Kiai-kiai Kampung (1)

Malam belum terlalu larut untuk berkeliling silaturrahmi. Lalu lalang warga masih terlihat kesana-kemari, pemandangan khas pekan lebaran. Jalanan Plompong (Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes) yang masih berbatu dengan himpitan bukit naik turun dan hamparan sawah di kanan kiri mengiringi langkah untuk berkunjung ke rumah Mbah Kakung.

Sambil membuka beberapa toples jajan dan mempersilakan teh manis untuk dinikmati, Mbah Kakung mulai berkisah.

~

Pertama, tentang salah seorang leluhurnya,Kiai Syamsuddin namanya. Konon beliau adalah salah satu prajurit-ulama dalam barisan juang Pangeran Diponegoro yang kemudian berdakwah di wilayahTegal dan Brebes. Salah satu kiprah beliau adalah membangun waduk di daerah Dawuhan– Brebes untuk irigasi pertanian masyarakat. Akhir hayatnya dihabiskan di dusun Cenggini, Balapulang – Tegal.

Dikisahkan pula, sebagai salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang pro-rakyat, beliau sering membangkang kebijakan kolonial Belanda. Ketika rakyat pribumi dilarang babat alas, beliau malah babat alas. Hal ini menjadikan beliau sering keluar masuk penjara. Anehnya, selama mendekam di dalam penjara, beliau masih sering terlihat pula di tengah sawah, bertani.

Seringkali Kiai Syamsuddin babat alas untuk menanam tanaman-tanaman pokok seperti padi, singkong atau jagung. Namun ketika masa panen tiba, beliau pergi entah kemana, mencari lahan baru untuk digarap. Sedangkan tanaman-tanaman tinggalannya justru dipanen oleh masyarakat setempat.

~

Lalu Mbah Kakung melompat cerita menuju Kiai Ghazali. Beliau ini orang ‘timur’ katanya, lalu menikah dengan orang Laren–Bumiayu, kemudian menikah lagi dengan orang Karang Pucung, masih daerah Brebes. Orangnya nyentrik, kemana-mana memakai sandal bakyak. Nafkahnya dengan menjual minyak wangi dan tembakau. Dahulu, setelah pulang mondok dari Weleri, Mbah Kakung selalu berusaha menghindar setiap kali bertemu Kiai Ghazali, karena pasti ia akan diuji dengan berbagai pertanyaan keagamaan, langsung di hadapan abahnya.

Jika berjalan kaki, sejauh apapun, Kiai Ghazali nampak tidak kelelahan, jalannya terlihat santai namun seakan ‘nglempit bumi’. Orang-orang muda yang mengikutinya justru ngos-ngosan. Beliau ini bukan kiai podium, hobinya justru ikut membantu petani yang sedang menggarap sawah. Nanti saat istirahat, beliau ikut duduk bercengkerama sambil menyelipkan pesan-pesan moral Islam dengan bahasa masyarakat.

Ketika sakit di akhir hayatnya, beliau malah memilih tinggal di rumah seorang janda miskin di Laren. Padahal sudah banyak keluarga, dermawan dan orang kaya menawarkan rumahnya untuk ditempati demi merawat beliau. Namun Kiai Ghazali bersikeras tetap tinggal dan dirawat dirumah si janda. Hingga bantuan sembako dan uang pun mengalir ke rumah si janda miskin ini. Pada akhirnya, sepeninggal Kiai Ghazali, kehidupan ekonomi janda dengan banyak anak tersebut membaik dan memiliki modal untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

~

Dan satu lagi kisah kiai yang tak pernah absen dari tutur tinular Mbah Kakung, yakni tentang guru beliau; Kiai Asnawi. Beliau juga seorang kiai kelana, asalnya dari Weleri – Kendal. Sering bolak-balik ke daerah Brebes dan sekitarnya. Kini pengajian beliau dilanjutkan oleh putranya, Kiai Lutfi Asnawi di Weleri.

Kiai Asnawi ini, menurut penuturan Mbah Kakung, berperawakan sedang, memiliki sorot mata tajam yang membuat orang lain tak kuat menatapnya. Kemana-mana membawa tongkat sebagaimana adat musafir zaman kuna. Ilmunya dalam, keramatnya beragam.

Gaya hidupnya amat sederhana, setiap kali diundang pengajian di suatu kampung, beliau memilih tinggal di rumah warga yang dianggap paling kurang mampu. Beliau tidak mau dimanjakan selayaknya orang terhormat, kursi dipan di ruang tamu dan buntelan sarung menjadi pilihannya untuk bermalam.

Pada suatu hari Jum’at, ketika Mbah Kakung melakukan perjalanan dari Plompong menuju Karanganyar menggunakan dokar, celananya terciprat kencing kuda sehingga najis dan tidak sah untuk shalat. Pikirnya, nanti sesampainya di Karanganyar ia akan pinjam sarung untuk shalat Jum’at. Ternyata, ketika sampai di Karanganyar, setelah sekitar 2 jam perjalanan, jama’ah shalat jum’at telah usai, sehingga beliau menggantinya dengan shalat dzuhur.

Karena urusan sudah tuntas, beliau pun kembali ke Plompong dengan menaiki dokar yang sama. Setibanya di Plompong menjelang Ashar, beliau melihat ada Kiai Asnawi sedang duduk berkumpul bersama beberapa orang, Mbah Toyib salah satunya.

Setelah salam-salaman dan sapa-menyapa, Mbah Toyib pun bertanya kepada Mbah Kakung,

“Lha, tadi Jum’atan dimana?”

“Di Karanganyar.”

Mendengar jawaban ini, sontak Kiai Asnawi berseru lantang,

“Bohong! Bohong! Bohong!”

Semua kaget, terlebih lagi Mbah Kakung.

“Itu kamu dosanya jadi dua! Dosa tidakjum’atan dan dosa bohong!” seru Kiai Asnawi.

Mbah Kakung hanya bisa tertunduk mengaku salah.

~

Sebagai penutup kisah, Mbah Kakung berpesan,

“Kiai dahulu ampuh-ampuh. Ilmunya luas tapi tidak neko-neko. Tingkah lakunya demi kemaslahatan umat. Tidak seperti kebanyakan orang sekarang, tahu sedikit kok sudah menyalah-nyalahkan. Meninggalkan hal yang wajib, yakni persatuan, hanya demi ribut melaksanakan hal yang sunnah, seperti shalat ied di masjid atau lapangan.

Pernah sempat geger saat lebaran Qurban. Ada sapi patungan orang NU dan Muhammadiyyah. Tapi ternyata hari Idul Adha-nya berbeda. Muhammadiyyah lebih dahulu satu hari. Nah ada oknum orang Muhammadiyyah yang ngotot harus menyembelih hari pertama Idul Adha, agar terasa suasana hari raya.

Namun bila itu terjadi, ‘kan orang NU yang ikut iuran jadi tidak mendapatkan keutaman Qurban, karena pada hari itu mereka belum lebaran. Hanya karena masalah ini jadi ribut. Kemudian kami coba beri penerangan kepada warga Muhammadiyyah yang hampir terprovokasi, bahwa kita memiliki keluasan dalam hukum sembelihan, ada hari tasyriq hingga tanggal 13, di hari-hari itu kita masih bisa menyembelih hewan Qurban. Sehingga pelan-pelan oknum-oknum warga Muhammadiyyah yang ngotot pun mau nurut dan ‘ngalah’.

Pernah juga ribut gara-gara rebutan mau shalat ‘ied dimana. Orang NU bersikeras di masjid, orang Muhammadiyyah ngotot di lapangan. Lah ini kalau betul-betul terjadi pecah, ‘kan jadi tidak indah. Masih satu kampung kok separo di masjid, separo di lapangan, malah lucu. Akhirnya kami rayu tokoh-tokoh NU dalam musyawarah, yang penting memang ada qaul rajih yang tercantum dalam salah satu kitab salaf tentang hal ini, ya tidak apa-apa, kita ‘ngalah’ saja. Akhirnya kita semua sepakat ‘ied di lapangan.

Kenapa harus ada yang ‘ngalah’? Ya agar semua legawa, ikhlas. Lha wong ibadah ‘kan harus ikhlas; walaa na’budu illaa iyyaahu, mukhlisiina lahu ad-diin. Kalau hatinya dongkol hanya karena perbedaan kan jadi susah ikhlasnya. Ini sering saya tekankan kepada pemuda-pemuda NU dan warga Muhammadiyyah di sini, utamakanlah persatuan dan kerukunan umat. Sehingga masjid di depan itu kita namai; Islahu al-Mu’miniin, perdamaian kaum beriman.

Dan kamu sebagai anak-anak muda, cobalah telusuri jejak leluhur dan guru-guru embah-embahmu; Kiai Syamsuddin di Cenggini, Kiai Asnawi di Weleri. Karena mengenal dan berkaca pada orang-orang tua terdahulu yang saleh itu penting.”

Wah! Tugas baru tahun ini.

 Brebes, 3 Syawwal 1434 / 09-08-2013

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya