Album Perjalanan: Ngaji di Kalibening [Bagian III ~ Para Pendamping]

(Lanjutan dari Bagian I ~ Sowan dan Bagian II ~ Berbagi)

Lingkaran sharing makin ramai. Selain Fina, Taufik dan Dedi, hadir pula Hana, Isna, Hasni, Isa dan Isma. Ada juga ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni, mereka pendamping senior yang sudah bertungkus lumus dan kenyang asam garam pengalaman di komunitas belajar ini.

“Sebenarnya Mas-mas ini kumpulan apa sih?” tanya Isa kepada kami, penuh tanda tanya di atas kepalanya. Salah seorang siswa KBQT malah menyebut kami mirip Yakuza (preman Jepang), mungkin sebab tampang yang seram dan busana hitam-hitam. Waduh, aku pun memperkenalkan rombongan kami biar tak terjadi kesalahpahaman, kalau kami dikira artis dari ibukota ‘kan bahaya.

Ada Mukid Purwodadi, perenung liar yang sedang merampungkan skripsinya. Ada Sutri Lampung, hafidz Al-Qur’an yang bercita-cita terjun di masyarakat kampungnya yang masih belum sadar pendidikan. Ada Adam Sleman, mahasiswa pascasarjana yang mengelola pesantren panti asuhan Zuhriyyah di desanya. Ada Syafak Malang, kepala madrasah diniyyah yang bernaung di bawah payung yayasan Zuhriyyah. Ada Salis Purworejo, mahasiswa pascasarjana yang diamanahi membimbing para santri di salah satu pesantren Jogja. Dan ada aku, Zia Tegal, entah siapa.

“Kami ini satu jurusan di kampus, fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,” jelasku, “Namun kami merasa ada luapan-luapan gagasan dan kegelisahan yang tidak bisa ditampung di ruang-ruang kelas perkuliahan. Maka kami pun menggelar forum diskusi santai di luar kelas dengan tema yang ingin kami pelajari dan pahami, tidak terikat oleh kurikulum kampus. Ya walaupun kadang kami membincangkan materi-materi perkuliahan juga, tentu dengan format yang asyik dan santai, demokratis.

Forum diskusi santai ini kami beri nama ‘Selingkar’. Di situ kami membahas keingintahuan tentang apa saja. Pernah kami ingin memahami lokalisasi di Jogja, maka kamipun turun ke sana, berdialog dengan beberapa pelaku di sana, lalu mendiskusikan itu, kemudian mengambil sari hikmahnya. Kami ingin tahu tentang rokok, maka kami mendatangkan teman yang pernah magang di perusahaan rokok, lalu kami diskusi dan belajar mengarifi isu-isu tentang rokok. Kami juga kerap mengunjungi acara-acara kreatif yang bertebaran di seantero Jogja, kemudian berbincang santai di sana. Ya macem-macem tema kami diskusikan. Jadi, apa yang kami diskusikan berdasarkan apa yang ingin kami pelajari. Sumber-sumbernya kami buru dan cari sendiri,”

Penjelasanku tentang Selingkar terasa serasi dengan apa yang sudah kami lihat dan dengar di KBQT. Kami datang ke tempat ini murni sebab ingin belajar, bukan tuntutan apa-apa dari siapa-siapa. Keakraban di antara kami saat itu menyiratkan kecocokan. Kami merasa berada pada frekuensi yang sama dengan warga KBQT sehingga nyambung dan enjoy. Keserasian frekuensi itu pula yang mendorong kami berkunjung ke Kalibening. Betapa Tuhan Maha Menakdirkan.

Mendampingi dengan Hati
“Selama ini yang kami pahami, di kelas harus ada guru. Tapi di sini memakai konsep ‘pendamping’, bagaimana prosesnya?” tanya Adam kepada ‘Bu’ Eli.

“Panjang, Mas. Kalau diceritakan dari awal, saya bisa mrebes mili.”

Suasana jadi hening seketika. Mendung menggelayut langit Salatiga. Lentingan biola bernada hampa terdengar dari langit di atas sana. Air mata mengalir dimana-mana. Hehe, nggak ding, itu hiperbola. Hahaha.

“Sebagai pendamping,” terang ‘Bu’ Eli, “Kami harus berusaha memahami karakter masing-masing anak, sekaligus potensi dan passion yang ada pada diri mereka. Kami menemani mereka menuangkan ide, membaca kecenderungannya masing-masing, dan memfasilitasi masing-masing anak berkarya serta mewujudkan idenya.”

“Di komunitas belajar yang bebas ekspresif ini, pernahkah terjadi keliaran-keliaran ekspresi anak-anak yang bisa dianggap over?” tanyaku penasaran. Mendadak teman-teman KBQT kompak menengok ke arah Hasni, remaja putri yang begitu aktif.

“Heh! Kenapa pada nengok ke sini?!” sergah Hasni. Semua ketawa geli.

“Ya tentu saja ada, Mas,” tutur ‘Bu’ Eli. “Dulu pernah ada siswa sini yang kelewat nakal. Bolos ke Jakarta buat nonton bola. Di sana malah kenal minuman keras, kenal rokok. Maka saya harus menggunakan pendekatan personal, kami ngobrol empat mata. Saya sambangi juga orang tuanya. Awalnya memang sempat ada ketegangan, namun ternyata berhasil. Anak itu malah bersyukur dan berterima kasih atas sikap saya itu.”

“Kalau di sekolah-sekolah formal, biasanya guru ditagih orang tua murid tentang pencapaian anak-anaknya di sekolah. Di sini bagaimana?” tanya Salis yang disebut Hasni dengan nama baru; ‘Sales’.

“Iya Mas,” kata ‘Bu’ Eli. “Untuk itulah komunikasi personal sangat penting. Kadang orang tua memiliki estimasi tertentu buat anak-anaknya, dan estimasi itu disetarakan dengan pencapaian di sekolah-sekolah umum. Misalnya bisa matematika, bahasa Inggris, atau semacamnya. Maka kami sebagai pendamping harus memberikan pemahaman tentang tujuan KBQT, tentang potensi anaknya, serta kecenderungan karya mereka. Dan alhamdulillah, para orang tua bisa memahami dan malah bersyukur.”

“Adakah trik khusus untuk menjalin komunikasi dalam rangka memahamkan wali murid?” Syafak bertanya. Maklum, sebagai kepala madrasah diniyah, kesehariannya memang harus sering-sering berhubungan dengan wali murid.

“Kalau trik khusus sih nggak ada ya, Mas. Tapi yang penting ya unggah-ungguh sebagaimana lazimnya orang Jawa saja,” jawab ‘Bu’ Eli.

Sepanjang perjalanannya mendampingi anak-anak di KBQT, ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni menekankan pentingnya proses serta pengertian seorang pendamping terhadap murid-muridnya. Satu kesadaran yang perlu dipahami adalah bahwa tidak hanya anak-anak yang belajar dan berproses, para pendamping juga mengalami hal serupa. Latar belakang mereka dahulu adalah pengajar di lembaga formal, maka ketika mulai mengabdikan diri sebagai pendamping di KBQT, mereka mulai belajar dan berproses menemukan formula yang tepat untuk menemani anak-anak.

Syafak menjeda sejenak obrolan kami. Ia mengajak kami semua menghirup dalam-dalam udara segar Kalibening dan menyerap baik-baik tumpahan pengalaman para pendamping.

“Kunci dari pendampingan ini adalah hati. Hubungan yang terjalin dengan teman-teman maupun orang tua adalah hubungan dari hati ke hati, memahami watak dan selalu bersikap manusiawi,” pungkas ‘Bu’ Eli.

Pertanyaan kemudian menjurus pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis pengelolaan. Bagaimana tata kelola kelas, pendaftaran dan pendataan siswa, kaitan dengan dinas pendidikan setempat, pembiayaan komunitas, hingga hubungan komunitas dengan aktivitas-aktivitas warga sekitar. Namun Mbak Nurul, orang yang menangani hal-hal tersebut, belum bisa kami temui hari itu. Beliau super-duper sibuk dan saat itu sedang ada urusan di kota. Sayang sekali, semoga lain waktu kami bisa ngobrol dengan beliau.

“Ini Mas-masnya dari pesantren ya?” tanya ‘Bu’ Eli.

“Iya, Mbak,” sahutku. “Empat dari kami santri Krapyak, sedangkan yang dua alumni Tebuireng.”

“Wah, bagus sekali kalau model semacam ini bisa diterapkan di pesantren lho Mas. Dahsyat!” kata ‘Bu’ Eli.

Aku jadi teringat oret-oretanku yang berisi konsep mentah tentang lembaga pendidikan cita-citaku dahulu. Sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan ‘umum’ di pesantren tanpa harus mengorbankan ciri salafiah dan tetap optimal, tak sekedar formalitas.

Tentang hal ini, aku coba berbincang dengan Fina, kira-kira bisa atau tidak model KBQT diterapkan di pesantren. Corak pendidikan KBQT yang begitu ekspresif dengan konsep pendampingan sangat kontras dengan gaya pesantren yang sangat kental nuansa ketundukan kepada guru. Kata Fina, bisa saja. Ada beberapa pesantren yang sudah mencobanya.

Mungkin kapan-kapan aku dan kawan-kawan perlu berkunjung dan belajar di pesantren-pesantren itu. Masalahnya, tak sedikit pesantren yang menutup diri dari dunia luar sehingga terasing tanpa memperhatikan potensi murid. Di sisi lain, banyak pesantren yang latah perkembangan lalu mendirikan sekolah formal di dalam lingkungan pesantrennya sehingga kikis identitas salafiahnya. Belum lagi melihat beban yang ditanggung santri dan begitu memberatkan, sehingga menjadikan ketidakteraturan bentuk dan kementahan kemampuan mereka. Tentang konsep ini, sudah kutuangkan secara sederhana di tulisan tentang Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf.

Kepala dan para pendamping Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah
Meski tidak berhasil memahami detail pengelolaan KBQT, setidaknya kami sudah mendapatkan gambaran umumnya. Itu sudah lebih dari cukup. Apalagi ditambah tuangan konsep filosofis dari Pak Din, genjotan semangat dari Kiai Abda, dan limpahan pengalaman dari teman-teman pendamping. Kami betul-betul merasa sedang panen raya!

Apa yang kami pahami di sini mungkin tak bisa diterapkan seratus persen di lingkungan pengabdian kami masing-masing. Namun konsep dan pandangan tentang kemerdekaan berpikir, kesetaraan kesempatan, dan ketulusan pendampingan adalah ilmu tingkat tinggi yang wajib kami amalkan.

Setelah dua jam lebih berbincang, kami berkeliling sekitar KBQT. Melihat-lihat gedung RC yang difungsikan sebagai markas mereka. Nampak anak-anak KBQT sedang berlatih gitar, bermain catur, nonton film dan baca buku. Ada rak-rak buku, perangkat musik, hingga peralatan rekaman.

Ba’da Dzuhur, anak-anak KBQT bersama pendamping berkumpul di serambi masjid. Agendanya adalah Tawashi. Yakni suatu forum ngaji dan menasehati. Dalam forum ini mereka akan mengaji Al-Qur’an, lalu salah satu ‘bocah’ (pinjam istilah Fina) akan didaulat untuk menyampaikan nasehat. Begitu bergantian tiap harinya.

Pukul setengah satu siang kami pamit pulang. Kebetulan Pak Din sedang bersiap-siap hendak pergi ke luar. Rasanya berat hati dan kaki kami meninggalkan tempat penuh kebahagiaan ini. Sebelumnya, Buku Duduk Selingkar dan Petuah Pohon sudah kuserahkan kepada Fina sebagai kenang-kenangan.

Mengunjungi Kalibening seharian menimbulkan satu paradoks unik. Di satu sisi, kami merasa hati kami terlengkapi dengan berbagai jamuan ilmu yang begitu berharga. Namun di sisi lain, seakan ada lubang besar menganga di hati kami saat berlalu pergi. Ah, mudah-mudahan kelak bisa berkunjung ke tempat ini lagi.

Kami lanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati panorama cerah gunung Merbabu, menyapa para pengguna jalan dan tukang becak antik dengan kostum bolanya. Sesampainya di Magelang, kami mampir di galeri seni rupa OHD Museum. Itu pun sempat nyasar sebab navigasi Mukid yang –seperti biasanya- absurd. Untung ada adik-adik manis dan Pak Haji yang menjadi penunjuk jalan. Lepas Maghrib kami sampai di Drono, membawa oleh-oleh berupa semangat bak bara api yang menyala-nyala di dalam hati.

Mampir di galeri seni rupa OHD Museum, Magelang
“Bagaimana menurutmu tentang Kalibening, Kid?” tanyaku pada Mukid sambil rebahan, capek. Seperti biasa, di momen-momen santai kami membincangkan kembali apa yang sudah kami liat dan dengarkan.

“Wah, aku suka semua tentang Kalibening. Udaranya, pepohonannya, airnya, dan orang-orangnya,” sahut Mukid menerawang langit-langit.

“Menurutku,” sela Sutri, “Ini baru pendidikan yang benar-benar mendidik. Kalau ingin merdeka ya tak harus sekolah, tapi belajar, belajar, belajar, dan berekspresilah!”

“Kalau menurutmu gimana, Lis?”

“Keren! Komunitas Belajar ini salah satu bentuk nyata pendidikan humanis. Humanisasi ini adalah proses terbaik. Setiap individu diberdayakan dan dioptimalkan fitrah bawaannya. Sehingga dengan keinginan sendiri bisa menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya,” jawab Salis.

“Setuju Lis!” sambar Syafak, “Praktek belajar yang dilakukan di KBQT persis nama facebook-ku; Manjadda Wajada, hehehe, siapa bersungguh-sungguh akan berhasil. Di KBQT ini, jika kita tidak berusaha maka kita tidak akan mendapat hasil. Di sini siswa tidak disuapi guru, tapi siswa mencari sendiri. Menjadikan anak semakin mandiri, berpikiran luas, menghargai sesama dan tidak fanatik.”

“Suasana di Qoryah Thoyyibah sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang bertahun-tahun kita terkurung di dalamnya,” sambung Adam, “Kita terbelenggu dan tak mengenal siapa sejatinya diri kita. Mengunjungi Qoryah Thoyyibah, kita mendapat nilai-nilai yang sangat berharga. Semoga dapat kita kembangkan di daerah kita masing-masing sesuai dengan konteks masing-masing pula.”

Betul apa kata Adam. Kunjungan kami ke Kalibening bukan untuk memenuhi tugas kuliah, penelitian skripsi maupun observasi formal dari institusi. Kami betul-betul ingin menggali ilmu di sana untuk diterapkan di lingkungan kami masing-masing. Yak! Aku sepakat dengan kawan-kawanku. Rasanya bahagia mendengar pendapat-pendapat mereka.

Kalau kesanku pribadi, ah, suatu anugerah bisa menyimak paparan konsep filosofis dan idealisme Pak Din, menikmati dinginnya hawa berbalut kehangatan relijius warga desa sana, mengamati asyiknya proses belajar para siswa Qoryah Thoyyibah, serta menyelami ketulusan pengabdian para pendamping. Ah, tak bisa disangkal, hatiku nyangkut di Kalibening!

~
Selingkar Salatiga – Jogja, 3 – 6 Maret 2015
Akomodasi: Adam
Dokumentasi: Syafak, Salis, Sutri
Navigasi: Mukid
Juru Tulis: Zia

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya