Awalnya
aku agak ogah-ogahan ketika diajak gowes ke SMA Teladan oleh Adam alias
Gus Trijipi ini. Selain karena sudah jam sepuluh siang, aku juga
khawatir kelenger di jalan. Maklum, masih trauma ambruk sebab kecapekan.
Tapi tak apalah, kalaupun kelenger toh ada temen yang siap repot
nggotong, pikirku.
Di SMA Teladan itu ada sosok gadis idaman Adam. Kupikir di sana dia janjian ketemu, ternyata cuma numpang lewat dan memandangi halaman sekolah yang bersih nan asri itu. Katanya, cukup menghirup udara dimana pujaannya bernapas saja sudah cukup melerai rindu. Mungkin dia terinspirasi dari tingkah Mbah Umbu Landu. Halah halah halaah, begitulah asmara.
“Itu gedung apa, Zi?” tanya Adam sambil menunjuk gedung di seberang SMA.
“Masa’ gak tau?! Itu museum nasional Jogja, ah katro!” sahutku.
“Isinya apa?” lanjutnya.
“Embuh,” jawabku.
“Masa’ gak tau?! Ah Katro! Yuk kesana!” balas Adam mengejek.
Meskipun aku sering lewat gedung ini kalau pas berburu barang murah di Pasar Klithikan, jujur aku belum pernah masuk ke dalamnya. Dan ketika kami beristirahat di bawah beringin rindang depan museum, ada spanduk menarik terpampang:
“Pameran Tunggal Jupri Abdullah
DI ANTARA MUTIARA: ATAS NAMA INDONESIA”
Siapa Japri Abdullah? Aku langsung mikir. Oh iya! Dia itu perupa kelahiran 1963 asal Pasuruan yang pernah dapat rekor MURI atas karyanya berupa kaligrafi terkecil. Dia juga pernah dikabarkan melukis dengan media lumpur Lapindo. Oke, kami putuskan untuk masuk ke dalam.
Di lantai satu, kami melihat jejeran kaligrafi keren! Kebanyakan lukisan
tertulis satu kalimat penting yang menjadi inti ajaran agama Islam,
yakni ‘basmalah’. Di situ juga kami temui satu karya bertulis kalimat
yang menjadi tema pameran ini. Yakni seonggok dipan kayu dengan
kaki-kaki yang miring, dan tertoreh di belakangnya; “Atas nama
Indonesia, right or wrong is my country.”
Ada juga karya bertema “Pertemuan”. Di situ tertoreh lukisan kaligrafi beraksara Jawa, China, dan Arab. Multikultural! Aku jadi terbayang romantisme zaman Walisongo. Anggun.
Lalu naik ke lantai dua. Aku tercengang bukan main. Ada lukisan sosok-sosok yang aku kagumi. Pertama, lukisan Kiai Hamid Pasuruan, seorang ulama kharismatis yang sangat masyhur kewaliannya di kalangan warga Nahdliyyin. Kisah-kisah keramat dan istiqamah beliau banyak beredar di lingkungan santri. Kedua, Syekh Arifin bin Ali bin Hasan, sosok ulama kharismatis di Jawa Timur. Dua tokoh ini disebut dalam ucapan terima kasih Jupri Abdullah, bersandingan dengan nama Rasulullah dan Sayyid Ahmad bin Ali Bafaqih.
Ketiga, ada lukisan Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Kitab karangannya, Syarah Hadits Jibril, pernah dikaji di Giren Tegal. Bahasanya gamblang dan susunannya rapi. Rencananya mau kuringkas sebagai kurikulum pribadi untuk pengajaran mapel agama di sekolah kelak.
Nah, sosok ini baru saja kuobrolkan dengan Mukid. Kemarin Mukid sedang mencari tasbih kaukah buat gaya-gayaan. Kemudian aku ceritakan satu kisah tentang Habib Zein. Suatu hari, ada seorang dermawan menawaran hadiah kepada Habib Zein, berupa seuntai tasbih mutiara, asalkan beliau mau menggunakannya untuk berzikir. Dengan halus, Habib Zein menolak. Apa alasannya? Beliau khawatir ketika berzikir tidak mengingat Allah, justru terpukau dengan tasbihnya. Nah, hari ini kok ndilalah aku ‘ketemu’ Habib Zein di pameran lukisan. Lahu al-Faatihah!
Naik ke lantai tiga. Suasana berubhah. Kami disambut lukisan wajah lelaki yang mirip Iwan Fals. Ia nampak sedang merokok nikmat. Lukisan ini menjadi maskot dalam pameran ini, judulnya; “Membeli Kembali Indonesia”. Terpajang juga lukisan-lukisan self-potrait para tokoh. Ada Sutiyoso, Moeldoko, Gus Dur, Soeharto, Fidel Castro, hingga Joko Widodo.
Di lantai tiga ini juga dipajang karya-karya Jupri Abdullah yang mendapat catatan rekor MURI, yakni kaligrafi-kaligrafi terkecil yang hanya bisa kita nikmati dengan kaca pembesar. Beberapa lukisan bisa kau lihat dalam postinganku ini. Di sana bisa kau lihat lukisan abstrak gedung-gedung bertingkat dan semak belantara yang digores dengan bentuk kubah masjid, seakan menyatakan bahwa di manapun tempatmu, itulah tempat sujud bagi hatimu. Ada pula lukisan telapak kaki Baginda Nabi Muhammad, lengkap dengan stempel kenabian. Artinya, seberat dan sebesar apapun perjuanganmu saat ini, kau hanyalah debu-debu yang menempel di telapak kaki beliau. Shalla Allahu ‘ala Muhammad <3
Aku sangat merekomendasikan pameran ini untuk teman-teman yang sedang selo di Jogja. Khususnya santri-santri Krapyak. Seperti kata Adam selepas keluar dari gedung pameran; karya seni mampu menyegarkan jiwa. Oiya, dua foto di pojok kiri abaikan saja. Itu foto orang gila, hahaha!
~
Pameran Tunggal Jupri Abdullah
“DI ANTARA MUTIARA: ATAS NAMA INDONESIA”
Jadwal pameran: 21-27 Februari 2015 pukul 09.00 – 20.00
Tempat: Lantai 1 – 3 Jogja National Museum, Jl. Prof Ki Amri Yahya No.1 Yogyakarta (Sebelah utara SMA Teladan, sebelah selatan Pasar Klithikan)
Jogja, 25 Februari 2015
Di SMA Teladan itu ada sosok gadis idaman Adam. Kupikir di sana dia janjian ketemu, ternyata cuma numpang lewat dan memandangi halaman sekolah yang bersih nan asri itu. Katanya, cukup menghirup udara dimana pujaannya bernapas saja sudah cukup melerai rindu. Mungkin dia terinspirasi dari tingkah Mbah Umbu Landu. Halah halah halaah, begitulah asmara.
“Itu gedung apa, Zi?” tanya Adam sambil menunjuk gedung di seberang SMA.
“Masa’ gak tau?! Itu museum nasional Jogja, ah katro!” sahutku.
“Isinya apa?” lanjutnya.
“Embuh,” jawabku.
“Masa’ gak tau?! Ah Katro! Yuk kesana!” balas Adam mengejek.
Meskipun aku sering lewat gedung ini kalau pas berburu barang murah di Pasar Klithikan, jujur aku belum pernah masuk ke dalamnya. Dan ketika kami beristirahat di bawah beringin rindang depan museum, ada spanduk menarik terpampang:
“Pameran Tunggal Jupri Abdullah
DI ANTARA MUTIARA: ATAS NAMA INDONESIA”
Siapa Japri Abdullah? Aku langsung mikir. Oh iya! Dia itu perupa kelahiran 1963 asal Pasuruan yang pernah dapat rekor MURI atas karyanya berupa kaligrafi terkecil. Dia juga pernah dikabarkan melukis dengan media lumpur Lapindo. Oke, kami putuskan untuk masuk ke dalam.
![]() |
Pameran Tunggal Jupri Abdullah di Jogja National Museum |
Ada juga karya bertema “Pertemuan”. Di situ tertoreh lukisan kaligrafi beraksara Jawa, China, dan Arab. Multikultural! Aku jadi terbayang romantisme zaman Walisongo. Anggun.
Lalu naik ke lantai dua. Aku tercengang bukan main. Ada lukisan sosok-sosok yang aku kagumi. Pertama, lukisan Kiai Hamid Pasuruan, seorang ulama kharismatis yang sangat masyhur kewaliannya di kalangan warga Nahdliyyin. Kisah-kisah keramat dan istiqamah beliau banyak beredar di lingkungan santri. Kedua, Syekh Arifin bin Ali bin Hasan, sosok ulama kharismatis di Jawa Timur. Dua tokoh ini disebut dalam ucapan terima kasih Jupri Abdullah, bersandingan dengan nama Rasulullah dan Sayyid Ahmad bin Ali Bafaqih.
Ketiga, ada lukisan Habib Zein bin Ibrahim bin Smith. Kitab karangannya, Syarah Hadits Jibril, pernah dikaji di Giren Tegal. Bahasanya gamblang dan susunannya rapi. Rencananya mau kuringkas sebagai kurikulum pribadi untuk pengajaran mapel agama di sekolah kelak.
Nah, sosok ini baru saja kuobrolkan dengan Mukid. Kemarin Mukid sedang mencari tasbih kaukah buat gaya-gayaan. Kemudian aku ceritakan satu kisah tentang Habib Zein. Suatu hari, ada seorang dermawan menawaran hadiah kepada Habib Zein, berupa seuntai tasbih mutiara, asalkan beliau mau menggunakannya untuk berzikir. Dengan halus, Habib Zein menolak. Apa alasannya? Beliau khawatir ketika berzikir tidak mengingat Allah, justru terpukau dengan tasbihnya. Nah, hari ini kok ndilalah aku ‘ketemu’ Habib Zein di pameran lukisan. Lahu al-Faatihah!
Naik ke lantai tiga. Suasana berubhah. Kami disambut lukisan wajah lelaki yang mirip Iwan Fals. Ia nampak sedang merokok nikmat. Lukisan ini menjadi maskot dalam pameran ini, judulnya; “Membeli Kembali Indonesia”. Terpajang juga lukisan-lukisan self-potrait para tokoh. Ada Sutiyoso, Moeldoko, Gus Dur, Soeharto, Fidel Castro, hingga Joko Widodo.
Di lantai tiga ini juga dipajang karya-karya Jupri Abdullah yang mendapat catatan rekor MURI, yakni kaligrafi-kaligrafi terkecil yang hanya bisa kita nikmati dengan kaca pembesar. Beberapa lukisan bisa kau lihat dalam postinganku ini. Di sana bisa kau lihat lukisan abstrak gedung-gedung bertingkat dan semak belantara yang digores dengan bentuk kubah masjid, seakan menyatakan bahwa di manapun tempatmu, itulah tempat sujud bagi hatimu. Ada pula lukisan telapak kaki Baginda Nabi Muhammad, lengkap dengan stempel kenabian. Artinya, seberat dan sebesar apapun perjuanganmu saat ini, kau hanyalah debu-debu yang menempel di telapak kaki beliau. Shalla Allahu ‘ala Muhammad <3
Aku sangat merekomendasikan pameran ini untuk teman-teman yang sedang selo di Jogja. Khususnya santri-santri Krapyak. Seperti kata Adam selepas keluar dari gedung pameran; karya seni mampu menyegarkan jiwa. Oiya, dua foto di pojok kiri abaikan saja. Itu foto orang gila, hahaha!
~
Pameran Tunggal Jupri Abdullah
“DI ANTARA MUTIARA: ATAS NAMA INDONESIA”
Jadwal pameran: 21-27 Februari 2015 pukul 09.00 – 20.00
Tempat: Lantai 1 – 3 Jogja National Museum, Jl. Prof Ki Amri Yahya No.1 Yogyakarta (Sebelah utara SMA Teladan, sebelah selatan Pasar Klithikan)
Jogja, 25 Februari 2015