Aliran Tigris pernah menjadi sehitam tinta ketika ribuan buku koleksi
perpustakaan besar Baitul Hikmah dihanyutkan ke dalamnya. Pasukan
Mongol pimpinan Hulagu Khan tidak hanya membantai ribuan manusia di
Baghdad saat itu, tetapi juga merobohkan perpustakaan dan melempar
koleksinya ke dalam unggunan api dan ke dalam derasnya sungai Tigris.
Tindakan pemusnahan buku alias Biblioklasme atau Librisida bukanlah suatu hal yang terjadi sekali dua kali. Setiap bangsa dan peradaban, dalam masing-masing periode, pernah mengadapi hal serupa. Berupa pembakaran, penghanyutan, maupun penghancuran. Motifnya bermacam-macam; moral, keagamaan, ataupun politik.
Pada abad ke tujuh sebelum masehi ibukota Syria, Nineveh, diserbu pasukan sekutu Babilonia, Scythia dan Medes. Dalam penyerbuan itu, turut dibakar pula Perpustakaan Ashurbanipal, sebuah tempat dengan beragam koleksi tulisan dari berbagai negeri. Untungnya, beberapa arsip tulisan yang tertulis di kepingan-kepingan batu masih bisa ditemukan oleh arkeolog-arkeolog abad sembilan belas.
Di China, pada abad ke dua sebelum masehi, Kaisar Qin Shi Huang memerintahkan pasukannya untuk membakar semua buku filsafat dan sejarah yang tidak sesuai dengan dogma negara. Tindakan ini disarankan oleh perdana menterinya, Li Si, demi menjaga ‘keamanan’ negara. Seluruh warga yang memiliki buku-buku filsafat ataupun sejarah harus menyerahkannya kepada pemerintah. Siapapun yang berani mendiskusikan buku-buku itu akan dieksekusi mati. Siapapun yang berani menggunakan sejarah untuk mengkritik kondisi masa kini, maka keluarganya akan dihukum mati. Hanya buku-buku pengobatan, ramalan, pertanian dan kehutanan yang diijinkan beredar. Kejam nian.
Pemusnahan buku terus berlangsung sampai zaman modern ini. Pada 1933 terjadi pembakaran buku besar-besaran di Berlin oleh NAZI. Pada 1992 Oriental Institute di Sarajevo dibakar oleh Serbia dan menghanguskan ribuan koleksi buku.
Kalau kita telaah, pemusnahan buku menjadi ciri khas dari rezim tiran yang cenderung kejam dan menindas. Polanya khas; dilakukan oleh penjajah yang menaklukkan suatu bangsa, atau oleh penguasa yang mempertahankan status quo kekuasaannya. Kita beruntung, penjajah Belanda tidak sampai membumihanguskan karya-karya peninggalan sastrawan Nusantara, sebagian besar masih bisa diakses di negeri kincir angin itu, meskipun tak semua orang bisa.
Di Indonesia, tahun 1972, Kejaksaan Agung memusnahkan sepuluh ton bacaan yang dianggap subversif. Berupa buku, majalah, brosur dan selebaran berbau komunisme. Tujuh belas tahun kemudian, Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta memusnahkan lebih dari delapan ribu eksemplar buku pendidikan seks bagi anak-anak bertajuk ’Adik Baru’, sebuah karya terjemahan yang disunting oleh seorang ahli pendidikan, Profesor Conny R. Semiawan. Pada 1992, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat memusnahkan ratusan jilid buku “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” karangan Yoshihara Kunio yang diterjemahkan oleh Arief Budiman. Saat itu turut dibakar pula ribuan kaset dan ratusan keping CD beraroma Mandarin.
Lalu bagaimana dengan pemusnahan buku atas nama agama, seperti buku ‘Lima Kota Paling Berpengaruh di Dunia’ terbitan Gramedia yang pembakarannya disaksikan langsung oleh MUI tahun 2012 lalu? Silakan jawab sendiri.
Dalam hal ini, saya sepakat dengan pendapat Syaikh Abdallah bin Bayyah, seorang ahli hukum Islam saat ini. Beliau mengatakan bahwa; banyak hal-hal negatif yang dilontarkan kepada Islam justru terjadi sebab keteledoran kita sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa kitalah penyebab orang menggambar kartun nabi atau membakar kitab suci. Tidak. Tapi tak dapat dipungkiri, bahwa semua itu terjadi sebab kita gagal memberikan pemahaman kepada khalayak tentang siapa kita dan bagaimana agama kita sesungguhnya. Bagaimana kita bisa menampilkan keislaman dengan baik kalau kita sendiri belum betul-betul memahami apa yang kita yakini. Maka, terlebih dahulu kita harus pahami bagaimana seharusnya kita beragama secara tepat, agar tidak ekstrim kiri (mengabaikan) maupun ekstrim kanan (berlebihan).
Buku memang barang netral yang nilainya tergantung pada apa yang dimuat di dalamnya. Mengapa sebuah Kitab (bahasa Arab, artinya; buku) dianggap suci sehingga memegang dan membacanyapun harus dalam keadaan bersuci? Karena di dalamnya terkandung ayat-ayat suci. Sedangkan sejilid kertas terjepit sampul yang memuat kritikan, cercaan, atau penyelewengan pemahaman dianggap sebagai buku berbahaya yang –entah mengapa- harus dihancurkan.
Namun, seberbahaya apapun isi sejilid buku, tetap tak patut bagi kita untuk membakarnya karena menolak isi buku tersebut. Bagaimanapun, penuangan ide di dalam sejilid buku adalah hidangan lezat untuk ditelaah, dikritisi, ditolak, atau didukung. Untuk kemudian dilahirkan tanggapan bagi ide tersebut dalam nada yang berbeda, sehingga ilmu pengetahuan akan terus berkembang, tidak mandek.
Ada sebuah kisah menyebutkan pemusnahan buku di saat Sa’ad bin Abi Waqqash memimpin pasukan muslim menaklukkan Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Sassanid pada abad ke tujuh masehi. Disebutkan bahwa Khalifah Umar, melalui surat, memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk melemparkan semua buku yang tak sesuai dengan al-Qur’an ke dalam api unggun atau sungai Eufrat. Namun ilmuwan orientalis seperti Franz Rosenthal (Yale University), Bernard Lewis (Princeton University), dan Touraj Daryee (University of California) menyatakan bahwa kisah yang tercatat dalam Tarikh al-Tabari ini adalah palsu. Karena justru banyak karya-karya ilmuwan Persia saat itu yang dipelajari dan ditanggapi pendatang muslim.
Dalam tradisi santri, buku tidak menempati posisi utama dalam proses pendidikan. Interaksi secara langsung antara guru dan murid adalah aspek utama yang harus dilestarikan. Hubungan ini tak sekedar melulu aspek intelektual, tetapi juga emosional, bahkan spiritual. Jadi, seganas apapun keliaran ide melalui torehan-torehan pena di dalam buku-buku, hanya sekedar menjadi asupan wawasan sebagai pemantik perkembangan pemahaman. Sedangkan kemantapan batin dan kemapanan sikap dicapai melalui pengamalan dan pengalaman di bawah bimbingan guru.
Ketika pemahaman dan sikap terhadap hal-hal mendasar sudah mantap, maka silakan lahap buku sebanyak, seliar dan sevariatif apapun. Sehingga sudut pandang kita terhadap kehidupan menjadi lebih komplit, ibarat puzzle, menjadi semakin lengkap. Inklusif, tidak eksklusif. Pemusnahan buku yang mengandung buah pikir, melalui berbagai cara, adalah tindakan yang sama sekali tidak bijak, bahkan cenderung buruk.
Tindakan semacam ini mencerminkan dua hal: arogansi pelaku dan paranoid yang dideritanya.
Namun, sebagaimana diungkapkan Ray Bradbury, ada banyak hal yang lebih buruk ketimbang membakar buku. Salah satunya adalah; tidak mau membaca buku.
Iqro’! Bi Ismi Rabbik!
~
Tegal, Hari Buku 2014
Tindakan pemusnahan buku alias Biblioklasme atau Librisida bukanlah suatu hal yang terjadi sekali dua kali. Setiap bangsa dan peradaban, dalam masing-masing periode, pernah mengadapi hal serupa. Berupa pembakaran, penghanyutan, maupun penghancuran. Motifnya bermacam-macam; moral, keagamaan, ataupun politik.
Pada abad ke tujuh sebelum masehi ibukota Syria, Nineveh, diserbu pasukan sekutu Babilonia, Scythia dan Medes. Dalam penyerbuan itu, turut dibakar pula Perpustakaan Ashurbanipal, sebuah tempat dengan beragam koleksi tulisan dari berbagai negeri. Untungnya, beberapa arsip tulisan yang tertulis di kepingan-kepingan batu masih bisa ditemukan oleh arkeolog-arkeolog abad sembilan belas.
Di China, pada abad ke dua sebelum masehi, Kaisar Qin Shi Huang memerintahkan pasukannya untuk membakar semua buku filsafat dan sejarah yang tidak sesuai dengan dogma negara. Tindakan ini disarankan oleh perdana menterinya, Li Si, demi menjaga ‘keamanan’ negara. Seluruh warga yang memiliki buku-buku filsafat ataupun sejarah harus menyerahkannya kepada pemerintah. Siapapun yang berani mendiskusikan buku-buku itu akan dieksekusi mati. Siapapun yang berani menggunakan sejarah untuk mengkritik kondisi masa kini, maka keluarganya akan dihukum mati. Hanya buku-buku pengobatan, ramalan, pertanian dan kehutanan yang diijinkan beredar. Kejam nian.
Pemusnahan buku terus berlangsung sampai zaman modern ini. Pada 1933 terjadi pembakaran buku besar-besaran di Berlin oleh NAZI. Pada 1992 Oriental Institute di Sarajevo dibakar oleh Serbia dan menghanguskan ribuan koleksi buku.
Kalau kita telaah, pemusnahan buku menjadi ciri khas dari rezim tiran yang cenderung kejam dan menindas. Polanya khas; dilakukan oleh penjajah yang menaklukkan suatu bangsa, atau oleh penguasa yang mempertahankan status quo kekuasaannya. Kita beruntung, penjajah Belanda tidak sampai membumihanguskan karya-karya peninggalan sastrawan Nusantara, sebagian besar masih bisa diakses di negeri kincir angin itu, meskipun tak semua orang bisa.
Di Indonesia, tahun 1972, Kejaksaan Agung memusnahkan sepuluh ton bacaan yang dianggap subversif. Berupa buku, majalah, brosur dan selebaran berbau komunisme. Tujuh belas tahun kemudian, Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta memusnahkan lebih dari delapan ribu eksemplar buku pendidikan seks bagi anak-anak bertajuk ’Adik Baru’, sebuah karya terjemahan yang disunting oleh seorang ahli pendidikan, Profesor Conny R. Semiawan. Pada 1992, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat memusnahkan ratusan jilid buku “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” karangan Yoshihara Kunio yang diterjemahkan oleh Arief Budiman. Saat itu turut dibakar pula ribuan kaset dan ratusan keping CD beraroma Mandarin.
Lalu bagaimana dengan pemusnahan buku atas nama agama, seperti buku ‘Lima Kota Paling Berpengaruh di Dunia’ terbitan Gramedia yang pembakarannya disaksikan langsung oleh MUI tahun 2012 lalu? Silakan jawab sendiri.
Dalam hal ini, saya sepakat dengan pendapat Syaikh Abdallah bin Bayyah, seorang ahli hukum Islam saat ini. Beliau mengatakan bahwa; banyak hal-hal negatif yang dilontarkan kepada Islam justru terjadi sebab keteledoran kita sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa kitalah penyebab orang menggambar kartun nabi atau membakar kitab suci. Tidak. Tapi tak dapat dipungkiri, bahwa semua itu terjadi sebab kita gagal memberikan pemahaman kepada khalayak tentang siapa kita dan bagaimana agama kita sesungguhnya. Bagaimana kita bisa menampilkan keislaman dengan baik kalau kita sendiri belum betul-betul memahami apa yang kita yakini. Maka, terlebih dahulu kita harus pahami bagaimana seharusnya kita beragama secara tepat, agar tidak ekstrim kiri (mengabaikan) maupun ekstrim kanan (berlebihan).
Buku memang barang netral yang nilainya tergantung pada apa yang dimuat di dalamnya. Mengapa sebuah Kitab (bahasa Arab, artinya; buku) dianggap suci sehingga memegang dan membacanyapun harus dalam keadaan bersuci? Karena di dalamnya terkandung ayat-ayat suci. Sedangkan sejilid kertas terjepit sampul yang memuat kritikan, cercaan, atau penyelewengan pemahaman dianggap sebagai buku berbahaya yang –entah mengapa- harus dihancurkan.
Namun, seberbahaya apapun isi sejilid buku, tetap tak patut bagi kita untuk membakarnya karena menolak isi buku tersebut. Bagaimanapun, penuangan ide di dalam sejilid buku adalah hidangan lezat untuk ditelaah, dikritisi, ditolak, atau didukung. Untuk kemudian dilahirkan tanggapan bagi ide tersebut dalam nada yang berbeda, sehingga ilmu pengetahuan akan terus berkembang, tidak mandek.
Ada sebuah kisah menyebutkan pemusnahan buku di saat Sa’ad bin Abi Waqqash memimpin pasukan muslim menaklukkan Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Sassanid pada abad ke tujuh masehi. Disebutkan bahwa Khalifah Umar, melalui surat, memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk melemparkan semua buku yang tak sesuai dengan al-Qur’an ke dalam api unggun atau sungai Eufrat. Namun ilmuwan orientalis seperti Franz Rosenthal (Yale University), Bernard Lewis (Princeton University), dan Touraj Daryee (University of California) menyatakan bahwa kisah yang tercatat dalam Tarikh al-Tabari ini adalah palsu. Karena justru banyak karya-karya ilmuwan Persia saat itu yang dipelajari dan ditanggapi pendatang muslim.
Dalam tradisi santri, buku tidak menempati posisi utama dalam proses pendidikan. Interaksi secara langsung antara guru dan murid adalah aspek utama yang harus dilestarikan. Hubungan ini tak sekedar melulu aspek intelektual, tetapi juga emosional, bahkan spiritual. Jadi, seganas apapun keliaran ide melalui torehan-torehan pena di dalam buku-buku, hanya sekedar menjadi asupan wawasan sebagai pemantik perkembangan pemahaman. Sedangkan kemantapan batin dan kemapanan sikap dicapai melalui pengamalan dan pengalaman di bawah bimbingan guru.
Ketika pemahaman dan sikap terhadap hal-hal mendasar sudah mantap, maka silakan lahap buku sebanyak, seliar dan sevariatif apapun. Sehingga sudut pandang kita terhadap kehidupan menjadi lebih komplit, ibarat puzzle, menjadi semakin lengkap. Inklusif, tidak eksklusif. Pemusnahan buku yang mengandung buah pikir, melalui berbagai cara, adalah tindakan yang sama sekali tidak bijak, bahkan cenderung buruk.
Tindakan semacam ini mencerminkan dua hal: arogansi pelaku dan paranoid yang dideritanya.
Namun, sebagaimana diungkapkan Ray Bradbury, ada banyak hal yang lebih buruk ketimbang membakar buku. Salah satunya adalah; tidak mau membaca buku.
Iqro’! Bi Ismi Rabbik!
~
Tegal, Hari Buku 2014