(Lanjutan dari Bagian I ~ Sowan dan Bagian II ~ Berbagi)
Lingkaran sharing makin ramai. Selain Fina, Taufik dan Dedi, hadir pula Hana, Isna, Hasni, Isa dan Isma. Ada juga ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni, mereka pendamping senior yang sudah bertungkus lumus dan kenyang asam garam pengalaman di komunitas belajar ini.
Lingkaran sharing makin ramai. Selain Fina, Taufik dan Dedi, hadir pula Hana, Isna, Hasni, Isa dan Isma. Ada juga ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni, mereka pendamping senior yang sudah bertungkus lumus dan kenyang asam garam pengalaman di komunitas belajar ini.
“Sebenarnya Mas-mas ini kumpulan apa sih?” tanya Isa kepada
kami, penuh tanda tanya di atas kepalanya. Salah seorang siswa KBQT malah
menyebut kami mirip Yakuza (preman Jepang), mungkin sebab tampang yang seram
dan busana hitam-hitam. Waduh, aku pun memperkenalkan rombongan kami biar tak
terjadi kesalahpahaman, kalau kami dikira artis dari ibukota ‘kan bahaya.
Ada Mukid Purwodadi, perenung liar yang sedang merampungkan
skripsinya. Ada Sutri Lampung, hafidz Al-Qur’an yang bercita-cita terjun di
masyarakat kampungnya yang masih belum sadar pendidikan. Ada Adam Sleman,
mahasiswa pascasarjana yang mengelola pesantren panti asuhan Zuhriyyah di
desanya. Ada Syafak Malang, kepala madrasah diniyyah yang bernaung di bawah
payung yayasan Zuhriyyah. Ada Salis Purworejo, mahasiswa pascasarjana yang
diamanahi membimbing para santri di salah satu pesantren Jogja. Dan ada aku,
Zia Tegal, entah siapa.
“Kami ini satu jurusan di kampus, fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga,” jelasku, “Namun kami merasa ada luapan-luapan gagasan dan
kegelisahan yang tidak bisa ditampung di ruang-ruang kelas perkuliahan. Maka
kami pun menggelar forum diskusi santai di luar kelas dengan tema yang ingin
kami pelajari dan pahami, tidak terikat oleh kurikulum kampus. Ya walaupun
kadang kami membincangkan materi-materi perkuliahan juga, tentu dengan format
yang asyik dan santai, demokratis.
Forum diskusi santai ini kami beri nama ‘Selingkar’. Di situ
kami membahas keingintahuan tentang apa saja. Pernah kami ingin memahami
lokalisasi di Jogja, maka kamipun turun ke sana, berdialog dengan beberapa
pelaku di sana, lalu mendiskusikan itu, kemudian mengambil sari hikmahnya. Kami
ingin tahu tentang rokok, maka kami mendatangkan teman yang pernah magang di
perusahaan rokok, lalu kami diskusi dan belajar mengarifi isu-isu tentang
rokok. Kami juga kerap mengunjungi acara-acara kreatif yang bertebaran di
seantero Jogja, kemudian berbincang santai di sana. Ya macem-macem tema kami
diskusikan. Jadi, apa yang kami diskusikan berdasarkan apa yang ingin kami
pelajari. Sumber-sumbernya kami buru dan cari sendiri,”
Penjelasanku tentang Selingkar terasa serasi dengan apa yang
sudah kami lihat dan dengar di KBQT. Kami datang ke tempat ini murni sebab
ingin belajar, bukan tuntutan apa-apa dari siapa-siapa. Keakraban di antara
kami saat itu menyiratkan kecocokan. Kami merasa berada pada frekuensi yang
sama dengan warga KBQT sehingga nyambung dan enjoy. Keserasian frekuensi itu
pula yang mendorong kami berkunjung ke Kalibening. Betapa Tuhan Maha
Menakdirkan.
Mendampingi dengan Hati
“Selama ini yang kami pahami, di kelas harus ada guru. Tapi
di sini memakai konsep ‘pendamping’, bagaimana prosesnya?” tanya Adam kepada
‘Bu’ Eli.
“Panjang, Mas. Kalau diceritakan dari awal, saya bisa mrebes
mili.”
Suasana jadi hening seketika. Mendung menggelayut langit
Salatiga. Lentingan biola bernada hampa terdengar dari langit di atas sana. Air
mata mengalir dimana-mana. Hehe, nggak ding, itu hiperbola. Hahaha.
“Sebagai pendamping,” terang ‘Bu’ Eli, “Kami harus berusaha
memahami karakter masing-masing anak, sekaligus potensi dan passion yang ada
pada diri mereka. Kami menemani mereka menuangkan ide, membaca kecenderungannya
masing-masing, dan memfasilitasi masing-masing anak berkarya serta mewujudkan
idenya.”
“Di komunitas belajar yang bebas ekspresif ini, pernahkah
terjadi keliaran-keliaran ekspresi anak-anak yang bisa dianggap over?” tanyaku
penasaran. Mendadak teman-teman KBQT kompak menengok ke arah Hasni, remaja
putri yang begitu aktif.
“Heh! Kenapa pada nengok ke sini?!” sergah Hasni. Semua
ketawa geli.
“Ya tentu saja ada, Mas,” tutur ‘Bu’ Eli. “Dulu pernah ada
siswa sini yang kelewat nakal. Bolos ke Jakarta buat nonton bola. Di sana malah
kenal minuman keras, kenal rokok. Maka saya harus menggunakan pendekatan
personal, kami ngobrol empat mata. Saya sambangi juga orang tuanya. Awalnya
memang sempat ada ketegangan, namun ternyata berhasil. Anak itu malah bersyukur
dan berterima kasih atas sikap saya itu.”
“Kalau di sekolah-sekolah formal, biasanya guru ditagih
orang tua murid tentang pencapaian anak-anaknya di sekolah. Di sini bagaimana?”
tanya Salis yang disebut Hasni dengan nama baru; ‘Sales’.
“Iya Mas,” kata ‘Bu’ Eli. “Untuk itulah komunikasi personal
sangat penting. Kadang orang tua memiliki estimasi tertentu buat anak-anaknya,
dan estimasi itu disetarakan dengan pencapaian di sekolah-sekolah umum.
Misalnya bisa matematika, bahasa Inggris, atau semacamnya. Maka kami sebagai
pendamping harus memberikan pemahaman tentang tujuan KBQT, tentang potensi anaknya,
serta kecenderungan karya mereka. Dan alhamdulillah, para orang tua bisa
memahami dan malah bersyukur.”
“Adakah trik khusus untuk menjalin komunikasi dalam rangka
memahamkan wali murid?” Syafak bertanya. Maklum, sebagai kepala madrasah
diniyah, kesehariannya memang harus sering-sering berhubungan dengan wali
murid.
“Kalau trik khusus sih nggak ada ya, Mas. Tapi yang penting
ya unggah-ungguh sebagaimana lazimnya orang Jawa saja,” jawab ‘Bu’ Eli.
Sepanjang perjalanannya mendampingi anak-anak di KBQT, ‘Bu’
Eli dan ‘Mama’ Heni menekankan pentingnya proses serta pengertian seorang
pendamping terhadap murid-muridnya. Satu kesadaran yang perlu dipahami adalah
bahwa tidak hanya anak-anak yang belajar dan berproses, para pendamping juga
mengalami hal serupa. Latar belakang mereka dahulu adalah pengajar di lembaga
formal, maka ketika mulai mengabdikan diri sebagai pendamping di KBQT, mereka
mulai belajar dan berproses menemukan formula yang tepat untuk menemani
anak-anak.
Syafak menjeda sejenak obrolan kami. Ia mengajak kami semua
menghirup dalam-dalam udara segar Kalibening dan menyerap baik-baik tumpahan
pengalaman para pendamping.
“Kunci dari pendampingan ini adalah hati. Hubungan yang
terjalin dengan teman-teman maupun orang tua adalah hubungan dari hati ke hati,
memahami watak dan selalu bersikap manusiawi,” pungkas ‘Bu’ Eli.
Pertanyaan kemudian menjurus pada hal-hal yang berkaitan
dengan teknis pengelolaan. Bagaimana tata kelola kelas, pendaftaran dan
pendataan siswa, kaitan dengan dinas pendidikan setempat, pembiayaan komunitas,
hingga hubungan komunitas dengan aktivitas-aktivitas warga sekitar. Namun Mbak
Nurul, orang yang menangani hal-hal tersebut, belum bisa kami temui hari itu.
Beliau super-duper sibuk dan saat itu sedang ada urusan di kota. Sayang sekali,
semoga lain waktu kami bisa ngobrol dengan beliau.
“Ini Mas-masnya dari pesantren ya?” tanya ‘Bu’ Eli.
“Iya, Mbak,” sahutku. “Empat dari kami santri Krapyak,
sedangkan yang dua alumni Tebuireng.”
“Wah, bagus sekali kalau model semacam ini bisa diterapkan
di pesantren lho Mas. Dahsyat!” kata ‘Bu’ Eli.
Aku jadi teringat oret-oretanku yang berisi konsep mentah
tentang lembaga pendidikan cita-citaku dahulu. Sebuah bentuk penyelenggaraan
pendidikan ‘umum’ di pesantren tanpa harus mengorbankan ciri salafiah dan tetap
optimal, tak sekedar formalitas.
Tentang hal ini, aku coba berbincang dengan Fina, kira-kira
bisa atau tidak model KBQT diterapkan di pesantren. Corak pendidikan KBQT yang
begitu ekspresif dengan konsep pendampingan sangat kontras dengan gaya pesantren
yang sangat kental nuansa ketundukan kepada guru. Kata Fina, bisa saja. Ada
beberapa pesantren yang sudah mencobanya.
Mungkin kapan-kapan aku dan kawan-kawan perlu berkunjung dan
belajar di pesantren-pesantren itu. Masalahnya, tak sedikit pesantren yang
menutup diri dari dunia luar sehingga terasing tanpa memperhatikan potensi
murid. Di sisi lain, banyak pesantren yang latah perkembangan lalu mendirikan
sekolah formal di dalam lingkungan pesantrennya sehingga kikis identitas
salafiahnya. Belum lagi melihat beban yang ditanggung santri dan begitu
memberatkan, sehingga menjadikan ketidakteraturan bentuk dan kementahan
kemampuan mereka. Tentang konsep ini, sudah kutuangkan secara sederhana di
tulisan tentang Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf.
![]() |
Kepala dan para pendamping Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah |
Meski tidak berhasil memahami detail pengelolaan KBQT,
setidaknya kami sudah mendapatkan gambaran umumnya. Itu sudah lebih dari cukup.
Apalagi ditambah tuangan konsep filosofis dari Pak Din, genjotan semangat dari
Kiai Abda, dan limpahan pengalaman dari teman-teman pendamping. Kami
betul-betul merasa sedang panen raya!
Apa yang kami pahami di sini mungkin tak bisa diterapkan
seratus persen di lingkungan pengabdian kami masing-masing. Namun konsep dan
pandangan tentang kemerdekaan berpikir, kesetaraan kesempatan, dan ketulusan
pendampingan adalah ilmu tingkat tinggi yang wajib kami amalkan.
Setelah dua jam lebih berbincang, kami berkeliling sekitar
KBQT. Melihat-lihat gedung RC yang difungsikan sebagai markas mereka. Nampak
anak-anak KBQT sedang berlatih gitar, bermain catur, nonton film dan baca buku.
Ada rak-rak buku, perangkat musik, hingga peralatan rekaman.
Ba’da Dzuhur, anak-anak KBQT bersama pendamping berkumpul di
serambi masjid. Agendanya adalah Tawashi. Yakni suatu forum ngaji dan
menasehati. Dalam forum ini mereka akan mengaji Al-Qur’an, lalu salah satu ‘bocah’
(pinjam istilah Fina) akan didaulat untuk menyampaikan nasehat. Begitu
bergantian tiap harinya.
Pukul setengah satu siang kami pamit pulang. Kebetulan Pak
Din sedang bersiap-siap hendak pergi ke luar. Rasanya berat hati dan kaki kami
meninggalkan tempat penuh kebahagiaan ini. Sebelumnya, Buku Duduk Selingkar dan
Petuah Pohon sudah kuserahkan kepada Fina sebagai kenang-kenangan.
Mengunjungi Kalibening seharian menimbulkan satu paradoks
unik. Di satu sisi, kami merasa hati kami terlengkapi dengan berbagai jamuan
ilmu yang begitu berharga. Namun di sisi lain, seakan ada lubang besar menganga
di hati kami saat berlalu pergi. Ah, mudah-mudahan kelak bisa berkunjung ke
tempat ini lagi.
Kami lanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati panorama cerah
gunung Merbabu, menyapa para pengguna jalan dan tukang becak antik dengan
kostum bolanya. Sesampainya di Magelang, kami mampir di galeri seni rupa OHD
Museum. Itu pun sempat nyasar sebab navigasi Mukid yang –seperti biasanya-
absurd. Untung ada adik-adik manis dan Pak Haji yang menjadi penunjuk jalan.
Lepas Maghrib kami sampai di Drono, membawa oleh-oleh berupa semangat bak bara
api yang menyala-nyala di dalam hati.
![]() |
Mampir di galeri seni rupa OHD Museum, Magelang |
“Bagaimana menurutmu tentang Kalibening, Kid?” tanyaku pada
Mukid sambil rebahan, capek. Seperti biasa, di momen-momen santai kami
membincangkan kembali apa yang sudah kami liat dan dengarkan.
“Wah, aku suka semua tentang Kalibening. Udaranya,
pepohonannya, airnya, dan orang-orangnya,” sahut Mukid menerawang langit-langit.
“Menurutku,” sela Sutri, “Ini baru pendidikan yang
benar-benar mendidik. Kalau ingin merdeka ya tak harus sekolah, tapi belajar,
belajar, belajar, dan berekspresilah!”
“Kalau menurutmu gimana, Lis?”
“Keren! Komunitas Belajar ini salah satu bentuk nyata
pendidikan humanis. Humanisasi ini adalah proses terbaik. Setiap individu
diberdayakan dan dioptimalkan fitrah bawaannya. Sehingga dengan keinginan
sendiri bisa menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya,” jawab
Salis.
“Setuju Lis!” sambar Syafak, “Praktek belajar yang dilakukan
di KBQT persis nama facebook-ku; Manjadda Wajada, hehehe, siapa
bersungguh-sungguh akan berhasil. Di KBQT ini, jika kita tidak berusaha maka
kita tidak akan mendapat hasil. Di sini siswa tidak disuapi guru, tapi siswa
mencari sendiri. Menjadikan anak semakin mandiri, berpikiran luas, menghargai
sesama dan tidak fanatik.”
“Suasana di Qoryah Thoyyibah sangat berbeda dengan
sekolah-sekolah yang bertahun-tahun kita terkurung di dalamnya,” sambung Adam, “Kita
terbelenggu dan tak mengenal siapa sejatinya diri kita. Mengunjungi Qoryah
Thoyyibah, kita mendapat nilai-nilai yang sangat berharga. Semoga dapat kita
kembangkan di daerah kita masing-masing sesuai dengan konteks masing-masing
pula.”
Betul apa kata Adam. Kunjungan kami ke Kalibening bukan
untuk memenuhi tugas kuliah, penelitian skripsi maupun observasi formal dari
institusi. Kami betul-betul ingin menggali ilmu di sana untuk diterapkan di
lingkungan kami masing-masing. Yak! Aku sepakat dengan kawan-kawanku. Rasanya
bahagia mendengar pendapat-pendapat mereka.
Kalau kesanku pribadi, ah, suatu anugerah bisa menyimak
paparan konsep filosofis dan idealisme Pak Din, menikmati dinginnya hawa
berbalut kehangatan relijius warga desa sana, mengamati asyiknya proses belajar
para siswa Qoryah Thoyyibah, serta menyelami ketulusan pengabdian para
pendamping. Ah, tak bisa disangkal, hatiku nyangkut di Kalibening!
~
Selingkar Salatiga – Jogja, 3 – 6 Maret 2015
Akomodasi: Adam
Dokumentasi: Syafak, Salis, Sutri
Navigasi: Mukid
Juru Tulis: Zia