Percik Ramadhan



















[ Layla I ]

Sudah malam ke sekian bertarawih, hari ke sekian berpuasa. Pertanyaannya adalah; kira-kira sudah dapat apa? Apakah sudah bertambah rasa tenteram di lubuk hati, ataukah masih gemrungsung dengan berbagai problem keseharian? Apakah sudah semakin cerah pikiran, ataukah masih keruh oleh berbagai pertikaian?

Ini adalah pertanyaan yang musti dijawab oleh masing-masing pribadi orang yang berpuasa, as-Sho-im. Jauh-jauh hari Baginda Rasulullah sudah peringatkan,

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapat apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan haus.”

Pernyataan beliau jelas menjadi sindiran pedas bagi siapapun yang merasa membuang-buang kesempatan mulia ini. Momen yang belum tentu tahun depan ditemui lagi karena keburu mati. Momen yang di dalamnya terdapat keistimewaan dimensi waktu yang melimpah ruah dan bersifat global di segala ruang.

Tujuan utama tirakat dalam bulan Ramadhan adalah sebagaimana disebut di dalam al-Qur’an;

“Agar engkau bertakwa.”

Destinasi global ini diperjelas oleh Baginda Rasulullah dalam sabdanya;

“Berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat.”

Tentu yang beliau maksud adalah sehat fisik maupun psikis, lahir dan batin, jiwa dan raga, wadag dan jeroan. Bukan sekedar segar badan namun hampa hati, bukan pula kenyang jiwa namun lunglai tubuh seharian.

[ Layla II ]

Sabda Rasulullah bukanlah perkataan sembarangan, bukan ungkapan ngawur tanpa makna. Apalagi Al-Qur’an. Di dalamnya terkandung petunjuk hidup dan mati, tak sekedar bahan kaligrafi yang kemudian dibuat hiasan dinding ataupun bahan perlombaan ceramah di televisi.

Puasalah agar sehat! Demikian titah Baginda.

Pertama, sehat ragawi. Ilmu kesehatan modern mengakui bahwa dengan berpuasa, tubuh manusia mengalami proses detoksifikasi secara alami. Yakni pembersihan setiap sel yang ada di dalam tubuh dari racun-racun yang masuk melalui asupan makanan dan minuman. Bahkan selama sepuluh hari pertama puasa, racun-racun dalam sel sumsum tulang yang masuk selama sebelas bulan sebelumnya sudah tuntas dikeluarkan secara alami. Tentu proses ini musti diimbangi dengan penataan pola makan yang tepat, tidak ngawur dan keburu nafsu.

Agaknya, lagi-lagi, Baginda Rasulullah menjadi model yang paripurna dalam hal pola makan ini. Makanlah setelah lapar dan berhentilah sebelum kenyang, sepertiga untuk makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga sisanya untuk udara.  Demikian tuntunan beliau.

Belum lagi wanti-wanti beliau tentang perut, bahwa tiada wadah yang lebih riskan, lebih berbahaya, dan lebih buruk, selain perut. Bukan berarti organ tubuh satu ini jelek, bukan. Tentu bila perut diperlakukan sebagaimana fungsinya, ia akan sangat berguna. Tapi bila dia dijadikan medan pemenuhan hawa nafsu dengan asupan-asupan amburadul tanpa aturan, tentu sangat berbahaya. Tidak hanya bagi si perut, tetapi juga bagi seluruh organ tubuh.

Dari masalah pencernaanlah muncul berbagai penyakit; gerd, maag, typhus, diabetes, jantung, usus buntu, gagal ginjal, masalah lever, empedu, prostat, dan sebagainya. Maka perbaikan pencernaan adalah solusi yang ampuh untuk menaklukkan berbagai potensi penyakit itu.

Dan solusi tersebut ditawarkan secara cuma-cuma oleh Gusti Allah melalui puasa Ramadhan.

[ Layla III ]

Kesehatan fisik merupakan produk dari perpaduan sempurna antara penataan pola makan melalui puasa dan gerak badan melalui tarawih. Namun perlu ditekankan bahwa puasa bukan sekedar tata pola makan, dan tarawih tak hanya olahraga.

Hal yang dituju dari kedua ritual itu adalah kesehatan batin dan segala aspek yang berkaitan dengannya; jiwa, hati, emosi, ataupun psikis. Harus diakui bahwa kondisi raga bisa mempengaruhi keadaan jiwa; men sana in corpore sano. Tapi harus dipahami pula bahwa yang lebih penting adalah; kondisi jiwalah yang lebih mempengaruhi keadaan raga; men sano in corpore sana.

Intensitas ritual di bulan Ramadhan memungkinkan terjadinya percepatan reparasi batin. Tentu hal ini harus diupayakan dengan proses berpikir dan perenungan mendalam tentang Tuhan, semesta alam, hidup dan mati.

Berbagai penyakit yang menggerogoti jiwa mengalami detoks, pembuangan racun secara alami. Bercak-bercak hitam dalam sanubari, yang mungkin bagai noda nikotin di paru-paru perokok, secara alami dibersihkan perlahan melalui ritual-ritual di bulan Ramadhan. Dengan catatan; ritual ibadah tersebut dipraktekkan sesuai aturan dan konsisten. Mungkin inilah pengertian sederhana tentang rialat.

Jika orang mencangkul butuh cangkul sebagai gaman, mengarit butuh arit, memasak butuh wajan, dan menebang butuh parang, maka begitu pula orang yang hendak membersihkan penyakit batin di bulan Ramadhan. Ia juga butuh gaman. Adapun gaman paling ampuh adalah Tilawah Al-Qur’an. Inilah gaman yang terjangkau oleh siapapun dalam berbagai tingkatan batin.

[ Layla IV ]

Susunan bahasa Al-Qur’an tidaklah sembarangan. Ia memang rangkaian huruf-huruf yang berjajar menjadi kata, kalimat, surat, dan juz. Ia memang mengandung informasi historis, nilai moral, petunjuk sains, hingga aturan hukum. Ia memang kitab suci yang musti dipahami pemeluknya sebagai tuntunan hidup. Namun ia juga menjadi sarana rialat yang mana membacanya dinilai sebagai ibadah, bentuk pengabdian.

Maka, sekedar membaca –tanpa memahami- Al-Qur’an pun memiliki dampak positif yang tak sepele. Sebagaimana kondisi badan akan terpengaruh oleh apa yang masuk ke dalam perut. Maka kondisi jiwapun akan dipengaruhi oleh apa yang masuk ke pandangan mata, pendengaran telinga, maupun terucap oleh lisan.

Di sinilah posisi Tilawah (membaca) Al-Qur’an sebagai penggempur kerak-kerak yang menebal memenuhi dinding-dinding hati. Apalagi bila dilanjutkan dengan poses Tadaarus (mempelajari) dan Tafahhum (memahami) Al-Qur’an.

Jangan terkecoh dengan bualan;

“Buat apa baca-baca Al-Qur’an tapi tak tahu maknanya, percuma!”

Sekali lagi, ini adalah rialat yang tak sekedar menjadi asupan akal tetapi juga pembersih jiwa. Pernyataan pesimis itu keluar dari pemahaman bahwa Al-Qur’an sekedar asupan akal yang tak mengandung nilai magis tingkat tinggi. Memang sangat baik membaca Al-Qur’an disertai upaya memahami dan mengamalkannya. Namun jangan putuskan harapan orang yang baru mampu sekedar membaca, apalagi sampai menghilangkan satu dari tak terbatasnya peran Al-Qur’an yakni; as-Syifa’.

Sebagaimana kisah seorang cucu yang bertanya kepada kakeknya; apa sih gunanya membaca Al-Qur’an tanpa tahu maknanya? Si Kakek hanya tersenyum dan menyuruh cucunya itu mengambil keranjang bambu yang kotor berpasir. “Sana, ambil air di sumur pakai keranjang ini,”

Si cucu menurut. Berkali-kali ia gayung air dalam sumur tapi gagal. Bagaimana bisa benda cair tertampung di keranjang bambu yang tak rapat? Merasa lelah, ia protes kepada kakeknya, “Tidak akan mungkin aku bisa mengambil air dengan keranjang ini, Kek! Dicoba ribuan kalipun percuma!”

“Siapa bilang percuma?” sahut Si Kakek, “Coba sekarang kau lihat keranjang yang tadi kotor itu, bagaimana rupanya sekarang?”

Si Cucu melihat keranjang di tangannya sambil merasa takjub, menyadari bahwa keranjang bambu itu sudah bersih mengkilap. Akhirnya ia paham, inilah jawaban kakeknya atas pertanyaan yang ia ajukan tadi.

“Jadi bersih, Kek.”

[ Layla V ]

Untuk orang yang merasa begitu banyak melakukan kedurhakaan dalam sejarah hidupnya, tentu mengharap pahala adalah hal yang muluk. Baginya, mendapat ampunan saja sudah menjadi untung besar tak terkira.

Iri, dengki, sombong, sok kuasa, menyakiti hati, melalimi hak, merampas, dan banyak lagi dosa sosial yang ditorehkan. Belum lagi kedurhakaan vertikal sebab kalahnya diri terhadap hawa nafsu, tak terhitung banyaknya. Ibarat tetes-tetes air, mungkin saja sudah jadi samudera. Ibarat butir-butir pasir, mungkin saja sudah setinggi Himalaya.

Namun itu semua menjadi tak berarti di hadapan kemahapengampunan Gusti Allah yang luasnya tak terkira. Maha Samudera yang mampu menelan semua samudera dosa. Bukan untuk disepelekan, bukan untuk dijadikan alasan macam-macam, tapi untuk menjadi pegangan harapan bagi jiwa-jiwa yang kadung berlumur dosa.

Maka Ramadhan adalah momen tepat untuk membersihkan rekam jejak nista itu. Mengobati berbagai penyakit batin dan mengupayakan kesehatan yang komplit; jiwa dan raga.

Setan adalah potensi keburukan yang mengalir di urat nadi, ia terbelenggu di bulan ini oleh penjara puasa pembatasan makan dan minum. Maka ia tak bisa menggoda, potensi itu tak berkembang biak. Jikapun si diri tetap malas beribadah dan tetap saja durhaka, maka itulah kelakuan asli yang sebenarnya. Sehingga Ramadhan menjadi momen pas untuk mengukur pencapaian diri, seberapa kuat mengendalikan nafsu, atau lebih ekstrim; sudah seberapa kalah kita dibantai hawa nafsu kita sendiri.

Sebagai pendosa, pundi-pundi pahala agaknya terlalu mewah untuk dikejar-kejar. Namun tiga tawaran Gusti Allah dalam bulan Ramadhan yang Baginda Rasulullah sampaikan agaknya harus kita gapai betul-betul. Yakni pertama, Rahmah di sepertiga pertama, kasih sayang khusus dari Allah kepada setiap makhluk yang mau menyadari kelemahan diri. Kedua, Maghfirah di sepertiga kedua, berupa ampunan bagi siapapun yang mau kembali membenahi diri.

Dan ketiga, ‘Itqun Min an-Naar di sepertiga terakhir, bentuk pembebasan dari segala murka-Nya, karena betapa percuma berbagai pendekatan ibadah namun ternyata itu palsu, hanya topeng, gincu, dan sarat hawa nafsu, sehingga justru mengundang murka-Nya.

Tiga hal inilah yang secara ndepe-ndepe kita harap dan upayakan. Ibarat pengemis, tetaplah menunduk dan mengiba, jangan pernah beranjak dari gerbang hingga ia terbuka dan Sang Maharaja menyambut dengan cinta-Nya.

~
Kultum Ba’da Tarawih | Langgar Abu Dhabi Krapyak Yogyakarta | Layalu Ramadhan 1435

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya