Puasa dan Bilik Suara

Kalau pilihan orang tak berpengaruh macam saya sudah dikoar-koarkan jauh sebelum hari pencoblosan, lalu apa gunanya bilik suara yang sok tertutup itu?

Bukankah tiga sisi seng, kayu, plastik, atau kardus dengan kerapatan dan tinggi tertentu itu dibuat agar orang lain tidak ngintip pilihan kita? Nah, kalau pilihan kita sudah tak lagi rahasia, mending nyoblos buka-bukaan dong. Bagikan kertas suara satu-satu persepuluh orang, lalu instruksikan; “Cobloooos, grak!” Nah malah irit waktu, irit fasilitas, dan tentunya meriah. Lha iya to?

Adalah suatu hal yang aneh memojokkan orang kayak saya untuk mendeklarasikan siapa yang mau dipilih. Diam dianggap tak peduli nasib bangsa, puji sana-sini disebut penjilat, cela satu-dua dibilang sok suci, ikut kampanye kesana-kemari diteriaki munafik. Waduh! Lha iki piye?

Ini hanya pembelaan orang macam saya yang –menurut orang lain- nggak jelas mau pilih siapa. Satu atau dua, tak satupun atau malah dua-duanya, itu adalah kerahasiaan personal yang dijamin undang-undang.

“Angkat satu jarimu!” – “Tebar salam dua jari!” – “Pasang angka di foto profilmu!” dan anjuran-anjuran semacamnya di media sosial seolah menyeret-nyeret privasi ke pusaran hiruk pikuk kampanye. Semua orang seakan-akan wajib jadi jurkam. Kader partai bukan, timses pun bukan, tokoh berpengaruh juga sama sekali bukan. Parahnya, paham rekam jejak dan visi-misi juga enggak. Lha iki piye?

Padahal posisi netral –maksudnya non-kampanye- sangatlah enak. Saya bisa memuji keunggulan masing-masing calon, kelebihan-kelebihan yang bisa jadi modal perbaikan kolektif. Sekaligus mengkritisi kekurangan masing-masing kandidat, ya tentu bukan aib-aib pribadi yang tak berkaitan dengan fungsi presidensiil. Hal ini sebagaimana ajaran guru-guru saya; “Khudz maa shofa wa da’ maa kadar; ambil apa yang bersih dan tinggalkan apa yang kotor.”

Nah, sikap mengumum-umumkan pilihan pribadi pasti punya niat untuk mempengaruhi orang lain. Ini lho saya pilih Jokowi, maka kalian wahai para pengikutku, yuk coblos nomor 2! Ini lho avatarku pakai gambar Garuda Merah, maka wahai umatku ayo pilih Prabowo! Hai kawan-kawan, teman SD, teman dugem, mantan-mantan, sanak sedulur, rekan kerja, pelanggan semua, ini lho I Stand On The True Side, ayo ikutan! Ya semacam itulah, persuasif.

Nah kalau sudah begitu, apa gunanya bilik suara dirancang rapat begitu rupa? Mbok yao dibikin transparan saja, toh para pemilih nggak bakal ganti celana dalam di bilik sempit itu. Atau dibikin kayak contoh di atas; coblos bareng-bareng, malah enak, semua jadi saksi.

KABAR GEMBIRAA UNTUK KITA SEMUA! SEKARANG KULIT MANGGIS ADA EKSTRAKNYAAA! GOOOD!
*iklan geje lewat*

Istilah ‘Jurdil Luber’ kayaknya tak lagi sepopuler dulu. Akronim ini menerangkan bagaimana memilih pemimpin, baik dari segi karakter maupun teknis pemilihan. ‘Jurdil’ berarti ‘jujur dan adil’, jadi kalau mau pilih pemimpin ya pilih yang jujur dan adil. Itu dua hal pokok yang memang musti dipunyai calon pemimpin. Lalu ‘Luber’, artinya ‘langsung, umum, bebas dan rahasia’. Maksudnya, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, bukan perwakilan, secara bebas, bukan paksaan, dan rahasia. Nah, asas pemilu yang terakhir ini kayaknya penyebab mengapa bilik suara musti rapat dan tertutup. Bahkan dahulu bentuk bilik suara kayak WC umum, ditutup korden pula. Mungkin antisipasi barangkali si pemilih mau nyoblos sambil bugil dan joget-joget.

Adanya keinginan untuk menarik suara orang lain adalah faktor yang membuat seseorang berlaku vulgar. Dan hal ini lagi diidap banyak orang. Jika asas kerahasiaan ini dipraktekkan betul-betul, maka ketegangan akan dapat diminimalisasi. Jurkam dan kader partai bakal mensosialisasikan visi-misi dengan lebih optimal, tak sekedar pasang tampang di pohon-pohon dan baliho perempatan.

Nah, hal absurd lain adalah budaya kampanye. Kau akan dicap sebagai simpatisan PDI kalau kau datang kampanye PDI. Di saat yang sama, kau takkan melihat kader PKB meramaikan acara kampanye Golkar. Ini ‘kan aneh! Bukankah ‘kampanye’ berarti memperkenalkan dan mensosialisasikan suatu hal yang dimiliki satu pihak kepada pihak lain? Jadi kalau mau betul-betul kampanye, jurkam PDI mustinya berkoar di hadapan massa PPP, atau sebaliknya. Dan warga negara paling waras adalah ia yang mau hadir kampanye semua partai biar tahu visi-misi masing-masing. Lha iya to?

Yaa mau bagaimana lagi. Ini semua sudah jadi hal lumrah. Tapi saya masih saja geli kalau membayangkan seorang Prabowo masuk bilik suara yang tertutup rapat itu, kemudian keluar sambil salam dua jari. Atau Jokowi usak-usek di dalam bilik suara misterius lalu keluar sambil ngacung satu jari dan teriak; “Aku emmmoh jadi presideeeeen!”

Lha nek dituduh-tuduhke ngono njur bilik suara kui opo fungsine, Bos?

Ini bukan masa orde baru yang mengharuskan satu kalangan nyoblos warna tertentu. Sudah enam belas tahun berlalu tapi kok berekspresi di kertas suara saja masih malu-malu. Eh, jangan-jangan bilik seng tertutup itu fungsinya kayak topi Magneto yang bisa memblokir semua pengaruh hipnotis, sadapan dan brainwashing. Sehingga semua orang yang tadinya ngebet milih calon anu jadi tercerahkan ketika di bilik suara. Ibarat resonansor gelombang-gelombang hidayah ilahi! Wah kereeeeeeeeen!

Sekali lagi, ini hanya pembelaan saya yang bukan orang berpengaruh dalam melihat tingkah polah kawan-kawan yang saling tebar pengaruh. Lihat saja, di masa tenang beberapa hari ini, meskipun para capres dan jurkam dilarang kampanye di media, tetap saja para ‘orang berpengaruh dadakan’ itu terus-terusan kampanye.

Tapi kita ‘kan harus menyuarakan kebenaran? Betul memang, tapi apa musti sambil kampanye? Kau bisa menginformasikan hitam rekam jejak Prabowo tanpa harus mengarahkan pilihan ke Jokowi. Kau pun silakan memuji kesederhanaan Jokowi tanpa melepaskan pilihan dari Prabowo. Gitu ‘kan enak.

Bagi semua juru kampanye dadakan, buat beberapa hari sampai 9 Juli besok cobalah puasa kampanye dulu. Kontemplasikan semua pengetahuan yang kau serap dari berbagai sumber tak jelas itu dengan setenang mungkin. Olah berbagai potensi positif dan negatif capres itu dengan kondisi makro maupun mikro bangsa saat ini. Bagi saudara-saudaraku umat Islam, agaknya momen bulan puasa ini menjadi saat istimewa untuk mohon petunjuk kepada Sang Kuasa melalui istikharah.

Kalau masih bimbang, padahal kau betul-betul menganggap sosok presiden dan berbagai tetek bengek pemerintahan ini penting bagi kehidupanmu, ya mintalah dipilihkan ‘jodoh’ yang paling tepat untukmu kepada-Nya. Masih ada beberapa malam untuk melakukan ritual ini. Percayalah, Dia pasti akan menjawab tanyamu, dan hanya kejujuranmu sendiri yang bisa menafsirkannya.

~

“Ya Allah, aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Kumohon ketentuan dari-Mu dengan Kuasa-Mu. Kumohon dari-Mu akan limpah Karunia-Mu. Sungguh Engkau Mahakuasa sedangkan aku sama sekali tak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui sedangkan aku tak mengetahui. Engkau Mahatahu segala yang ghaib.

Ya Allah, seandainya Engkau mengetahui bahwasanya urusan ini (masukin nama Wowo Tata atau Wiwi Lala) adalah baik bagiku, agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku, takdirkanlah ia bagiku dan permudahkanlah serta berkatilah bagiku padanya. Dan seandainya Engkau mengetahui bahwa urusan ini mendatangkan keburukan bagiku pada agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku, jauhkanlah aku daripadanya dan takdirkanlah yang terbaik bagiku kemudian ridhailah aku dengannya.”

~

Kalau ternyata yang paling cocok bagi Si Hatta menurut-Nya adalah Jokowi, ya Si Hatta baiknya pilih Jokowi. Kalau memang yang paling cocok bagi Si Kalla menurut-Nya adalah Prabowo, ya Si Kalla tepat pilih Prabowo. Hasilnya siapa yang bakal jadi ya berdasarkan akumulasi kecocokan yang njelimet. Dan Tuhan pasti punya perhitungan statistik-Nya sendiri terhadap hal itu. Metode pencoblosan ini mungkin lebih merepotkan para malaikat ketimbang metode musyawarah-mufakat orang-orang waskita. Hehe.

Nah, istikharah itu kalau mau pilih menurut-Nya lho ya, bukan menurutku atau menurutmu. Ya ini sih kalau masih percaya ‘begituan’ dan mau ‘repot-repot’ shalat segala. Semoga saja rialat rutin berupa puasa sesiangan dan ritual malam kita yang seadanya ini bisa punya daya pancing ilham dari Tuhan di bilik suara Rabu nanti.

Oiya satu lagi. Bilik suara hanya pantas digunakan orang-orang absurd nggak jelas macam saya dan mereka yang bersikap netral selama masa kampanye. Sebagaimana puasa yang menjadi ibadah tak kasat mata, pilihan kami pun sama, tak nampak, tak vulgar bahenol. Berhubung pilihanmu tak lagi rahasia, besok pas nyoblos tak usahlah pakai bilik suara. Langsung saja ambil kertasnya, angkat tinggi-tinggi di hadapan saksi, dan.. srak-srak-srak, sobek-sobek! Hehehe.

Selamat berpuasa dan selamat menikmati buai demokrasi dengan cara voting senegara! : )
~
Kandang Menjangan, H-3 Pilpres 2014

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya