Islam Ornamental


Setelah perabotmu jadi, rumah, mobil, sepeda, gentong, vas, atau meja, biasanya kau membumbuinya dengan ornamen-ornamen pelengkap sebagai penghias yang mempercantik bendamu itu. Pembubuhan ornamen ini tentu setelah benda tersebut utuh sesuai dengan fungsinya. Boleh dibilang, ornamen tidak lebih penting daripada bentuk fungsional benda itu sendiri.

Tentu goblok sekali jika kita sibuk menata ornamen tapi tak punya bentuk yang berfungsi. Kita sibuk memajang foto-foto tapi tak punya dinding untuk memasang, kita sibuk mematut-matut penampilan lahiriah namun lupa terhadap aspek inti kehidupan: spiritualisme. Tentu kita tidak mau berislam secara kering, dan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat ornamen.

Sudah sekian abad, Selingkar vakum dari agenda diskusi santai terkonsep, menghabiskan malam di gelaran angkringan, atau sekedar cangkruk di trotoar kampus. Namun tak mengapa, keluwesan Selingkar memang asik. Pada akhirnya, setiap penduduk adalah forum bagi dirinya sendiri, ia mampu berdiskusi secara jernih dan jujur dalam dirinya sendiri di setiap kondisi yang dihadapi.

Berdasarkan tren topik pembahasan yang hamba tangkap melalui berbagai interaksi, setelah sekian lama vakum, nampaknya Penduduk saat ini sedang berupaya menceburkan diri ke lautan spiritual. Mereka mulai mengendus adanya gelagat Islam Ornamental dalam kehidupan hedon saat ini. Memang pada mulanya, diskusi santai mencoba memantik daya kritis akal sampai ke tatar paling nakal, namun ternyata ada sisi yang jauh lebih penting untuk diasah, yakni daya rasa.

Ada Penduduk Selingkar yang mengasah daya rasanya dengan berbagai disiplin ritual; ngrowot, ndalail, ndawud, maupun mujahadah, seperti Mbah Mukid, Mbah Irpan and the genk. Ada pula yang mulai mengasah daya rasanya melalui penalaran, entah dalam interaksi kepekaan sosial, seperti mengajar yang dilakoni Mbah Bastian atau Mbah Said, maupun pengelolaan kepedihan individual, semisal Mbah Yasin yang gagal kawin. Intinya, bagaimanapun metode mengasah rasa, jangan berhenti hanya di tahap akal.

Olah rasa inilah yang dilalaikan manusia puber, apalagi di zaman materialisme seperti sekarang ini. Yakni ketika segala hal dinilai dari sisi material, sehingga neraca ukurnya pun harus berdasar pada akal, bahkan terhadap agama sekalipun. Padahal, olah rasa adalah tradisi purba yang telah dilakoni leluhur-leluhur kita, tak hanya di Tanah Jawa, tetapi di seluruh penjuru dunia. Namun selaras dengan menyebarnya kolonilaisme dan revolusi industri, pendekatan rasa pun mulai tergantikan dengan penalaran empiris logis.

Budaya tak lagi menjadi napas, melainkan komoditas. Agama tak lagi menjada spirit perjuangan, melainkan sekedar pelarian. Makhluk-makhluk Tuhan selain manusia tak lagi menjadi sahabat, melainkan musuh dan bahan olok-olokan. Tumbuhan, binatang, bebatuan, hingga demit-demit semakin kecewa dengan tingkah polah manusia yang tercerabut dari rasa dan jati dirinya.

Ketika manusia sudah tercerabut dari rasa, maka yang ia penuhi hanyalah segala hal ornamental, hiasan, pelengkap, bukan intisari dan kesejatian. Ibarat makan di restoran, ia hanya melahap dua helai daun selada yang biasanya dijadikan penghias, namun lupa terhadap santapan utamanya. Ketika itu terjadi pada seorang muslim, maka islamnya pun sekedar ornamen, ‘waton patut’. Atau lebih parah lagi; sebagai dalil perhitungan untung-rugi dalam kehidupan materialnya, tidak dirasakan sebagai denyut nadi dan asupan jiwa.

Dahulu, para kiai sepuh mendirikan pesantren dengan kontemplasi jiwa yang tak sepele. Bukan sekedar pertimbangan empiris, tetapi juga pituduh Tuhan melalui dimensi gaib. Ketika akan babat alas pun, beliau-beliau tetap menjaga unggah-ungguh lintas dimensi berupa membuka komunikasi dengan danyang setempat. Lalu ketika mengasuh santri, beliau-beliau tak sekedar mengajar dan menuangi muatan-muatan akal dari kitab salaf, tetapi juga tirakat mengupayakan kemapanan batin bagi anak-anak asuhnya.

Dahulu, masyarakat masih menyadari dan menghormati kehadiran makhluk-makhluk ciptaan Tuhan selain manusia. Baik itu binatang, tumbuhan, samudera, gunung, bahkan demit-demit di sekitarnya. Sehingga lahirlah berbagai metode komunikasi khas di setiap daerah, bukan sebagai ritual penyembahan, tetapi sekedar cara menyapa antar-dimensi. Meskipun ada pula yang kepleset mempertuhan sesama makhluk. Intinya, saat itu tata krama tidak hanya ditebar sesama manusia, tetapi juga kepada semesta. Manusia saat itu tidak merasa jumawa dengan kelebihannya, justru menjadi pengemong bagi selainnya.

Dahulu kental sekali bagaimana orang-orang melestarikan rasa. Tapi kini? Akankah kita menjadi pelestari nilai-nilai luhur purba yang peka rasa, ataukah menjadi penggembira zaman yang lepas akar dan serba akal?
[o]

Selingkar
Jogja, 19 September 2014

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya