Mbok Haleluya

Malioboro di Ahad pagi selalu saja menyenangkan. Ya setidaknya daripada nyungsep di pojok kamar. Kawasan Nol Kilometer nampak ricuh pagi ini, suara petasan meledak-ledak dari arah pelataran Benteng Vrederburgh. Ratusan orang berbusana khas pejuang kemerdekaan, mereka bertaburan kesana-kemari bagai anai-anai disapu badai. Ya, mereka sedang memperingati sekaligus kilas balik Serangan Oemoem Satu Maret 1949.

Dari ringroad selatan, pedal sepeda kugowes ke arah Jalan Parangtritis. Di Akademi Teknologi Kulit, puluhan siswa karate sedang ujian, mereka berdiri di hadapan balok-balok kayu, mulut-mulut mereka berbunyi seperti suara kompresor, pssssssssssss, lalu mereka menghajar balok-balok itu dengan tangan kosong. Praaak! Ada yang berhasil mematahkan kayunya, tapi kebanyakan meringis kebelet.

Lurus terus sampai pojok benteng wetan. Geliat jual beli sudah mulai bikin macet jalan Pasar Prawirotaman. Rasanya, kegigihan dan semangat para pejuang pasar itu menular padaku juga. Lanjut ke perempatan Sayidan, banyak kujumpai kawan-kawan penggowes dengan berbagai model sepedanya. Ada rombongan penggowes onthel tua lengkap dengan atribut klasiknya. Ada pula rentetan anak-anak muda dengan sepeda jerapah yang tingginya nyundul langit. Sepeda macam ini pasti sangat berguna ketika mereka melewati pohon mangga atau rambutan.

Terus melewati Jalan Mataram dan sampailah di pasar terpanjang sejagat raya; Malioboro. Kuputuskan beristirahat di ujung Malioboro sebelah utara, dekat stasiun Tugu. Setelah memarkir sepeda, iseng-iseng kusapa nenek penjual rokok di bangku taman. Rambutnya putih, berwajah ceria, berkaos dan celana nggantung.

“Wah rame ya, Mbok,” sapaku basa-basi. Ini adalah ungkapan khas orang Jawa. Sudah tahu ramai masih saja ditanyakan, tujuannya ya hanya untuk membuka percakapan.

“Iya Mas. Suka mbalap to, Mas?” sahutnya sambil melongok sepedaku.

“Yaa cuma nggowes biasa Mbok, kalau mbalap sih enggak,” jawabku. Di samping nenek itu, aku duduk meluruskan kaki.

“Ya bagus itu. Daripada nganggur, mending olah raga, biar sehat! Sampean ngerokok nggak Mas?” tanya Si Mbok seakan-akan mau menawarkan dagangannya. Aku yang kebetulan lagi bokek dan memang sedang tidak ngudud pun menggeleng.

“Wah, bagus itu Mas! Kalau bisa nggak usah merokok,” sambungnya. Lhoh Si Mbok ini bagaimana tho. Lewat lelaki paruh baya menhampiri dagangan Si Mbok. Kukira dia mau beli rokok, ternyata hanya pinjam korek lalu pergi. Lewat lagi pria berjaket kulit menyapa Si Mbok.

“Mau ada demo to, Pak?” tanya Si Mbok.

“Enggak ada Mbok. Saya cuma mau cari lauk, hehehe,” jawab pria yang ternyata anggota reserse itu.

Sambil menikmati sebutir pir segar, kuamati orang-oran berlalu lalang. Ada yang sibuk selfie dekat plang Malioboro, ada yang bergandeng mesra pacaran (sama sekali gak ngiri), ada yang melamun di pintu toilet umum menunggu klien.

“Mas,” kata Si Mbok sambil menepuk bahuku, “Saya sebenarnya milih Prabowo lho, tapi kok yang jadi malah Jokowi,” ungkapnya dengan ekspresi sesal. Hampir saja meluncur dari mulutku, “Wah itu bukan urusan saya!” Hehehe.

“Lhah kenapa Si Mbok milih Prabowo?” tanyaku menyelidik.

“Ya begini-begini saya ABRI!” tegasnya lantang. Bagi anak-anak abege ingusan bau kencur kemarin sore mungkin tak tahu apa itu ABRI. ABRI singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang diganti TNI (Tentara Nasional Indonesia).

“Wah, Njenengan ABRI, Mbok?!”

“Suami saya yang ABRI. Tapi sekarang sudah meninggal,” jelasnya.

“Memangnya kalau ABRI musti milih Prabowo, ya Mbok?”

“Yang cocok jadi presiden ya Prabowo. Kalau Jokowi itu nggak ada potongan pemimpin negara, presiden. Potongane Jokowi itu orang gaul. Ya dia punya kelebihan sendiri, tapi nggak cocok jadi presiden.”

“Oooo.”

“Kita juga harus melek sejarah lho, Mas.”

“Gimana maksudnya, Mbok?”

“Waktu abad delapan belas ketika di Jogja masih rame Perang Jawa. Siapa yang menjebak Pangeran Diponegoro sehingga mau diapusi Belanda dan akhirnya diasingkan sampai di Tanah Bugis?”

“Siapa Mbok?”

“Orang Solo. Makanya jane orang Jogja dan Solo itu susah akur, sebabnya ada sejarah seperti itu.”

“Oooo,” lagi-lagi aku melongo. Lumayan juga nih Si Mbok. Lalu ia mulai menjelaskan karakter khas orang-orang Jogja dan Solo. Aku tak mau menyanggah apalagi mendebat, peranku di sini hanya menyimak. Rasanya menyenangkan menyimak nenek ini berkisah, tentang tempat tinggalnya dekat Monjali, suasana Jogja lama, apalagi mengenai masa-masa silamnya. Aku manggut-manggut saja.

“Sampean itu asli sini, Mas?” tanya Si Mbok penasaran.

“Oh, saya dari Tegal, Mbok.”

“Lhaaaah. Kayak kiyek lah!” sahutnya sambil ketawa-ketawa dan menabok-nabok lengan kiriku. Dia bercerita tentang tiga kawan lamanya sesama pengasong di Pulogadung dahulu, mereka berasal dari Tegal. Ia sangat terkenang dengan bahasa ngapak mereka. Oncom adalah makanan khas warteg yang paling ia sukai. Aku sempat loading sejenak, mengingat-ingat bentuk oncom.

Sekitar satu jam kami ngobrol kesana-kemari, ngakak-ngikik bagai sepasang sahabat yang lama tak jumpa. Sambil sesekali menghardik pelancong yang membahayakan diri dengan berfoto di tengah jalan. Selama sejam itu belum sekalipun udengar keluhan tentang dagangan yang tak kunjung laku, sebagaimana laiknya pengasong.

Sejurus kemudian, sesosok bocah lelaki mungil menghampiri kami. Nampaknya Si Mbok sudah kenal bocah itu. Mereka saling menggoda. Lalu, sebagaimana laiknya orang sepuh di hadapan anak-anak, Si Mbok mulai bernyanyi sambil tepuk tangan,

“Puji Tuhan. Kasih Yesus. Haaleeluuyaa.. Haaleeluuyaa..”

Tawa dan kebahagiaan mereka menulariku pagi itu. Aku pun undur diri untuk melanjutkan gowes pulang. Ke arah Kraton, ke Ngasem, terus ke Alun-alun Kidul hingga Krapyak.

“Besok ke sini lagi ya Maaaas!” seru Si Mbok sambil ketawa sumringah.

“Iya Mboook, insya-Allaaaah,” sahutku sambil melambai dan mengayuh sepedaku. Mbungahke tenan.

Si Mbok berkisah
~
Jogja, 1 Maret 2015

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya