatkan cobaan ini, sakit keras selama tiga hari. Entah mengapa, di
akhir-akhir hidupnya, dia berubah total. Mungkin dia merasa kematiannya sudah
begitu dekat, sampai-sampai berpesan kepadaku;
‘Ibu, jika aku
mati, tolong jangan beritahukan kabar kematianku kepada siapapun yang
mengenalku. Mereka pasti takkan merasa kasihan sedikitpun padaku, sebab aku ini
tukang maksiat..’
Anakku menangis.
Akupun turut menangis. Kemudian dia bersenandung,
لي ذنوب شغلتني –
عن صيامي و صلاتي
تركت جسمي عليلا –
مات من قبل وفاتي
ليتني تبت لربي –
من جميع السيئات
أنا عبد لإلهي –
مغضب في الخلوات
محت جهرا بذنوبي –
وعيوبي قاتلات
قد توالت سيئاتي –
وتلاشت حسناتي
Dosa-dosa
telah menyibukkanku, dari puasa dan sembahyangku..
Kutinggalkan
tubuhku terperdaya, mati sebelum wafatku..
Andai saja
aku bertobat pada Tuhanku, dari segala kesalahanku..
Aku hamba
bagi Tuhanku, yang dibenci dalam kesendirianku..
Tersiar jelas
dosa-dosaku, aib-aibkulah yang membunuhku..
Sungguh telah
berjaya kejelekanku, dan kalah sudah kebaikanku..
Lalu anakku
menangis tersedu-sedu. Aku tak tega melihatnya. Dia terus meronta sambil
berkata,
‘Aah! Betapa
kerasnya hatiku!’
‘Ibu, tolong,
jika aku mati, telentangkan jasadku di atas tanah dan letakkan telapak kakimu
di wajahku. Katakanlah; inilah ganjaran bagi orang yang durhaka pada Tuhannya,
meninggalkan perintahnya, menuruti hawa nafsunya! Dan setelah aku dikubur, angkatlah
tanganmu Ibu, nyatakan kepada Tuhan; Duhai Allah, aku rela terhadap anakku,
semoga Engkaupun rela terhadapnya.’
Diapun wafat di
pangkuanku. Maka akupun menuruti permintaannya. Kulakukan apa yang dia
pesankan. Kuangkat tinggi-tinggi tanganku menghadap langit, kupanjatkan doaku
setulus-tulusnya. Aku tersungkur menangisi nasib anakku. Lalu kudengar suara
seseorang begitu jelas menegur entah dari mana, kukenal betul itu suara anakku,
‘Duhai Ibu,
bangkitlah! Aku telah menghadap Yang Mahamulia dan Ia rela terhadapku. Tiada
kemurkaan.’
Sebab itulah aku
tertawa gembira. Betul-betul bahagia. Inilah kisah kusampaikan padamu, Mas.
Lihatlah, betapa agung Kemuliaan dan Kelembutan-Nya terhadap para pendosa ini." (***)
Apa yang
dikisahkan bukanlah hujjah untuk tenang berbuat durhaka. Melainkan bisyarah bagi
para pendosa yang hampir putus asa. Sebagaimana sabda Nabi, pintu ampunan
terbuka lebar hingga nyawa tertarik hingga kerongkongan. Semoga kita tak kehilangan
harapan pada-Nya dan tak pula membuat orang lain putus asa.
Referensi:
(*) An-Nawawi, dalam Al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar, 352
Referensi:
(*) An-Nawawi, dalam Al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar, 352
(**) Al-Yafi’i,
dalam Raudhur Rayyakhin fi Khikayatis Shalikhin, 18 – 20
(***) Al-Yafi’i, dalam Raudhur Rayyakhin fi Khikayatis Shalikhin, 176-178
(***) Al-Yafi’i, dalam Raudhur Rayyakhin fi Khikayatis Shalikhin, 176-178
~
Tegal, Jum’at 26
Jumadil Ula 1435