Kiai-kiai Kampung (2)

“Dulu, selulus MI, aku mondok di Benda,” ungkap Kiai Ikyas memulai kisahnya. Beliau adalah kawan bapak semasa sekolah dahulu, juga masih terhitung kerabat dari jalur kakek. Kini beliau mengasuh Pesantren Salafiyyah Nurul Ihsan Dukuh Karangmangu, Plompong Sirampog Brebes. Ruang tamunya nampak ramai oleh para santri dan alumni yang sedang sowan, lesehan. Kami duduk di kursi bersama beliau mengelilingi meja kecil penuh aneka jajanan khas kampung.

Sebagaimana biasa, setiap Idul Fitri kami berkunjung ke rumah keluarga almarhum kakek di Brebes. Tentang beliau, sudah kutuangkan sekelumit kisahnya dalam catatan: ‘Lelaku Guruku’. Kami berkeliling silaturrahim ke rumah kerabat dari jalur kakek yang masih ada.



Tahun ini kuberanikan diri mengobrak-abrik kamar peninggalan kakek, kutemukan tongkat kayu dan berlembar-lembar catatan berisi tulisan arab; konsep khutbah, notulensi diskusi, dalil dari nash dan hadits, sajak-sajak, hingga bermacam-macam ijazah wirid dan doa. Jika mampir ke rumah adik almarhum kakek, beliau akan panjang lebar bicara tentang ilmu, aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bahaya Wahabi, hingga toleransi NU-Muhammadiyyah. Sebagaimana pernah kutulis juga dalam catatan ‘Kiai-kiai Kampung (1)’.

Kali ini giliran kisah Kiai Ikyas yang kurasa perlu kusajikan. Setelah menanyai kabar Qur’anku yang masih amburadul, beliau mulai berkisah tentang kenangannya mengaji Al-Qur’an;

“Pernah suatu ketika, bersama teman-teman, kami menunggui Kiai Umar Semarang yang hendak pulang setelah menghadiri acara di Benda. Di pertigaan luar pondok, kami baris menanti beliau.

Saat beliau keluar, kami bergantian salaman. Sesampainya di giliranku, beliau memegang tanganku erat-erat, menanyakan nama dan jumlah saudaraku, lalu mengamati telapak tanganku. Beliau bilang; ‘Ono siji sing bakale ora kanggo, ono siji sing bakale keno cobo loro: (ada satu yang tidak guna, ada satu yang akan diuji sakit).’ Ternyata betul, beberapa waktu kemudian, satu dari delapan saudaraku meninggal, sedangkan aku sendiri kena penyakit perut hebat.

Rasanya betul-betul tersiksa sebab penyakit itu. Karena kondisiku yang memprihatinkan, setiap jam dijenguk kakak perempuan yang juga mondok di Benda, tepatnya di komplek Kiai Masruri. Mungkin karena kasihan dan iba kepadaku yang saat itu masih belia, Kiai Masruri menyuruh kakak untuk memboyongku agar beristirahat di komplek putri bersama kakak. Begitu sampai di depan pondok dalam kondisi tak karuan, Kiai Masruri membopong dan menggendongku sampai kamar. Beliau menggelarkan sajadah dan alas duduk beliau sebagai tempat berbaringku.

Di atas sajadah beliau itulah aku pulas tertidur semalaman hingga subuh. Ajaib, setelah terbangun itu perutku tak lagi terasa sakit. Karena masih kecil dan belum tahu malu, aku langsung kabur balik ke komplek putra tanpa izin,” kenang Kiai Ikyas terkekeh-kekeh.

Almarhum KH Masruri Mughni, Benda, Sirampog, Brebes.

“Di Benda, aku hanya mengaji bacaan Al-Qur’an. Guru Qur’an-ku saat itu Kiai Aminuddin. Beliau memuji-muji bacaanku dan menganjurkan untuk melanjutkan ke jenjang ilmu yang lebih tinggi untuk bisa memahami isi Al-Qur’an. Tapi selama tiga tahun ngaji Jurumiyyah (kitab ilmu dasar tata bahasa Arab), aku sama sekali tak paham.

Dalam suatu ujian, santri melarat ini sama sekali tak bisa menjawab pertanyaan. Semua pertanyaan tentang isi kitab Jurumiyyah mental, hingga ustadz ‘nabok’ lenganku ini hingga sobek bajuku yang memang sudah terlalu lapuk. Alangkah malunya ditertawakan teman-teman sekelas. Hingga berhari-hari aku menangis meratapi kebodohanku sendiri. Di ujung kesedihan, tengah malam, kupandangi kitab Jurumiyyah mungil itu dengan pilu, tergeletak di atas bangku kayu yang kemudian menjadi bantal tidurku.

Aku tertidur sambil bersila. Jidatku tertopang di atas kitab kecil itu. Saat itu aku bermimpi didatangi dua orang. Salah satunya adalah kakakku, sedangkan satu lagi tidak kukenal. Mereka datang dalam keadaan bercahaya. Setelah dekat, kakak menyapa sambil menggandeng orang asing di sampingnya; ‘Kau tak usah resah! Inilah gurumu, ia yang akan mengajarimu ilmu.’

Lalu kutatap orang itu dengan seksama, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari raut wajah hingga busananya, sangat gamblang. Aku pun terbangun dengan bayang-bayang mimpi yang masih sangat jelas. Entah siapa orang itu.

Singkat kisah, kuberanikan diri ikut kawan-kawan yang hendak berangkat merantau ke Jakarta. Tapna izin dari orang tua tentunya, karena bapak menginginkanku lanjut ngaji di Benda, padahal di sana aku tak menemukan guru yang kukenal lewat mimpi itu. Di Jakarta, aku turut bekerja di pabrik-pabrik. Kadang hanya bertahan dua hari, paling lama lima hari. Begitu terus berpindah-pindah dari satu pabrik ke pabrik yang lain selama setengah tahun. Dari hasil kerja itu, kukumpulkan upah sejumlah tujuh puluh lima ribu rupiah, jumlah yang cukup besar. Namun bukan pekerjaan yang menjadi tujuanku, melainkan mencari sosok guru dalam mimpi itu.

Bapak tak henti-hentinya menyuratiku dari kampung, menyuruhku pulang. Yang beliau tahu, aku merantau ke Jakarta demi nafkah. Padahal tidak, sebab itulah aku tak pernah mau pulang. Hingga pada suatu malam bulan Ramadhan, di salah satu masjid, Ustadz Rum Effendi asal Tegal membaca surat kiriman bapak. Kemudian beliau ngotot menyuruhku pulang memenuhi permintaan bapak.

Akupun menurut. Sesampaiku di rumah, tak ada penyambutan yang sebelumnya kubayangkan, ataupun tumpah amarah bapak yang sebelumnya kukhawatirkan. Beliau menanggapi kepulanganku dengan biasa-biasa saja. Setelah berdiskusi panjang lebar, beliau menawariku mondok di Jombang. Akupun mengiyakan.

Beberapa hari menjelang keberangkatan, seorang kawan dari Tegal yang dahulu sama-sama mondok di Benda mampir ke rumahku. Kedatangannya mengubah arah perjalananku yang awalnya akan berangkat ke Jawa Timur menjadi berubah haluan menuju Sokaraja, Banyumas. Akhirnya kuputuskan untuk ikut kawanku ini mondok di Sokaraja dahulu sebelum lanjut ke Jombang.

Kamipun berangkat, bapak mengantongiku dengan bekal uang seribu rupiah. Hari Jum’at kami sampai Sokaraja. Namun hari itu kami tak bisa menemui Kiai Muhammad, pengasuh pesantren, karena beliau sedang ‘tindak’ ke Jampes Kediri, ziarah kepada gurunya, Kiai Ihsan. Hingga Ahad dini hari, kami baru mendengar kedatangan beliau. Maka ba’da Shubuh kami rencanakan sowan ke ‘ndalem’ kiai untuk minta izin ngaji.

Shalat Shubuh pagi itu diimami kiai. Entah mengapa dadaku berdebar. Setelah tuntas semua wirid, beliau hendak beranjak dari mihrab, ketika itulah pertama kali aku melihat sosok Kiai Muhammad. Bagai disambar petir, kulihat wajah, tubuh dan pakaian yang sama persis dengan sosok yang kulihat dalam mimpi hampir setahun yang lalu. Wajah dalam mimpi itu masih kuingat betul.

Melihatku tercengang bengong, beliau menghampiriku dan menyapa; ‘Kenapa, Nak?’, ‘Saya takut, Kiai, saya belum pernah ngaji sebelumnya,’ sahutku sekenanya. ‘Sudah, besok kamu mulailah ikut ngaji di sini ya. Mulai dari Safinah,’ kata beliau sambil beranjak.

Aku tak mampu menyembunyikan ketakjuban dan kegembiraanku. Guru yang kucari-cari selama ini ternyata kutemui di tempat ini. Pesantren kampung yang santrinya hanya tiga puluhan orang. Akupun mulai berbaur dengan santri-santri lain dan mulai mengaji. Karena mengaku belum pernah ngaji sebelumnya, kiai menyuruhku ngaji kitab-kitab ‘kecil’ yang sebenarnya sudah pernah kukhatamkan.

Satu hal yang membuat rasa haruku membuncah dan kemantapanku berlipat-lipat adalah Jurumiyyah. Ketika kiai baru menerangkan bab awal tentang apa itu Kalam, semua pelajaran dalam kitab dasar itu seakan langsung terbuka semua. Mendadak langsung bisa kupahami segamblang-gamblangnya! Tentu kepahaman ini sangat memudahkanku untuk membaca kitab-kitab gundul lainnya.

Hari demi hari berlalu di surga baruku ini. Sangkin betahnya santri melarat ini, sampai-sampai tak peduli kalau kiriman dari rumah telat berminggu-minggu. Makan bisa dicari, tapi kesempatan ngaji tak terganti. Salah satu pengajian yang kuikuti adalah Tafsir Jalalain tiap ba’da Dzuhur. Aku mulai ikut ngaji kitab ini dari juz 10, setahun kemudian pengajian sudah sampai pada juz 15. Lambat laun kiai pun tahu bahwa aku pernah mondok di Benda sebelumnya.

Sebagaimana biasa, di akhir tahun kiai hendak ziarah ke Jampes Kediri selama seminggu. Maka beliau mewakilkan pengajian-pengajian yang diampu kepada para santri. Padaku, beliau memasrahkan pengajian Tafsir Jalalain. Setiap ba’da Dzuhur selama seminggu kami selesaikan 1 juz kajian tafsir tersebut. Sekembalinya kiai dari Jampes, beliau memeriksa bacaan santri-santri yang dipasrahinya, termasuk aku. Dari pemeriksaan itu, dari satu juz yang telah kubaca, ada empat kata yang menurut beliau tidak sesuai kumaknai. Misal, kata ‘dhoroba’ kumaknai dengan ‘memukul’, padahal konteks kata tersebut lebih cocok bermakna ‘menjadikan’.

Sejak itu, selama tiga bulan berikutnya, aku sering dipanggil kiai untuk menghadap. Dalam pertemuan pribadi itu, beliau menyuruhku mengambil satu, dua, tiga, hingga belasan kitab di lemari beliau. Kemudian aku disuruh membaca muqaddimah dari masing-masing kitab, setelah itu beliau membacakan doa penutup. Maka praktis, selama tiga bulan itu aku mendapat banyak sekali ijazah kitab dari kiai. Kadang beliau justru menawariku mau kitab apa. Sungguh suatu anugerah tak terkira.

Di Sokaraja, aku juga sering sowan tabarruk (ngalap berkah) kepada kiai-kiai lain. Salah satunya adalah Kiai Masail. Dalam satu kesempatan, ketika aku datang menghadap beliau, saat itu kulihat pula Kiai Hasan Asy’ari dari Mangli Magelang sedang menemani beliau. Entah ada angin apa, setibanya aku di hadapan dua kiai ini, Kiai Hasan Mangli menyiramku dengan segayung air!

Tentu aku kaget! Namun juga tak bisa marah, karena aku tahu reputasi Kiai Hasan Mangli yang masyhur akan kewaliannya. Akupun langsung undur diri dan kembali ke pondok, berniat ganti baju. Ketika baru sampai di gothakan pondok, kawan-kawan heran; ‘Lhoh, kok balik lagi? Katanya mau sowan Mbah Masail, kok sebentar amat?’, kujawab, ‘Mau ganti baju dulu.’ Kawan-kawan justru heran; ‘Ngapain ganti baju? Memangnya baju yang kau pakai sekarang kenapa?’

Aku jadi yang makin heran atas keheranan kawan-kawan. Ternyata tidak satupun di antara mereka yang melihat bajuku basah. Tapi aku tetap merasa basah. Maka, setelah ganti baju, akupun kembali ke ndalem Kiai Masail untuk meminta penjelasan. Saat itu, Kiai Hasan Mangli sudah pergi entah kemana. Kuberanikan diri bertanya kepada Kiai Masail apa makna perbuatan Kiai Hasan Mangli tadi, beliau hanya menjawab; ‘Yo Mbuh, mengko yo ngerti dhewe (Ya entah, nanti juga tahu sendiri).’

Almarhum KH Hasan Asy'ari, Mangli - Magelang

Selama di Sokaraja itu, aku melalui masa-masa suka duka sebagai santri pada umumnya. Terutama dalam urusan makan dan kecukupan sehari-hari. Maka jika ada kesempatan undangan dari luar, kami sangat bersuka cita. Tak jarang kami diundang mengisi acara kenduri, tahlilan, maulid, hingga pengajian-pengajian di rumah-rumah warga. Biasanya, sepulang dari tempat-tempat itu, kami mendapat bingkisan beras, daging, dan lauk-pauk lainnya.

Jam terbangku pun bertambah, mulai dari berceramah hingga mengisi pengajian di berbagai tempat. Tiap kali mendapat sangu dari tuan rumah, aku selalu sowan kepada kiai. Sebagai tata krama, tetap kuhaturkan ‘amplop’ itu kepada kiai sebagai guruku. Namun beliau selalu menolak dan menganjurkanku untuk membagi-bagi uang bisyarah itu dengan kawan-kawan santri yang lain.

Hingga pada suatu hari, aku kembali sowan ke Mbah Masail. Lagi-lagi kutemui Mbah Mangli di sana, kali ini beliau tak bersikap mengejutkan seperti sebelumnya. Saat aku mendekat duduk di samping Kiai Hasan Mangli, beliau malah mengalihkan pandangan ke arah pohon kelapa di luar rumah.

Tiba-tiba beliau berujar; ‘Dhuwur yo wit klopone. Wit klopo ki nek wis dhuwur, tambah akeh tur tambah mateng klopone. Nanging yo tambah banter angine. (Tinggi ya pohon kelapanya. Pohon kelapa itu kalau sudah tinggi, tambah banyak dan matang buah kelapanya. Tapi ya tambah kencang anginnya). Akupun menyahut; ‘Inggih Yai, insyaallah, pandunganipun. (Iya Kiai, mohon doanya).’ Beliau mengelak, ‘Hush, aku ngomong dhewe kok! Ora ngomong karo koe! (Aku bicara sendiri kok, bukan bicara denganmu!)

Setelah berpanjang obrolan bersama dua kiai ini, aku dinasehati Kiai Hasan Mangli dengan petuah yang takkan pernah kulepas dari pelukanku; ‘Qur’anmu dijogo yo Le.. (jaga selalu Qur’anmu ya, Nak..).’ Lantas beliau memerintahkanku sowan dan minta doa kepada seseorang yang tinggal di belakang Masjid Kauman Sokaraja. Padahal setahuku tidak ada kiai tinggal di daerah itu. Sebagai santri, akupun menurut.

Setelah kutunggu semalaman, tepat jam satu malam, aku baru bisa bertemu orang yang dimaksud. Ternyata orang itu adalah Mbah Khamid. Sosok aneh yang biasa dilempari sampah oleh anak-anak sekitar karena dianggap gila. Pakaiannya pun tak karuan. Namun tentu aku tak melihat beliau dengan pandangan-pandangan lahiriah itu, apalagi dengan rekomendasi spiritual Kiai Hasan Mangli yang waskita. Akupun mohon doa dari beliau yang menyambut kedatanganku dengan sumringah dan panjatan doa yang begitu khusyuk,” pungkas Kiai Ikyas memuncaki kisahnya sambil mengisyaratkan pandangan ke arah dinding, menunjukkan foto Kiai Muhammad Sokaraja, serta foto Mbah Khamid yang sedang jadzab.

Kisah beliau terputus remang keemasan cahaya senja. Kamipun undur diri untuk melanjutkan keliling ke tetua-tetua yang lain. Entah akankah ada kesempatan lain lagi untuk berkisah. Entah masih ada atau tidak kiai-kiai dan santri-santri ampuh semacam yang ada dalam kisah ini di zaman kini. Entah masih ada atau tidak basahnya sisi spiritual dalam pribadi dan alam bawah sadar santri sekarang yang sepertinya makin kagum dengan gemerlap intelektualitas.

Semoga, sebagaimana beliau-beliau, kitapun dianugerahi oleh Gusti Allah hati yang terisi, tak kering kerontang dan merasa puas hanya dengan berpaes diri.

Manuskrip catatan-catatan lepas Mbah Kakung
~
Tegal, 3 Syawwal 1435

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya