Album Perjalanan: Ngaji di Kalibening [Bagian I ~ Sowan]

Seperti biasa, Adam yang masih kuliah pascasarjana di Malang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan selama pulang di Jogja. Tidak seperti Selingkar yang dulu rutin ngumpul diskusi santai tiap Kamis sore, sekarang penDuduk bisa setiap saat berdiskusi. Minimal sebulan sekali kami berkumpul dan ngobrol ngalor ngidul, membincangkan problem riil yang kami hadapi saat ini.

Hari itu Adam menyambangi kosanku di wetan Kandang Menjangan. Kami ngobrol ngalor ngidul, termasuk tentang aplikasi pendidikan efektif yang kebetulan menjadi studinya sekaligus problem yang dihadapinya di rumah. Obrolan sampai pada komunitas belajar legendaris di Salatiga yang –konon- sempat menjadi salah satu dari tujuh komunitas ajaib di dunia.

“Qoryah Thoyyibah? Itu sih aku juga tahu, sudah terkenal. Eh, di mana tempatnya to?” tanya Adam.

“Salatiga, katanya sih Desa Kalibening,” jawabku.

“Ayo kesana! Mumpung ada kesempatan. Kita ajak juga temen-temen yang mau ikut.”

“Mangkaat!”

Selasa siang (03/3) kami berkumpul di Desa Drono, Sleman. Butuh empat puluh menit dari Krapyak menuju kampung Drono, hujan deras mengguyur Jogja bagian utara beserta penghuninya. Kami basah kuyup namun tetap ganteng dan bahagia.

Jam dua siang, Adam, Syafak, Mukid, Sutri, Salis, dan aku siap berangkat. Jalur yang kami tempuh dari Jalan Magelang via Kopeng sampai ke Salatiga memakan waktu tiga jam perjalanan. Selama perjalanan, kami membincangkan komunitas belajar yang akan kami kunjungi serta menata apa saja yang ingin kami timba dari sana.

“Ada tiga hal yang bakal kita angkut dari Kalibening,” ucapku.

“Opo wae?” Salis bertanya.

“Pertama, konsep filosofis Qoryah Thoyyibah. Ini nanti kita obrolkan bareng Pak Ahmad Bahruddin, pendirinya. Kedua, kita gali informasi tentang tata manajerial di Qoryah Thoyyibah, yakni tentang bagaimana pengelolaan komunitasnya, pembiayaan, hubungan dengan dinas pendidikan, penyetaraan dan semacamnya. Nanti kita ketemu sama Mbak Nurul untuk ngobrolin itu. Dan ketiga..”

“Plastik! Aku njaluk plastik!” seru Sutri di jok belakang memotong kalimatku. Lalu bertumpah ruahlah isi perutnya di sekantong plastik. Muntah dia. Mungkin gara-gara belum makan siang dan masuk angin. Atau mungkin gara-gara overdosis kangen dengan pacarnya.

“Yang ketiga,” sambungku, “Kita amati suasana belajar dan aplikasi praktis di Qoryah Thoyyibah. Nah nanti kita bisa lihat-lihat secara langsung bagaimana temen-temen di sana belajar. Kita minta tolong sama Mbak Fina nanti.”

“Sip! Biar nanti bisa diterapkan di sini ya,” sahut Adam sang sopir, merujuk pada yayasan pesantren panti asuhan yang dikelolanya.

Kami mampir di Kopeng untuk menenangkan gejolak lambung Sutri, sekalian shalat Ashar. Tepatnya di sebuah masjid asri tepat di sebelah gereja. Sesampai di alun-alun Salatiga, pas sebelum Maghrib, kami beristirahat di Masjid Raya Darul Amal sambil mengusir angin-angin di tubuh pemuda kekar satu ini.

Perjalanan ke Salatiga
Tanggap Tantangan

Diantar Kafi, mahasiswa IAIN Salatiga, kami menuju Qoryah Thoyyibah, Desa Kalibening Kecamatan Tingkir. Sekitar 4 kilometer dari pusat kota, tepat saat Isya kami sampai di sana. Halaman dan rumah-rumah masih basah bekas hujan deras. Kami disambut oleh Fina, salah seorang pengabdi di Qoryah Thoyyibah sekaligus wasilah kami bisa sampai di tempat itu.

Kami diantar masuk ke rumah Pak Ahmad Bahruddin, pendiri dan kepala Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah Salatiga, dan disambut dengan hangat di sana. Suguhan kopi hitam makin menghangatkan kami yang kedinginan. Di ruang tamu, berjajar tropi dan jajaran buku-buku karya anak-anak Qoryah Thoyyibah. Terpampang pula foto seorang tokoh progresif asal Brasil yang tak asing di dunia pendidikan, sosok yang berjuang dengan prinsip pedagogi pembebasannya, Paulo Freire!

Tentang Pak Ahmad Bahruddin yang gondrong dan keren ini, kami sudah banyak tahu dan tidak asing lagi. Ketika muncul di Kick Andy beberapa tahun lalu, beliau mengungkapkan ide-ide tentang pendidikan yang tak biasa. Menurut Fina, sejak beberapa hari lalu banyak tamu tak berhasil ketemu Pak Din –sapaan akrab beliau- yang sibuk. Maka kami beruntung bisa ngobrol dengan Pak Din hingga tiga jam lebih malam itu.

“Sudah lama kami ingin sowan kemari, Pak,” ungkapku membuka percakapan, “Namun baru kali ini bisa datang. Kebetulan di antara kami, Mas Adam, Mas Syafak dan Mas Salis ini, diamanahi mengelola lembaga pendidikan di tempatnya masing-masing. Maka malam ini kami ingin ngaji sama Njenengan tentang pendidikan.”

“Semuanya berangkat dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk berpikir. Hayawanun Nathiq. Maka pendidikan yang diterapkan kepada manusia seharusnya ya memperlakukannya sebagai makhluk berpikir yang merdeka,” terang Pak Din.

Kemudian beliau mengemukakan gagasan-gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan. Bahwa sesungguhnya manusia berhak belajar tentang apa yang ingin diketahuinya, bukan dipaksa untuk mengetahui dan mempelajari apa yang menjadi tren pasar. Itu sama saja dengan penindasan.

Maka di Qoryah Thoyyibah, anak-anak dibebaskan mempelajari apa saja yang mereka inginkan. Mereka tidak disuapi dengan tuangan-tuangan pengetahuan oleh pengajar. Bahkan di tiap kelas Qoryah Thoyyibah tidak ada pengajar!

“Di sini tidak ada guru sebagai pengajar, adanya pendamping. Tugasnya ya mendampingi anak-anak mempelajari apa yang menjadi minat mereka, menyalurkan potensi dan bakat mereka, serta mengapresiasi karya-karya mereka. Posisi pendamping bukan sebagai pembimbing, tapi lebih sebagai pembombong (membuat bahagia). Kedudukan pendamping dengan anak-anak ya paling tinggi sejajar, tidak bisa melebihi itu,” terang Pak Din.

“Lalu darimana anak-anak menggali ilmu yang ingin mereka pelajari, Pak?” tanyaku.

“Ya dari sumber-sumber belajar yang bisa diakses. Kalau materi-materi pelajaran bisa diakses di buku-buku dan internet. Untuk skill bisa datang ke orang-orang yang berkecimpung di bidang-bidang tertentu, atau kami datangkan ke sini. Begitulah fungsi pendamping, yakni sebagai fasilitator. Tugasnya memfasilitasi anak-anak untuk mengasah bakatnya,” jawab Pak Din, “Oiya, di kampus masih ada mata kuliah Strategi dan Metode Pembelajaran?”

“Masih, Pak.”

“Wah, seharusnya diubah jadi Strategi dan Metode Fasilitasi. Karena memfasilitasi berbeda dengan mengajar. Jadi, mahasiswa mustinya tidak berlatih bagaimana gaya yang menarik untuk menyuapi siswa, tapi lebih kepada penempaan diri sebagai pendamping,” tukas Pak Din.

Beliau memang sangat menekankan konsep pendampingan atau fasilitasi ini. Setahuku, Pak Din tak begitu sepakat dengan gerakan Indonesia Mengajar a la Pak Anies Baswedan, semestinya ya ‘Indonesia Belajar’. Menurut Pak Din, program yang dikembangkan Pak Anies –dengan segala hormat atas ketulusan niatnya- sama sekali tidak mengubah sistem, tidak mengubah kurikulum, tidak mengubah apa yang selama ini menjadi problem mendasar dalam pendidikan. Tidak ada kesempatan bagi anak untuk berkembang mengolah potensinya. Spiritnya masih memintarkan mereka yang (dianggap) bodoh.

Belum lagi masalah ukuran pencapaian yang diseragamkan secara nasional (standarisasi). Padahal setiap sekolah di masing-masing kampung memiliki karakter anak didik yang berbeda-beda. Tak bisa diseragamkan dengan standar baku tertentu.

“Di seluruh Indonesia,” kata Pak Din, “Ada ribuan desa. Dan rata-rata ada dua sekolah di setiap desa. Sedangkan antara desa yang satu dengan desa lainnya memiliki perbedaan budaya. Masa’ mau diseragamkan? Muatan lokal pun yang menentukan kabupaten, bukan berbasis desa. Itupun sekolah masih menjadi tembok tebal. Ketika siswa masuk gedung sekolahan, ia seakan-akan masuk ke alam lain yang terpisah dari desanya. Ia diajari bermacam-macam wawasan dan tak sedikitpun diarahkan untuk mengenal desanya. Siswa jadi tercerabut dari akarnya.”

“Jadi tiap sekolah seharusnya melek lingkungan sekitar, begitu Pak?”

“Ya harus! Contohnya, di Kalibening sini ada mata air Belik Luwing. Maka anak-anak kami arahkan untuk mengenal mata air itu. Kemudian memahami fungsinya bagi masyarakat. Lalu menelaah ada problem apa di sana. Akhirnya bersama-sama mengupayakan solusinya, atau setidaknya membantu warga untuk mengatasinya. Itu ‘kan namanya melek lingkungan. Kita tidak mau menjadi pembatas antara anak-anak di dalam dengan realitas di luar.”

Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah memang menerapkan kurikulum berbasis kebutuhan. Apa yang dibutuhkan siswa, itulah yang dipelajari. Apa yang menjadi problem di sekitar, itulah yang diselami. Aku jadi teringat tiga hambatan mendasar dalam manajemen kurikulum di sekolah-sekolah formal. Pertama, ketidaksinambungan pendidik di lapangan dengan penentu kebijakan, apalagi jika sudah dikaitkan dengan pengaruh politik. Kedua, keterbatasan sarana, dan ketiga, lemahnya pengawasan guru sehingga menjadikan tingkat kedisiplinan rendah.

Nah, tiga problem mendasar ini berhasil dieliminasi di Qoryah Thoyyibah. Tidak akan ada ketimpangan antara penentu kebijakan dan pelaksana lapangan, karena pendamping beserta anak-anak menjadi penentu kebijakan bagi kurikulumnya sendiri. Sarana dan prasarana tak menjadi masalah pokok, itu semua tersedia bebas, tinggal ada kemauan mencari atau tidak. Pengawasan guru pun menjadi hal yang mudah, karena di Qoryah Thoyyibah, pendamping dan anak-anak menjadi pengawas bagi kelas dan dirinya sendiri.

“Apakah tidak terjadi gesekan dengan sekolah-sekolah formal sekitar sini, Pak? Atau mungkin ada tawaran dari pemerintah agar komunitas ini dijadikan bentuk sekolah formal?” tanya Adam.

“Kita gali kembali, apa tujuan sekolah? Kalau tujuannya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menempa karakter kepribadian mereka, komunitas ini terbukti berhasil. Justru sekolah formal yang masih dipertanyakan keberhasilannya.”

Lalu Pak Din menyinggung tentang pemaksaan penyeragaman di sekolah formal. Mulai dari pakaian hingga materi yang dituangkan. Semua ‘pemaksaan’ itu menjadi model penjajahan terselubung. Apalagi pada saat ujian nasional.

“Siswa-siswi disuruh mengerjakan soal-soal ujian, diawasi dengan ketat. Belum cukup sampai situ, pengawasnya pun diawasi lagi oleh aparat. Hahaha. Itu semua gamblang menggambarkan ketidakberesan mendasar. Terus menerus siswa diperlakukan seperti itu, hakekatnya menjadi internalisasi kejahatan pada diri mereka. Maka wajar saja jika muncul pelampiasan-pelampiasan berupa kenakalan remaja yang mengerikan, ketika lulus pun mereka mengekspresikan kegembiraan bagai keluar dari penjara, konvoi, corat-coret, pesta, hura-hura. Itu bukan salah mereka, tapi sistem yang membentuk seperti itu, iya ‘kan?” sesal Pak Din, kami mengiyakan.

“Tapi di sini ada ujian juga, Pak?” tanya Salis.

“Tidak ada. Tolak ukur yang kami gunakan di sini adalah karya,” ujar Pak Din. “Berangkat dari pemahaman bahwa komunitas belajar harus melek lingkungan, maka kami harus berkontribusi terhadap lingkungan. Dan itu dimulai dengan karya. Masing-masing anak diarahkan untuk membuat satu karya setiap bulannya. Itulah tolak ukur kami. Di sini, bakat anak diapresiasi. Apa yang menjadi keinginannya untuk dibuat, ya kami dampingi untuk mewujudkannya, tentu harus realistis ya.”

Kemudian Pak Din menunjukkan kepada kami beberapa karya tulis anak-anak Qoryah Thoyyibah. Ada kumpulan cerpen, novel, dan komik. Beliau juga menunjukkan satu buku dokumentasi gambar-gambar salah seorang siswa Qoryah Thoyyibah. Terlihat dalam buku itu perkembangan coretan-coretan si anak. Semakin hari semakin matang. Tentu hal ini disebabkan oleh apresiasi terus menerus yang dilakukan pendamping. Sungguh membanggakan.

“Ada anak yang berbakat nggambar. Dia suka bikin komik,” kisah Pak Din, “Ya kami fasilitasi di sini. Semakin berkembang, dia ikut berbagai macam event komik di berbagai daerah. Ya kami persilakan. Berhari-hari dia pergi ya monggo. Tidak ada istilah bolos di sini. Wah, kalau di sekolah formal, anak seperti itu pasti sudah dimarahi gurunya. Apalagi kalau menjelang ujian nasional, pasti aktivitas nggambarnya bakal dijegal habis-habisan demi belajar buat ujian.”

Kami mengangguk setuju, sekaligus menggeleng heran. Coba bayangkan bagaimana kami mengangu sambil menggeleng.

“Ujian paket kesetaraan di sini tetap ada ‘kan, Pak?” tanya Salis lagi.

“Ya tetap ada. Kami sering dapat soal-soal dari dinas pendidikan. Kalau di sekolah formal, soal-soal jadi horor bagi siswa. Kalau di sini kami biarkan anak-anak berdiskusi, menggarap sama-sama. Karena kami sadar, tidak semua anak bisa matematika, tidak semuanya bisa bahasa Inggris. Makanya di sini konsepnya saling berbagi, belajar bersama. Ya lumayanlah, soal-soal itu juga bikin anak-anak belajar juga.”

“Selama ini kendala apa yang menghambat proses belajar di Qoryah Thoyyibah?” tanyaku.

“Tidak ada kendala,” jawab Pak Din mantap. Aku mengernyitkan dahi, masa’ iya?

“Karena bagi kami,” lanjut Pak Din, “Masalah-masalah yang muncul itu bukan kendala atau hambatan. Itu semua adalah tantangan. Paradigma semacam ini membentuk sikap yang berbeda. Kalau kita menganggap masalah sebagai hambatan, kita cenderung akan berusaha menghilangkannya. Tapi kalau anggapan kita adalah tantangan, maka kita akan berupaya menghadapinya.”

Edan! Aku terkesima. Aku baru menyadari sedang berbincang dengan filsuf.

“Sepertinya di sini siswa dibebaskan begitu merdeka. Lalu batasannya apa, Pak? Adakah kontrol aturan-aturan dari Njenengan?” tanyaku lagi.

“Kalau kontrol formal tidak ada,” terang beliau, “Peran saya sebagai pendamping dan pengarah saja. Aturan-aturan kedisiplinan mereka sendiri yang bikin, ada kesepakatan kelas. Di komunitas belajar ini masing-masing anak diarahkan untuk bersikap dewasa. Memang bebas berekspresi, tapi tetap ada batasannya. Batasan kebebasan bagi seseorang adalah kebebasan orang lain. Kalau dikira bisa mengganggu hak-hak kebebasan orang lain, itulah batasan kebebasan kita.”

“Saya penasaran, Pak,” tanya Syafak, “Bagaimana sih memacing agar anak-anak itu berekspresi. Kadang anak-anak malah susah ketika disuruh mengemukakan ide.”

“Alah Maas,” sahut Pak Din, “Semua manusia sejak lahir itu pada dasarnya berkemampuan mikir. Seperti yang saya bilang tadi; hayawanun nathiq. Tapi sebab terus menerus dijajah dengan sistem yang membelenggu, mereka pun jadi lambat. Maka hal pertama yang musti dilakukan adalah pembebasan dari kungkungan itu. Kalau anak-anak susah mengemukakan ide ketika disuruh, ya karena kita menyuruh mereka menjadi seperti kita. Kita tidak mengapresiasi ide yang ingin mereka tuangkan. Di sekolah formal, guru seakan-akan mengarahkan anak-anak menjadi seperti dirinya, bukan menggali jati diri masing-masing. Itu ‘kan bahaya. Sistem semacam itu, kalau pakai probabilitas empat puluh siswa, paling pol cuma sepuluh persen yang sesuai harapan si guru. Berarti cuma empat orang, lalu lainnya bagaimana?”

“Nah, untuk melihat potensi anak itu caranya bagaimana Pak? Dari sekian banyak anak, tentu susah untuk menentukan apa passionnya ‘kan?” tanya Adam.

“Wah nggak usah njlimet-njlimet Mas. Untuk mengetahui potensi anak, Anda tak perlu jadi ahli psikologi atau orang sakti, hehehe,” jelas Pak Din diiringi tawa kami, “Cukup lihat saja anak itu senangnya apa. Kalau dia suka polah, berarti arahnya ke kinestetis. Ya begitulah, kita pakai kepekaan saja, nggak perlu yang rumit-rumit.”

Mukid yang sedari tadi diam menyimak mulai membuka mulutnya. Aku sempat deg-degan ketika dia mulai menggerakkan bibirnya. Bagaimana tidak, tokoh absurd kita satu ini kadang melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang mengkhawatirkan. Aku cemas kalau dia tanya, “Pak, di desa ini ada Kolor Ijo, nggak?” atau semacamnya.

“Begini Pak, kemarin saya diajak teman-teman ke Salatiga sini,” kata Mukid dengan nada innocent, betul-betul bikin was-was. “Nah, kata teman-teman, kami akan mengunjungi Qoryah Thoyyibah,” katanya lagi, aduh, aku tahan napas. “Akhirnya sampai di sini, sebenarnya saya tidak tahu apa-apa tentang Qoryah Thoyyibah. Memangnya Qoryah Thoyyibah itu apa sih, Pak?”

Aku menghembuskan nafas lega. Ffiiuuuuuh.

“Jadi gini Mas, Qoryah Thoyyibah ini sebenarnya nama Serikat Paguyuban Petani, dibentuk tahun 1999. Di situ menjadi serikat bagi paguyuban-paguyuban petani yang ada di sini. Nah, nama Qoryah Thoyyibah ini dipilih atas usulan Raymond Toruan, seorang Batak Katolik. Sekarang dia masih duduk di posisi Dewan Pertimbangan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). Artinya, desa yang sejahtera,” terang Pak Din, sabar.

“Mayoritas penduduk desa ini petani,” lanjut Pak Din, “Maka organisasi yang merepresentasikan desa adalah organisasi yang berbasis petani. Setelah Serikat Paguyuban Petani, didirikan pula Komunitas Belajar dengan nama yang sama, sebagai pelengkap indikator desa yang berdaya. Adapun ide tentang komunitas belajar ini sudah lama sebenarnya.”

“Desa berdaya?”

“Ya maksud desa berdaya seperti konsep Sukarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.”

“Oh, Trisakti!” gumamku.

Menyinggung bahasan desa berdaya, Pak Din memaparkan gerakannya tentang Jamaah Produksi. Yakni lingkaran berantai dari produktivitas desa sesuai sumber daya hingga pemanfaatan dan pemasaran. Beliau menceritakan obrolannya dengan Abraham Samad, Ganjar Pranowo, Joko Widodo, serta beberapa pejabat pemerintahan lainnya yang memiliki wewenang, baik dalam ranah pendidikan, pertanian maupun ketenagakerjaan. Juga tentang pemberdayaan sekolah-sekolah non-formal yang sebenarnya bisa optimal tanpa harus merepotkan sarana fisik. Banyak ide-ide konseptual dan pragmatis, mulai dari landasan filosofis hingga tawaran nominal anggaran yang beliau curahkan saat itu.

“Jadi yang tepat bukanlah ‘ketahanan pangan’,” ujar Pak Din, “Yang kita upayakan adalah ‘kedaulatan pangan’. Artinya, kita merdeka dan berdaulat atas kebutuhan dasar kita sendiri. Tidak tergantung kepada orang lain, apalagi impor. Sangat lucu negara sesubur Indonesia kok malah impor kedelai?! Dengan ukuran iklim di Eropa, musim semi di Indonesia berlansung sepanjang tahun, baik saat kemarau apalagi hujan. Kalau Jamaah Produksi ini bisa diterapkan optimal, kita malah bisa butuh tenaga kerja dari luar. Jadi mereka bakal datang kemari bukan sebagai bos, tapi sebagai pekerja.”

Beliau kemudian menunjukkan salah satu produk berdaya sarekat petani, yakni pupuk organik cair yang memanfaatkan metabolisme cacing. Secara kualitas, pupuk ini tergolong ampuh. Secara produksi, relatif efisien karena cukup memanfaatkan tingkah alami cacing tanah. Produksi pupuk ini dikerjakan oleh warga desa, penggunaannya pun oleh mereka, hasilnya pun untuk mereka. Inilah salah satu contoh kedaulatan.

“Untuk melaksanakan ide-ide Njenengan, kemudian melakukan gerakan radikal semacam ini, tentu membutuhkan keberanian yang tinggi ya, Pak?” tanyaku serius.

“Hahaha,” sahut Pak Din ketawa. “Saya ini sering difitnah orang sebagai pemberani. Katanya, untuk melakukan suatu perubahan, realisasi ide, butuh keberanian yang tinggi. Ah tidak juga! Bukankah pelaksanaan gagasan merupakan suatu hal yang wajar. Bukankah itu nikmat?” tutur Pak Din retoris.

“Radikal ya, Pak!” sahutku. Beliau menyinggung praktek pendidikan Tamansiswa hari ini yang –menurutnya- tidak sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara dahulu. Alangkah disayangkan konsep Ki Hajar tentang pawiyatan dan pendidikan dialektika pedagogik tidak dilaksanakan dengan baik. Beliau menceritakan betapa mengerikannya dampak pendidikan ala sekolah formal terhadap pola pikir anak-anak muda. Fanatisme adalah salah satu efek sampingnya. Hal ini berdasarkan pengalaman beliau ketika mengunjungi salah satu sekolah menengah atas di Jogja. Berbeda jauh dengan konsep yang diterapkan Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah yang menjunjung multikulturalisme dan kemanusiaan.

“Lalu, Pak,” sela Syafak, “Kebetulan saya diamanahi untuk mengelola madrasah diniyyah yang bernaung di bawah yayasan pesantren dan panti asuhan. Apakah mungkin diterapkan model pendidikan seperti di sini?”

Pak Din tersenyum dan berujar, “Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang betul-betul merdeka dan berdaulat. Dia bisa dan harus menentukan nasibnya sendiri tanpa pengaruh dari manapun, bahkan dari pemerintah sekalipun. Maka lucu kalau ada pesantren yang sudah begitu merdeka kemudian malah meniru-niru persekolahan formal. Sehingga dia jadi terbelenggu.”

“Jadi, mungkin ya Pak?”

“Jawabannya ya bukan ‘mungkin’, tapi ‘harus’! Termasuk madrasah, itu juga lembaga yang semestinya kita kelola dengan optimal, buatlah agar melek dengan kearifan lokal desa sekitar.”

Makin lama mengobrol, makin tambah tanda tanya yang muncul di kepala. Masih banyak pertanyaan yang berseliweran, namun mungkin Pak Din melihat rona lelah dan ngantuk di wajah kami, terutama Sutri yang mulai pucat sebab mabok perjalanan sore tadi. Maka percakapan pun kami akhiri jam sepuluh malam. Beliau memanggil Dedi, salah satu siswa di Qoryah Thoyyibah, untuk mengantar kami ke Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, setengah kilometer ke utara. Di sanalah kami menginap malam itu.

Sowan Pak Din dan menginap di Pesantren Hidayatul Mubtadiin
‘Dug! Dug! Dug! Dug! Dug!’ bunyi hentakan kayu di lantai pondok bertalu-talu, pertanda pengurus sedang membangunkan para santri yang masih terlelap. Namun sepertinya tak berpengaruh pada kawan-kawan tamu yang kecapekan. Mereka masih tetap ngiler dan baru bangun menjelang fajar.

Subuh itu begitu dingin, memang menggoda untuk tetap meringkuk berkemul, namun masjid pondok tetap ramai oleh warga dan santri. Selepas shalat berjamaah, para santri mulai mengaji kitab di ruang utama masjid, ada pula beberapa santri putri yang mengaji di ruang kelas madrasah. Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien yang diasuh oleh KH Abda’ Abdul Malik ini bertipe salaf namun tetap mempersilakan santri untuk belajar di luar.

Ba’da subuh kami manfaatkan waktu untuk berkeliling desa. Lingkungannya asri, bersih, dan rapi. Pepohonan merindang di halaman tiap rumah. Saling tegur sapa dan tukar senyum pun bukan hal yang aneh, khas orang desa. Di depan setiap rumah, tersedia sepasang tong sampah; satu untuk sampah organik, selainnya untuk sampah anorganik. Tentu hal ini menunjukkan ada pengelolaan sampah yang tertata di desa ini, berupa bank sampah ataupun daur ulang.

Setelah agak terang kami sowan ke ndalem pengasuh pesantren, beberapa puluh meter di barat masjid. Saat itu Kiai Abda yang tak lain adalah kakak kandung Pak Din sedang duduk santai di ruang tamu, mengenakan gamis dan sorban putih. Memang kami sudah bertemu beliau sebelumnya di masjid.

“Rombongan dari mana ini, Mas-mas?” tanya beliau setelah mempersilakan kami duduk di ruang tamu yang semarak dengan kicauan burung-burung peliharaan.

“Dari Jogja, Yai,” sahut Adam.

“Krapyak?” tanya Kiai lagi.

“Njih, Yai,” sahut Sutri yang memang santri Krapyak.

“Wah, saya jadi teringat almarhum Mbah Ali,” ucap Kiai Abda’. Sosok yang beliau maksud adalah KH Ali Maksum, pengasuh periode kedua pesantren Krapyak Yogyakarta. Beliau berkisah tentang Mbah Ali yang masyhur dengan sikap moderatnya. Di awal masa menjadi rais ‘aam PBNU, Mbah Ali pernah menyambangi Kalibening. Saat itu masjid belum megah seperti saat ini. Mbah Ali mendorong Kiai Abda untuk membangun kembali masjid Al-Muttaqin, “Masjid kok koyok rempeyek,” begitu canda Mbah Ali.

“Kalau ingat kiai-kiai sepuh dahulu, kita selalu saja kangen,” kenang Kiai Abda. “Dahulu, ketika pertama kali saya mengajar di sini, tidak ada santri yang mukim karena saya sendiri belum mampu. Memang dulu zaman ayah saya, sudah ada santri, namun ketika beliau wafat dan saya masih mengembara, santri-santri habis.”

Sambil mengepulkan asap rokok, Kiai Abda mempersilakan kami minum teh manis hangat yang terhidang.

“Lalu ketika saya sowan Mbah Muslih Mranggen (Demak), beliau malah menyuruh saya untuk menerima santri yang mau mukim; pokoknya harus mukim, katanya. Padahal saat itu saya bahkan belum punya pekerjaan. Tapi ya saya nurut saja. Lagipula, Mbah Muslih menyuruh saya untuk melanggengkan Asmaul Husna tiap ba’da Shubuh dan bada Maghrib. Itu memang ampuh untuk hal-hal rizki maupun magnet santri. Maka sayapun mantap bila sosok sekaliber Mbah Muslih sudah menitahkan demikian,” lanjut beliau.

Kekuatan doa dari hati yang jernih nan terlatih memang ampuh. Selaras dengan wejangan baku Kanjeng Nabi bahwa doa adalah senjata orang beriman. Maka tak heran muncul keramat-keramat dari pribadi-pribadi saleh seperti para kiai-kiai sepuh terdahulu, ‘hanya’ dengan lantaran doa.

“Saya jadi ingat Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda. Maksud beliau adalah KH Hasan Asy’ari (Mangli, Magelang) yang terkenal dengan ketawadhuan dan ketinggian derajatnya. “Saya punya kenalan, akademisi, pinter, tapi sama sekali tak percaya dengan yang namanya karomah. Setelah lama saling berargumen, saya ajak saja dia berkunjung ke Magelang, ketemu Mbah Mangli. Orang seperti itu memang tak bisa diajak bicara, harus lihat langsung buktinya.”

“Lalu, Kiai?” sambut Mukid, ia nampak antusias dengan kisah ini.

“Lalu kami berangkat dari sini ke Magelang. Di jalan, kami mampir makan di warung. Ibu-ibu penjual menanyakan tujuan kami. Setelah tahu bawa kami hendak sowan ke Mbah Mangli, si ibu bertanya; istri Mbah Mangli berapa? Satu atau dua? Karena banyak kiai yang beristri lebih dari satu, si ibu penasaran. Kawan saya pun akhirnya ikut penasaran, bertanya-tanya tentang hal itu. Jujur saat itu saya tidak tahu.”

Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan ke Magelang. Sesampainya di gapura desa Mangli, tak dinyana mereka sudah ditunggu Mbah Hasan Asy’ari di sana. Belum sempat hilang rasa kaget, Mbah Mangli seketika menghardik,

“Mau satu, mau dua, apa urusanmu, memangnya kamu yang menafkahi?! Ayo ikut saya!”

Mereka berdua tercengang bukan main. Di rumah Mbah Mangli yang sederhana, sang tamu masih dibuat terkesima. “Di rumah Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda, “Bertumpuk koran-koran harian terbaru. Padahal saat itu masih pagi dan rasanya mustahil koran-koran terbaru bisa sampai di pelosok kampung sepagi itu. Di sana juga berjajar buku-buku pengetahuan umum yang aneh-aneh, dalam berbagai macam bahasa asing. Teman saya terpukau dan kemudian berbisik bahwa sekarang dia nyerah dan percaya terhadap karomah.”

Kemudian beliau menerangkan tentang konsep mukjizat para nabi, karomah para wali, ma’unah kaum mukminin, hingga istidraj orang-orang lalim. Menurut beliau, orang-orang yang hatinya bersih dan mengalami proses penerangan batin (istanaar) akan mampu melakukan hal-hal di luar nalar manusia pada umumnya.

Setelah melepas gamis dan sorban di belakang, Kiai Abda kembali duduk berbincang bersama kami dengan tema yang sama sekali berbeda. Beliau bicara politik. Tentang polemik yang menimpa KPK dan Polri, aksi pembakaran tabloid ‘Obor Rakyat’ di pesantrennya semasa pemilu kemarin, pengalaman saat menduduki kursi dewan pada masa Gus Dur, perjalanan pembangunan masjid dan pesantren, hingga konsolidasi ulama dalam pemenangan kepala daerah muslim di Salatiga yang terlanjur dicap sebagai ‘Daarun Nashara’.

Kami sangat bersemangat menyimak dan menanggapi penuturan pengalaman Kiai Abda. Banyak hal yang bisa kami gali tanpa direncanakan sebelumnya. Namun karena tidak tega melihat paras Salis yang sepertinya menahan kebelet, maklum masih pagi, maka kuputuskan untuk pamit undur diri. Di penghujung sowan, kami mohon doa dan wejangan kepada Kiai Abda.

“Tidak ada jalan mundur,” ujar Kiai, “Seperti halnya Khalid bin Walid yang membakar kapal-kapal tentara kaum muslimin saat ekspansi ke Eropa. Sehingga mereka tak lagi bisa mundur, tak ada pilihan lain selain maju bertempur. Maka begitulah semestinya pemuda, kalian-kalian ini, perjalanan masih panjang. Jangan sampai patah semangat! Dalam hidup tidak ada jalan mundur.”

Suasana pagi di Kalibening dan Sowan Kiai Abda
Setelah sowan, kami lanjut mengunjungi proses belajar teman-teman Qoryah Thoyyibah. Bagaimana mereka belajar? Apa saja yang mereka pelajari? Konsep semacam apa yang dipraktekkan di kelas? Baca kelanjutannya di Bagian II ~ Berbagi.

1 Comments

  1. Membaca laporan ini saya jadi tambah semangat sinau. Biar cepet-cepet pulang k Indonesia dan mengabdi untuk tanah air tercinta. Good writing kang

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya