Prestasi?

Menyebalkan sekali jika kau tonton acara menarik tapi iklannya bejibun. Diulang-ulang pula. Salah satu di antara iklan itu adalah produk susu balita yang menurutku menggelikan.

Seekor –eh- sesosok balita diilustrasikan sedang mengerjakan soal matematika di papan tulis depan kelas. Kemudian dia diilustrasikan memakai seutas kalung bermedali, dikelilingi riuh tepuk tangan kawan-kawannya. Lalu ada narasi bersuara, kira-kira begini;

“Ingin anak Anda berprestasi? Maka tenggaklah susu ini.. bla-bla-bla..”

Nah, ada satu poin yang bisa kusimpulkan di sini. Yakni tentang sudut pandang si pengiklan tentang prestasi. Dan kupikir, banyak juga dari kalangan masyarakat yang mengimani sudut pandang tentang prestasi ini.

Prestasi diartikan pencapaian gradual, umumnya dalam bentuk ranking. Kau dianggap berprestasi jika bisa meraih sesuatu yang tak bisa digapai kebanyakan orang dalam hal yang dianggap formal. Apalagi jika ada barang bukti semisal tropi, piagam, dan medali. Kau pernah juara satu lomba kentut tingkat kabupaten, runner-up lomba kayang nasional, berarti kau berprestasi. Hal-hal seperti itu umum diisikan orang-orang ketika mengisi blanko ‘prestasi’ di Curriculum Vitae (semacam Riwayat Hidup).

Perspektif ranking ini juga pernah kuidap semasa SD. Ada suatu birahi untuk bisa selalu menjadi tiga besar di kelas, rasanya prestisius banget. Sebagaimana perlakuan para guru pun lebih mengistimewakan anak-anak yang menduduki ranking ramping. Namun semua berubah setelah kubuka pintu pemahaman dalam pergaulan.

Ada seorang kawan yang tak pernah masuk sepuluh besar di kelas, tapi begitu lihai mengincar kelereng. Hampir tak pernah meleset. Tentu hal seperti ini membutuhkan konsentrasi tinggi serta keterpaduan pikiran dan fisik. Ada kesesuaian persepsi dengan aspek motorik. Adapula seorang kawan yang begitu paham pengaturan akuntansi sederhana. Kalau sangu sekian maka jajan sekian dan nabung sekian, padahal tak pernah ranking di kelas.

Maka sejak lulus SD kulihat prestasi seseorang secara objektif. Setiap orang memiliki potensi masing-masing yang khas. Berbeda satu sama lain, dan berbeda pula penilaiannya. Ada banyak anak yang dianggap berprestasi secara kognitif dalam penguasaan mata pelajaran, tapi cengeng dalam pergaulan. Ada yang sangat berbakat menggojek bola di lapangan tapi teramat lamban menganalisa masalah sesederhana siklus air di alam.

Ketika masuk SMP kusimpulkan; prestasi adalah pencapaian seseorang dalam bidang dan lingkungannya masing-masing. Akupun makin terkagum-kagum kepada ratusan kawan-kawan yang masing-masing memiliki kejagoan berbeda-beda. Semua orang punya prestasi dalam dunianya masing-masing.

Namun pemahaman itu hanya bertahan beberapa tahun saja. Ada pencerahan lain, begitulah proses. Pencapaian kemampuan yang bersifat individual ternyata masih terlalu prematur bila disebut prestasi. Selain berresiko menumbuhkan kejumawaan dan egoisme, pandangan ini juga bisa menimbulkan disorientasi fitrah manusia. Sehingga ia hanya akan memburu kepuasan pribadi dan melarikan diri dari realita bahwa ia adalah makhluk sosial.

Dengan asumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka taraf pencapaiannya adalah sejauh mana ia mampu berprestasi dalam atmosfer sosial, bukan individual. Prestasi individu bukan sekedar diukur dari kemampuan mengalahkan individu lain, melainkan sebermanfaat apa ia bagi selainnya.

Jadi, apakah seorang atlet kentut yang berhasil menyabet juara satu tingkat dunia bisa disebut berprestasi? Itu baru pra-prestasi. Untuk menyebutnya sebagai prestasi atau bukan, maka kita harus mengukurnya dengan kacamata sosial; sebermanfaat apa pencapaiannya itu bagi lingkungan. Dan ukuran manfaat ini bisa diukur dari berbagai sisi yang tak sekedar materiil. Karena untuk mengukur prestasi, harus digunakan parameter yang berbeda namun bernuansa relatif sama.

Dengan ukuran ini, kau bisa mengukur prestasimu. Mungkin kau pernah juara debat bahasa Inggris tingkat provinsi, misalnya, coba lihat dengan bapak-bapak buta huruf yang berhasil membangun saluran irigasi bagi warga desanya. Coba, lebih berprestasi mana?

Mungkin kau pernah menduduki ranking satu atau berpredikat summa-cumlaude saat wisuda. Coba lirik ibu-ibu tak lulus SD yang mampu menggerakkan roda ekonomi warga sekitar dengan kerajinan tangan berbasis potensi alam. Nah, lebih berprestasi mana?

Sebagai muslim, tak bisa kulepaskan konsep ini dari tuntunan Baginda Nabi. Sangat banyak redaksi hadits beliau yang menyiratkan kualitas seseorang berdasarkan pencapaian sosial.

Khoirukum man ta’allama al-Qurana wa ‘allamahu, ujar beliau; sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya. Tidak hanya berhenti pada ‘mempelajari al-Quran’ sebagai pencapaian intelektual individual, tetapi lanjut ‘mengajarkannya’, itu fungsi sosial yang kompleks. Betapa banyak orang yang berhasil memahami pengetahuan dalam berbagai bidang, meraih gelar-gelar akademis sebagai pengakuan intelektualitasnya, tetapi tak sanggup membahasakan ‘ilmu langit’ itu agar dapat dipahami masyarakat dan bermanfaat bagi mereka.

Atau hadits populer lain; khoirunnaasi anfa’uhum linnaasi. Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya). Kata ‘manusia’ (an-nas) bersifat global, tak tersekat bangsa, suku, ras, agama, golongan, atau sekedar partai politik. Betapa sering orang semacamku berbaur dengan sesama manusia bukan untuk menebar manfaat mutualisme, justru hanya ingin mengambil manfaat, atau bahkan menjadi parasit yang menerorkan mafsadat.

Untuk peran sosial ini, kadang kita juga terjebak dalam kungkungan persepsi waktu. Tak sedikit dari kita yang berazam; besok aku akan bergerak dalam ini itu, nanti aku akan melakukan ini itu, kelak akan kubuat ini itu. Ah, berhentilah berangan-angan. Kalau ingin melihat sejauh mana prestasi sosial kita di masa depan, cukup kita bercermin kepada apa yang sedang kita perbuat hari ini. Tentu relatif sama, hanya skala kuantitas dan kualitasnya saja yang berbeda.

Setuju, kawan? :)
Een Koranschool op Java - Koleksi Tropen Museum


~
Tegal, 10 Mei 2014

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya