Album Perjalanan: Ngaji di Kalibening [Bagian II ~ Berbagi]


(Lanjutan dari Bagian I ~ Sowan)

Selama berkeliling Kalibening, Dedi menjadi pemandu kami. Dia adalah santri di Pesantren Hidayatul Mubtadiin dan siswa di Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah (KBQT). Kalau disejajarkan dengan sekolah formal, Dedi setara dengan kelas 3 SMA. Darinya kami mendapat banyak keterangan tentang gaya belajar di KBQT.

“Waduh Mas, saya sudah telat!” kata Dedi setuntas mengantar kami sarapan. Saat itu jam setengah sembilan.

“Telat kemana?”

“Masuk kelas.”

“Wah maaf ya. Kalau telat dihukum nggak?”

“Iya dihukum, nanti aku musti push-up dua puluh kali.”

“Waduh. Semua kalau telat juga push-up?”

“Enggak sih. Kebetulan itu sudah jadi kesepakatan kelas. Masing-masing anak punya kesepakatan sendiri. Dan kebetulan aku jadi seksi hukuman.”

“Hah? Seksi hukuman?”

“Iya. Nanti aja mas-masnya ke sana ya, bisa ketemu teman-teman yang lain. Saya berangkat dulu.”

Dedi berlalu dengan meninggalkan beragam pertanyaan di kepala kami. Maka setelah bersih-bersih badan, kami pamit ke pengurus pondok untuk kembali ke area KBQT. Tepat jam setengah sepuluh pagi kami meluncur.

Belajar Bersama

Tidak seperti malam sebelumnya yang gelap, pagi itu suasana KBQT nampak lebih jelas. Ada rombongan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terhadap warga KBQT. Dari jas almamater yang mereka kenakan, jelas mereka mahasiswa UKSW Salatiga.

Di sebelah timur rumah Pak Din, ada bangunan yang berisi jajaran komputer, persis warnet. Di situlah anak-anak KBQT bebas mengakses informasi dan pengetahuan yang ingin mereka pelajari. Di sebelah barat rumah, ada gedung bertingkat yang disebut Resource Centre (RC). Di tempat ini anak-anak KBQT biasa mengelar Gelar Karya (semacam pentas seni) tiap bulan. Di sebelah barat RC ada Masjid al-Mustashfa yang bermakna ‘penjernih’ atau ‘pembening’, selaras dengan nama kampung ini; Kalibening.

Nah, di serambi masjid inilah kami nDuduk Selingkar dengan teman-teman KBQT. Kami ngobrol dengan Fina yang nampak sedang sibuk menata setumpuk buku warna-warni. Fina adalah salah satu siswa pertama KBQT yang kini menjadi pendamping belajar di sana. Bersama Fina, ada juga Taufik, dia juga salah satu pendamping di sini.

“Ini buku report anak-anak di kelas ini,” terang Fina.

“Semacam laporan hasil belajar seperti di sekolah-sekolah formal, begitu?”

“Iya. Tapi di sini anak-anak sendiri yang mengisi buku reportnya masing-masing. Bukan orang lain. Diisi tiap awal pekan. Dan isinya juga bukan pencapaian nilai-nilai akademik.”

“Lhah, kalau bukan nilai-nilai, lalu isinya apa?”

Ditunjukkanlah buku-buku report itu di hadapan kami. Sampulnya warna-warni, tertulis nama pemilik di sampul depan, hardcover, dan tertoreh kata-kata bijak di sampul belakang.

“Ini bikin sendiri?”

“Iya, temen-temen bikin sendiri. Tiap anak dipersilakan mendesain reportnya masing-masing,” jawab Taufik.

Di halaman awal tertulis identitas buku, yakni “Report Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah”. Kemudian di bawahnya tertulis nama pemilik buku beserta alamat email dan akun facebook. Ya, akun facebook! Halaman berikutnya berisi identitas anak, berupa kolom Nama, Nomor Induk, Jenis Kelamin, Orang Tua, Nomor Telepon, Alamat Asal, Alamat Tinggal, Aktif di KBQT (Tahun, Bulan, Tanggal, dan jenjang Kelas), ruang tanda tangan Kepala Komunitas Belajar, serta foto close up anak. Ya, close up! Bukan pas foto!

Halaman selanjutnya berisi tabel Target Semester, berupa kolom tentang apa saja target yang ingin dipelajari siswa selama satu bulan ke depan dan kapan deadline-nya. Siswa sendiri yang menentukan. Misal, untuk bulan ini Dedi memiliki target belajar berenang, menulis arsip cerpen, menambah pemahaman nahwu-shorof, praktek photoshop dan vegas pro, serta menambah berat badan lima kilogram. Maka Dedi musti menentukan deadline-nya sendiri. Dan dia bertanggung jawab merealisasikan hal itu.

“Contohnya begini,” terang Fina, “Ada anak yang punya passion ke tata busana. Nah, bulan ini dia punya target membuat satu stel baju. Maka dia akan menuliskan targetnya itu di tabel Target Semester. Dia berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan proyeknya itu, disaksikan oleh teman-teman sekelas dan pendamping. Nanti pendamping bakal memantau progres target si anak, pekan pertama sudah sampai pada pembuatan pola, pekan kedua pemotongan bahan, pekan ketiga penjahitan, pekan keempat finishing.”

Setelah Target Semester, halaman selanjutnya berisi tabel-tabel tentang Target, Capaian dan Ide Mingguan. Di sini, anak-anak KBQT mengisi kolom-kolom dengan ide-ide mereka tentang apapun. Artinya, mereka harus menuangkan ide mereka secara naratif dan dipresentasikan di tengah kelas. Selama seminggu, mereka akan memikirkan dan mengeksplorasi apapun untuk mematangkan ide tersebut.

Lalu tabel berikutnya berisi kolom Laporan Naratif Semester. Diisi karya apa saja yang sudah dicapai anggota KBQT. Nah, catatan tentang karya-karya inilah pencapaian mereka, bukan angka-angka nominal seperti di sekolah-sekolah formal. Di halaman terakhir, ada kolom Laporan Pendamping yang akan ditandatangani pendamping dan wali siswa. Maka orang tua siswa akan melihat apa saja ketertarikan anaknya, serta karya apa saja yang anaknya telah buat.
 
Contoh buku Report 'bocah' Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah kelas Oryza Sativa
Pagi itu ada empat kelas yang sedang ngumpul belajar. Di teras rumah Pak Din, di teras gedung RC, di bawah pohon halaman gedung RC, dan di serambi masjid. Masing-masing kelas duduk melingkar sambil berbincang santai. Tiap lingkaran terdiri dari 6 orang. Suasana santai semacam ini mengingatkanku pada forum diskusi santai Selingkar kami di Jogja. Asyik sekali!

Komunitas ini praktis tidak membutuhkan gedung khusus sebagai ruang kelas, karena ruang kelas mereka adalah semua tempat yang memungkinkan. Mereka bisa belajar di teras rumah, serambi masjid, pematang sawah, pinggir kali, atau di rumah masing-masing anggota kelas secara bergiliran.

Kalau sekolah formal punya beban jam belajar yang ditetapkan oleh pusat dan ‘membelenggu’ murid dan guru, di KBQT semua berbasis kesepakatan kelas. Hari apa dan jam berapa mau berkumpul, terserah kesepakatan.

Umumnya, dalam satu hari, siswa-siswa dan pendamping di KBQT berkumpul selama dua jam saja. Di sana mereka membincangkan ide. Masing-masing anak bebas menuangkan idenya di tengah kelas untuk dibahas. Setiap kelas punya nama masing-masing, semisal ‘Oryza Sativa’ yang merupakan nama latin padi, ada pula yang memberi nama kelas dengan alat pengukur pacu jantung; ‘Elektrokardiograf’.

“Ukuran mahasiswa saja kadang melongo kalau disuruh menuangkan ide. Apa di sini juga pernah mengalami macet ide?” tanyaku penasaran. Fina ketawa dan mengiyakan.

“Kadang anak-anak juga hening beberapa saat karena memang lagi macet ide,” tuturnya.

“Tapi menurutku malah di sini tidak bakal ada macet ide,” potong Mukid, berhasil meraih perhatian kami semua. Katanya, “Ketika anak-anak mengalami kebuntuan ide, maka mereka kemudian akan berpikir untuk memunculkan ide. Misalnya, ada yang berpikir untuk membuat topi anti macet ide. Bukankah itu juga termasuk ide?”

Tawa pun pecah membumbui keakraban kami pagi itu. Betul juga kata Mukid. Ide selalu akan ada, meskipun terkadang ada momen-momen blank. Semua ide anak-anak KBQT dituangkan dalam bentuk narasi tulisan dan diarsipkan dengan rapi. Ide-ide yang muncul bisa berupa apa saja. Ada kalanya tentang permasalahan di rumah, kemudian dibahas di kelas. Kalau sekolah formal membawa PR dari sekolah ke rumah, di KBQT mereka membawa masalah dari kehidupan masing-masing anak untuk diselesaikan di kelas. Betul-betul jungkir balik!

Nah, dalam seminggu itulah mereka mematangkan ide dan evaluasi di minggu berikutnya. Sebulan sekali, seluruh kelas di KBQT berkumpul untuk mengadakan Gelar Karya. Di gedung RC, semua anggota kelas dipersilakan mempresentasikan karyanya masing-masing yang telah dipersiapkan sebulan sebelumnya. Maka unsur kreativitas berkelanjutan sangat terasa dalam momen ini.

Ada tiga hal global yang dibahas dalam setiap kesempatan ngumpul kelas. Pertama, keilmuan, yakni asupan-asupan kognisi yang ingin dipelajari masing-masing anak serta darimana saja sumber belajarnya. Kedua, skill, yakni kemampuan apa saja yang ingin dikuasai serta bagaimana mewujudkannya. Ketiga, karya, yakni apa yang ingin dibuat dan depresentasikan sebulan ke depan serta bagaimana proses kreatifnya. Ah, komunitas belajar ini betul-betul khayal!

“Lalu bagaimana dengan pelajaran-pelajaran umum seperti yang dipelajari di sekolah-sekolah formal?” tanya Sutri antusias.

“Ya di sini juga dipelajari. Tapi itu diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mau atau tidak,” jawab Dedi.

“Kamu sendiri bagaimana? Belajar Matematika nggak?”

“Nggak. Aku nggak suka sih Mas.”

“Lhoh, lalu bagaimana saat ujian?”

“Ujian apa? Ujian kami di sini ya saat Gelar Karya,”

“Mungkin maksudnya ujian kesetaraan dari pemerintah gitu ya, Mas?” sela Taufik.

“Iya, itu. Kalian ujian juga ‘kan?”

“Iya, Mas. Kami di sini juga ujian kesetaraan setiap masa kelulusan sesuai jadwal sekolah-sekolah formal. Ya sebagai formalitas gitu.”

“Nah, bagaimana kalian bisa mengerjakan soal-soal ujian kesetaraan padahal tidak pernah belajar tentang materi pelajaran yang diujikan?”

“Ya kami tetap belajar untuk ujian itu.”

“Hasilnya?”

“Yaaa seadanya, hehehe.”

“Kalau nilainya jeblok bagaimana?”

“Memangnya kenapa?”

“Lhoh?”

Sutri mulai bingung dengan komunitas belajar yang ajaib ini. Ukuran-ukuran nominal akademik sama sekali tidak menjadi perhatian mereka, karyalah yang menjadi tolak ukurnya. Bahkan menurut Taufik, ada juga anak-anak KBQT yang enggan mengambil ijazah kesetaraannya, buat apa. Pendaftaran di komunitas belajar ini pun tak dibatasi waktu. Tiap siswa dipersilakan mendaftar kapan saja.

Baru sebentar kami mengobrol, konsep-konsep di kepalaku mendadak jadi usang. Selama ini kulihat betapa repotnya para guru di sekolahan menyiapkan tetek bengek materi ajar, mulai dari kurikulum, silabus, target pancapaian kognitif afektif psikomotor, hingga teknis rencana pelaksanaan pembelajaran. Belum lagi beban-beban belajar tanggungan siswa yang diharuskan memahami berbagai rupa mata pelajaran tanpa memedulikan bakat dan kecenderungannya. Setelah melihat KBQT, semua itu nampak jadi usang, kuno, dan primitif.

Di KBQT, anak-anak yang belajar betul-betul menjadi ‘murid’. Sebagaimana kita tahu, makna ‘murid’ dalam Bahasa Arab adalah ‘orang yang menghendaki’. Artinya, si muridlah yang berperan aktif dalam proses belajar. Dia menghendaki belajar suatu tema, kemudian ia pula yang mencari sumber-sumbernya.
Berikut ini contoh evaluasi pencapaian belajar siswa KBQT untuk Bulan November.

Contoh evaluasi pencapaian belajar di Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah
“Awalnya, kami sama dengan sekolah-sekolah formal,” tutur Fina mulai berkisah. “Dulu, komunitas belajar kami persis sekolah terbuka. Posisi guru sebagai pengajar ilmu-ilmu dan siswa-siswa menadah itu semua. Dengan proses pembelajaran yang asyik membuat kami bisa menikmati apa yang kami pelajari. Hasilnya, prestasi akademik kami pun bisa bagus-bagus, bahkan tak kalah dengan sekolah-sekolah formal unggulan."

“Lalu?”

“Seiring perjalanan, kami siswa-siswa di KBQT sadar, ternyata bukan itu yang kami cari. Bukan hal-hal semacam itu yang menjadi tujuan kami.”

“Maksudnya bukan pencapaian-pencapaian akademik?”

“Ya, begitulah. Maka kami mulai mengubah gaya belajar menjadi seperti sekarang ini. ya seperti yang Mas-mas lihat ini,” tutur Fina dengan senyumnya. Kulihat ekspresi Taufik dan Dedi pun tersenyum bahagia.

Memang iya. Qoryah Thoyyibah yang sempat kubaca artikelnya di sebuah buku beberapa tahun lalu berbeda dengan Qoryah Thoyyibah yang kulihat langsung hari itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan kepada mereka masih terkungkung konsep-konsep yang kami bawa dari sekolahan dan fakultas pendidikan. Begitupun dengan ukuran-ukuran yang kami ajukan. Eh ternyata, mereka punya ukurannya sendiri. Mereka punya karakternya sendiri.

“Kalian tau nggak,” kataku pada mereka, “Setelah lihat Qoryah Thoyyibah, semua konsep praktek pembelajaran di kepalaku jadi bubrah!”

Teman-teman tertawa. Lalu Mukid menyela dengan segala keabsurdannya,

“Kalau aku sih nggak bubrah Zi,” katanya, “Lha wong di kepalaku nggak ada konsep apa-apa sama sekali.”

Hahaha. Dasar Mukid.

“Nah, bagaimana bila ada anak-anak yang ingin melanjutkan kuliah?” tanya Adam.

“Ya tinggal melanjutkan saja tho, Mas,” sahut Taufik.

“Ada?”

“Ya banyak,” jawab Fina, “Ada yang di UI, UGM, di UIN juga ada, anak komunikasi. Ada juga anak KBQT sini yang lanjut ke Australi dengan mempresentasikan karyanya.”

“Apa bentuk karyanya?”

“Desain grafis.”

Wah. Belum apa-apa kami sudah berdecak kagum dengan anak-anak KBQT ini. Bagaimana tidak, budaya dialog terbuka nan santai serta saling berbagi ide yang jarang dimiliki anak-anak sekolah, bahkan mahasiswa sekalipun, sudah sangat biasa bagi mereka. Konsep filosofis progresif dan idealisme yang menjadi barang mewah bagi kalangan intelektual sudah dipraktekkan dengan penuh kesadaran oleh remaja-remaja di sini. Penciptaan hingga pagelaran karya yang sering dirasa repot di luar sana, justru menjadi agenda rutin di komunitas belajar ini.

“Apakah alumni KBQT masih sering kontak dengan anak-anak di sini?” tanya Salis.

“Kayaknya kami nggak ada alumni deh, Mas,” sahut Taufik.

“Di sini konsepnya belajar seumur hidup. Kelasku namanya Oryza Sativa, masih sering kumpul sebulan sekali. Masing-masing anak sudah punya kesibukan sendiri-sendiri. Dan saat kumpul itu ya kami belajar bareng,” papar Fina.

“Makanya kami sering bingung juga kalau ditanya orang dari luar; kelas berapa, sudah lulus atau belum, hehe..” sela Taufik.

“Bahkan di akhir periode belajar pun kami tidak menggunakan istilah ‘perpisahan’,” kata Fina, “Kami menggunakan kata ‘tasyakkuran’ sebagai gantinya.”

“Jadi walau sudah bertahun-tahun kalian masih sering ngumpul sekelas?”

“Iya, seringnya sih di sini saat gelar karya. Atau di tempat lain sesuai kesepakatan, ya janjian dulu lah kalau mau ketemu,”

“Tak sedikit alumni sekolahan yang sudah sekian tahun dinyatakan lulus menjadi asing dengan almamaternya. Nah, kalau kalian ngumpulnya di sini, apa nggak merasa asing?”

“Sama sekali enggak tuh. Ya karena kami pakai konsep belajar seumur hidup, jadi ya kelas kami nggak terbatas ruang dan waktu,” sahut Fina, filosofis praktis.

Betul-betul mempesona. Kami penDuduk Selingkar baru menyadari pentingnya landasan filosofis dalam setiap tindakan, serta perlunya out of te box semacam ini sejak rutin berdiskusi santai dua tahunan lalu, sementara mereka sudah mempraktekkannya secara riil selama bertahun-tahun! Kami ketinggalan jauh!

“Jadi, guru bagi masing-masing anak di sini bisa siapa saja ya?” tanya Syafak.

“Iya, namun setiap kelas punya pendamping yang mendampingi temen-temen belajar dari awal sampai akhir,” sahut Taufik.

“Lalu apa fungsi pendamping secara riil?”

“Nah, tugas pendamping mengapresiasi ide yang dituangkan oleh anggota kelas. Lalu menyalurkan kemana dan bagaimana si anak belajar tentang proyek yang akan dia kerjakan, karena pendamping bukanlah guru yang tahu segala ilmu. Maka ia hanya menghubungkan anak-anak KBQT dengan sumber-sumber belajar, apapun dan siapapun. Misal, ada anak yang condong ke lukis, maka kami akan hubungkan dengan seniman-seniman lukis yang bisa kami temui. Bagi yang mau belajar nulis, kami hubungkan dengan para penulis. Bagi anak-anak yang suka film, kami hubungkan dengan komunitas penikmat dan pembuat film,” papar Fina.

“Jadi model KBQT ini kuat di jaringan ya?”

“Yak begitulah,” jawab Fina menggangguk, “Pendamping juga memantau progres pencapaian target yang dibuat setiap anggota kelas.”

“Kalau target itu tidak terlaksana? Terbengkalai misalnya?”

“Ya si anak kena sanksi.”

“Apa hukumannya?”

“Terserah si anak yang bersangkutan. Hukuman sudah disepakati di awal pertemuan. Ada yang menyepakati push-up, ada juga lari keliling halaman, ada juga yang sepakat membuat satu cerpen jika target tak tercapai, dan macam-macam.”

“Ooo,” kami ber-o panjang. Sama sekali belum terpikir sanksi produktif semacam itu. Fina juga memaparkan kegiatan anak-anak KBQT yang berkaitan dengan lingkungan desa Kalibening. Salah satunya, beberapa waktu ke depan teman-teman KBQT akan membantu warga meluncurkan program sumur resapan.

Persis seperti yang dikatakan Pak Din malam sebelumnya, kebanyakan sekolah justru menjadi tembok penghalang antara siswa dan lingkungannya. Tapi Qoryah Thoyyibah mencoba mengintegrasikan seluruh unsur di tengah masyarakat. Wadahnya ya komunitas belajar itu.

Hebat!

Ngobrol santai Selingkar dengan para siswa dan pendamping Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah
Suasana belajar dan gedung Resource Centre Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah
Beberapa saat kemudian hadir para pendamping senior yang sudah sangat berpengalaman berkecimpung di KBQT. Kami berbincang bersama mereka. Bagaimana kisah pendampingan mereka mengawal proses belajar di komunitas keren ini? Baca kelanjutannya di Bagian III ~ Para Pendamping.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya