Lotek Bu Minah [cerpen]

Matahari baru saja menyibak selimutnya, ruang tengah keluarga Bu Minah nampak ramai. Pak Dul dan putrinya, Arum, sedang menikmati santap pagi sambil bercakap ringan. Meski hanya nasi putih, tempe goreng, sambal kecap dan oseng buncis, mereka nampak menikmati sekali.

“PR-nya sudah digarap, Nduk?” tanya Pak Dul kepada putrinya, siswi sekolah dasar negeri di kampung sebelah.

“Sudah Pak,” jawab Arum singkat sambil melahap tempe gorengnya.

Selesai sarapan, Pak Dul meraih topi dan handuk kecil khas pengayuh becak. Pagi-pagi begini, pasar selalu ramai. Para pelanggan tetapnya sudah menunggu. Ia tak boleh telat memburu rejeki.

“Bapak berangkat dulu ya, Bu,”

“Iya, Pak..” sahut Bu Minah sambil memberikan sebotol besar air putih matang. Tak lupa, sambil tersenyum, “Ati-ati yo Pak..”

Di teras rumah ada Mak Ijah, ibu Pak Dul yang sedang duduk di atas kursi bambu, menghirup udara pagi sambil memandangi ayam-ayam bertebaran di halaman yang dipagari kembang. Itu memang rutinitas paginya, sejak terkena struk beberapa bulan lalu, geraknya jadi terbatas. Maka duduk di teras adalah cara terbaik untuk menyapa orang-orang biar tak bosan melulu di kamar.

“Mak, berangkat dulu,” pamit Pak Dul, sungkem.

“Iyo, Le..” sahut Mak Ijah sambil tangan kirinya mengelus ubun-ubun putranya itu. Meski Pak Dul sudah beristri dan beranak satu, Mak Ijah tetap saja menganggapnya seperti bocah kemarin sore, yang pulang ke rumah sambil nyengir dengan membawa seember belut dan kaos belepot lumpur.

Pak Dul menggowes pedal becaknya, menyusuri gang depan rumah dan menghilang di tikungan. Sementara di ruang tengah rumah, Bu Minah masih repot dengan kesibukannya. Dua puluh porsi lotek disiapkan Bu Minah buat hari ini. Biasanya dia hanya menyiapkan sepuluh porsi tiap harinya, paling banyak lima belas. Kalau ternyata masih ada yang beli, ia tak melayani, meskipun itu sering terjadi.

Tapi hari ini lain. Dua hari lagi arisan jamiyah di musola. Ia butuh uang lebih untuk ikut nabung arisan, tentu tanpa harus minta suami untuk urusan semacam ini. bagi ibu-ibu sepertinya, arisan kampung sangat bermanfaat sebagai tabungan. Maka hari ini, ia mengharapkan setidaknya delapan porsi akan laku dari sepuluh porsi yang ia tambahkan. Untuk itu, ia harus menyiapkan bayam, ketupat, mentimun, tauge, dan tentunya bumbu kacang lebih banyak dari biasanya.

Arum, bocah kelas lima SD yang sudah lengkap berseragam itu pun ikut membantu merebus ikat-ikat bayam untuk dilayukan. Itulah tugasnya tiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Meski hanya di kampung sebelah, sekolahnya terhitung cukup jauh, lima belas menit jalan kaki. Sekarang jam enam lebih empat puluh, maka waktu untuk membantu ibunya masih lima menit lagi.


~


“Naaah! Mangan Naah..” seru Mak Ijah dari teras depan, memanggil menantunya. Tak bisa wanita tua itu makan sendiri, ia musti disuapi.

“Sebentar Maaak!” sahut Bu Minah yang sedang membersihkan cepon. Lontong ketupatnya sudah matang dan harus segera diangkat.

“Naaaah! Mangan Naah..” lagi-lagi Mak Ijah memanggil minta sarapan.

“Iya Maaak! Sebentaar!” teriak sang menantu agak ketus. Biasanya juga sarapan agak siang kok, pikirnya. Tutup panci dibuka dan membumbunglah uap panas tanakan ketupat.

“Naaah!” panggil ibu mertuanya lagi.

Kali ini panggilan itu tak ia jawab. Biar saja, nanti juga capek sendiri. Bisa lembek ketupat-ketupat itu kalau tak segera diangkat. Kain perca ia ambil untuk mengangkat panci dari kompor. Kuping panci ia pegang, lalu… nyoss! Bu Minah terlonjak, telunjuknya tak terlindungi kain sehingga langsung tersengat panasnya kuping panci.

Meringis rupa Bu Minah menahan panas. Meski tak seberapa fatal, ia langsung teringat mertuanya yang minta makan. Tak memanggil-manggil lagi, pasti marah karena tak kunjung dilayani. Biarpun hidup serba pas-pasan, Pak Dul selalu mewanti-wanti Minah untuk peka terhadap hal-hal seperti ini, terutama yang berkaitan dengan ibu. Segera ia selesaikan mengangkat panci, lalu mengambil sepiring nasi beserta lauk dan air putih hangat.

“Nduk, angkatin ketupatnya ya!” perintah Bu Minah kepada Arum yang sedang mulai mengikat tali sepatu.

“Tapi aku mau berangkat, Buu..” sergah Arum cemberut.

“Sudah angkatin aja sana, nanti lembek ketupatnya,”

Arum masih bergeming dengan dahi berkerut dan bibir maju ke depan.

“Nanti nggak Ibu kasih sangu lho, sana!” ancam Bu Minah.

“Huh!” desus Arum sambil melepas sepatu lalu kembali ke dapur. Bu Minah langsung menuju teras rumah.

“Mak, maaf lama. Ayo makan dulu,” ujar Bu Minah berjongkok menawarkan makan kepada mertuanya.

“Belum lapar,” sahut Mak Ijah datar. Mungkin masih kesal karena sikap menantunya barusan. Bu Minah tak berkomentar, ia hanya tersenyum kecut sambil tetap menyendokkan nasi.

“Bismillaahirrohmaanirrohiim, aaa,” sodor Bu Minah mengarahkan tangan ke mulut mertuanya. Diperlakukan seperti itu, juga memang lapar, Mak Ijah luluh dan mau makan.

“Anakmu kelas berapa?” tanya Mak Ijah kepada Bu Minah tentang cucunya, Arum.

“Lima SD, Mak,” jawab Bu Minah.

“Lhoh, sudah besar ya,” sahut nenek itu sambil mengunyah nasi di mulutnya.

Percakapan-percakapan ringan semacam ini mengusir rasa sepi yang sering dirasakan Mak Ijah. Suaminya, Mbah Sajid, meninggal setahun lalu. Tiga anaknya merantau di luar pulau. Kondisinya jelas tak memungkinkannya hidup sendirian. Hanya Dul, putra bontot beserta istrinya yang bisa merawatnya sekarang.

“Bu, aku berangkat dulu!” seru Arum tergesa-gesa.

“Iya, Nduk.” Bu Minah memberikan dua lembar dua ribuan untuk sangu putrinya. Setelah sungkem kepada ibu dan neneknya, anak lincah itu langsung melenggang lari melontar salam.

“Jangan lari-lariii!” seru ibunya dari kejauhan. Melewati tikungan ia tak lagi kelihatan dari teras rumah, langkah Arum justru melambat.


~


Bu Guru pasti marah, gerutu Arum dalam hati. Tempo hari, Si Ira kawannya, bocah keriting dengan tubuh tambun, terlambat dan harus dihukum menyanyi sambil berdiri satu kaki. Seluruh kelas ramai tertawa mengejek. Mengingat itu, jelas Arum ketakutan, takut malu mengalami nasib serupa.

Langkahnya semakin cepat dengan pikiran yang masih melayang. Sepanjang jalan, kepalanya menunduk menatap aspal, seakan-akan mencari koin-koin keberuntungan di sana. Siapa tahu ada petunjuk untuk dibuat alasan keterlambatannya. Melamun begitu, ia tak sadar ada gundukan polisi tidur di depan.

Duk! Kakinya tersandung, hampir tersungkur. Dengan begitu, ia tersadar dari lamunannya.

Tin! Tiiiin! Tiiiiiiiin!

Ternyata dari tadi ada mobil meraung-raung di belakang Arum, ia menoleh kaget dan menyadari posisinya tepat agak ke tengah jalan. Ia pun melompat minggir dan membiarkan Avanza itu lewat. Tepat di belakang mobil, temannya, Si Ira, muncul dengan sepeda jengkinya.

“Aaaruuum! Ternyata kamu yang halangi jalaaan!” seru Ira kaget.

“Eh, Ira!” sahut Arum tak kalah kaget.

“Yuk bonceng aku!” ajak Ira. Sepertinya ia sudah mengantisipasi kebiasaan telatnya dengan sepeda. Sehingga jalannya yang lelet tak jadi alasan lagi buat terlambat.

“Ayo, ayo, ayo,” sambut Arum sumringah.


~


Dua puluh meter dari lampu bangjo, mobil itu melaju makin cepat. Gara-gara bocah SD yang melamun di tengah jalan, seorang pemuda jadi terburu-buru mengejar lampu merah. Sialnya, bangjo di pertigaan kecil depan sana terkenal paling lama, karena memakan waktu sampai satu setengah menit. Padahal satu menit saja bengong di lampu merah bisa mengakibatkan keterlambatan belasan menit.

Pemuda itu, Galih namanya, harus segera sampai di kantor. Pagi ini dia harus presentasi rancangan proyek baru di hadapan si bos. Di jok belakang, sepaket maket proyek sudah ia siapkan. Dua puluh menit lagi presentasi dibuka, tentu beberapa menit sebelumnya ia harus persiapan matang.

Untuk itulah ia mempercepat laju mobil, mumpung lampu masih menyala kuning, jangan sampai terjebak lampu merah. Lima meter sebelum bangjo, lampu menyala merah. Merasa tanggung, ia terus menancap gas sampai pol. Toh pertiaan terlihat masih sepi dari arah giliran arus sebelah kiri.

Begitu memasuki melewati pertigaan ke arah kanan, meluncur sepeda onthel dari arah kiri depan hendak membelok ke kanan. Galih panik dan menginjak pedal rem mendadak.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiit! Mobil berhenti di tengah perempatan.

Pengayuh sepeda reflek banting setang ke kiri, membelokkan laju sepedanya menghindari mobil. Sial, sebab gerakan mendadak, sepeda itu justru oleng, pengemudinya terpelanting ke aspal. Braaak!

Sepersekian detik semua terasa senyap. Galih ternganga hampir tak percaya apa yang sedang dialaminya. Mobil langsung ia tepikan agar tak mengganggu lalu lintas. Turun Galih dengan kepanikan luar biasa, pengayuh sepeda nampak sedang dikerubung beberapa pejalan kaki yang melintas.

“Maaf! Maaf! Permisi!” seru Galih menyibak kerumunan.

“Wah ini orangnya! Ngawur sampean, Mas!” sentak seorang bapak.

Galih berkali-kali minta maaf sambil menahan malu bagai pelaku tindak kriminal keji. Korban kecelakaan itu tergeletak tak sadarkan diri. Ternyata sosok gadis muda berkerudung hitam dan terusan coklat muda yang hampir ia tabrak. Dari pelipisnya nampak mengalir darah segar. Sepertinya ada benturan di kepala yang membuatnya pingsan.

“Sampean harus tanggung jawab, Mas!”

“Iya, Pak! Pasti!”

Dibantu beberapa orang, gadis naas itu diantar Galih ke rumah sakit terdekat, hanya beberapa ratus meter dari lokasi kejadian. Di ruang tunggu UGD, pemuda itu gelisah bukan main. Kecelakaan ini, presentasi, ah! Ruwet pikirannya.

“Maaf,” sapa dokter, “Anda kerabat Mbak yang tadi?”

“Oh bukan, Dok,” sahut Galih was-was, “Saya yang hampir nabrak tadi. Bagaimana kondisinya Dok?”

“Ooh, tenang saja Mas. Mbaknya cuma luka ringan, dia pingsan karena benturan di kepala. Juga ada sedikit luka gores di mata kaki. Sudah kami tangani, sekarang biar dia istirahat dulu,” jawab dokter menenangkan.

Galih menghela napas lega. Tak bisa dibayangkan jika terjadi hal-hal mengerikan pada gadis itu. Mimpi apa semalam hingga musti mengalami kesialan demi kesialan begini. Setelah mengurus administrasi, ia bergegas melanjutkan perjalanan ke kantor, sudah jam delapan lima belas, telat seperempat jam.

“Sus, saya mau ke kantor dulu ya,” kata Galih kepada Suster, “Dua jam lagi saya kembali ke sini,” katanya sambil meninggalkan identitas dan nomor untuk dihubungi. Tergesa-gesa ia menuju parkiran, sembari mengirim pesan singkat ke kantor atas keterlambatan. Ia harap, kejadian nahas yang menyebabkan keterlambatan ini bisa dimaklumi bosnya.


~


Tiga jam setelah pingsan, gadis itu mulai membuka mata. Hanya putih memenuhi pandangan. Lalu muncul kunang-kunang dimana-mana. Dilihatnya kanan kiri dengan selang infus menancap di lengan tangannya, ia sadar sedang terbaring di rumah sakit.

“Sus,” panggilnya lirih, “Suster..”

Menyadari gadis itu telah siuman, suster segera memeriksa stabilitas kondisi pasiennya itu. Pintu ruangan terbuka, masuk sosok pemuda dengan mimik wajah harap-harap cemas, meski nampak tersenyum.

“Sus, boleh saya ajak ngobrol Mbaknya?” pinta Galih kepada suster.

“Oh, silakan Mas.”

Galih menggeser kursi ke samping ranjang. Ia duduk di situ sambil menata napas gugupnya.

“Saya Galih, Mbak,” buka pemuda itu, “Saya yang hampir nabrak Njenengan tadi. Saya mohon maaf sedalam-dalamnya ya, Mbak.”

Gadis dengan perban di pelipisnya itu tersenyum merelakan. Dari parasnya, bisa ditaksir usianya di bawah dua puluh lima, ayu dan sederhana.

“Nggak apa-apa, Mas,” sahutnya, “Lain kali hati-hati aja.”

Galih manggut-manggut sambil minta maaf berkali-kali, lalu menceritakan semua kronologi kejadian pagi tadi.

“Kalau boleh tahu, nama Mbak siapa?” tanya Galih.

“Nama saya Milah, Jamilah,” jawab gadis murah senyum itu. Baru kali ini Galih merasa ditembus hawa senyuman sampai ke dalam dadanya. Gadis ini istimewa, benaknya.

“Tadi Njenengan mau kemana Mbak Milah?”

“Saya mau ke pasar, Mas,” jawab gadis itu, “Belanja.”

“Njenengan tinggal di mana?”

“Di Krapyak, Mas.”

“Oh, anak pesantren?”

“Iya.”

“Nanti saya antar pulang ke Krapyak, ya.”

“Nggak usah Mas,” tolak Milah sambil tetap mempertahankan senyumnya, “Saya naik sepeda aja.”

“Sepeda Njenengan rusak Mbak, sudah saya titipkan ke bengkel seberang rumah sakit itu. Paling besok baru bisa saya ambil.”

“Oh,” Milah bengong, “Nanti saya mbecak aja Mas.”

Dia masih menolak tawaran Galih. Bagaimanapun, gadis santri sepertinya masih terlalu risih pergi berdua dengan lelaki asing, apalagi baru ia kenal. Galih memaklumi, dan makin terang binar matanya sebab sikap anggun gadis itu.

“Baiklah,” serah Galih agak kecewa, “Tapi besok sepeda Njenengan tetap saya yang ambilkan ya?”

“Iya, Mas..”

“Nanti saya antarkan ke Krapyak. Setuju?”

“He’em,” angguk Milah mengiyakan.

“Ada nomor yang bisa dihubungi?”

Pintar betul Galih mencari celah kesempatan. Tapi memang sudah waktunya bagi pemuda itu untuk menjalin hubungan. Usianya sudah matang, pekerjaan pun mapan, ya meski masih merangkak-rangkak. Namun tak ada salahnya ia berusaha. Apalagi di hadapannya ada gadis manis yang berhasil memikat hati Galih dengan segala kesederhanaannya.

Di luar, hujan turun begitu deras. Dinginnya cuaca, semakin memperkuat rasa hangat di dalam hati Galih, dan mungkin di hati Milah juga. Setelah kuat berjalan, Milah diantar keluar rumah sakit.

“Pak, bisa antar Mbak ini?” pinta Galih kepada pengayuh becak yang sedang berteduh santai.

“Kemana, Mas?” tanyanya.

“Krapyak Pak.”

Orang itu memandangi gadis yang akan ia antar. Sepertinya ia kenal gadis yang berjalan terhuyung itu.

“Lhoh, Mbak ini kan yang di pesantren, to?”

“Iya, Pak Dul,” jawab Milah tersenyum sumringah melihat tukang becak langganannya dahulu. Ketika masih belum punya sepeda, Milah selalu menggunakan jasa Pak Dul untuk belanja di pasar.

“Ooalaaaah. Ayo Mbak, naik,” ajak Pak Dul sambil memutar posisi becaknya.

“Tolong hati-hati di jalan ya, Pak,” ucap Galih sambil menyisipkan selembar lima puluh ribuan ke kantong kaos Pak Dul. “Nggak usah kembalian, tolong antar sampai tujuan ya Pak. Pokoknya saya titipkan Mbak Milah ini sama Bapak,” katanya. Bukan hanya sebab lega karena Milah kenal baik dengan tukang becak itu, tetapi juga sebab rasa syukur atas kelancaran presentasinya pagi tadi.

Becak melaju. Milah melontar senyum kepada Galih, lalu menutup tirai plastik untuk menghalangi air hujan. Sesimpul senyum itu membuat dada Galih berdegup kencang, tangannya melambai dan senyumnya pun mengembang. Aduhai.


~


Beberapa santri puntri nampak sedang asyik mengobrol di tangga pondok. Sementara lainnya bersandar di teras sambil menghapal entah apa, mungkin ayat-ayat suci atau sajak-sajak pelajaran. Seorang santri keluar dari pintu sambil tolah toleh sekitar.

“Cah! Yu Milah belum balik?”

“Belum Sar, wah kemana ya?” sahut salah seorang dari mereka. Sari, yang ditanya, hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Sudah berjam-jam Jamilah pergi belanja tanpa ada kabar, ponselnya pun ditinggal di kamar. Padahal sebentar lagi masuk dzuhur, mestinya bahan-bahan untuk makan siang para santri sudah bisa dimasak sejam lalu.

Sebagai koordinator piket masak hari itu, Sari jelas kewalahan. Sayur mayur dan bumbu-bumbu dapur yang ditunggu tak kunjung datang. Hendak berbalik kembali masuk, ada seruan dari gerbang.

“Sar! Sari! Yu Milah pulang!”

Setengah berlari, santri itu mendekati Sari sambil mengabarkan,

“Yu Milah kecelakaan! Itu udah sampai depan gerbang dianter tukang becak!”

Sari dan kawan-kawan terbelalak. Dua santri mengambil payung, lalu menyusul Milah di depan gerbang. Keduanya menuntun Milah masuk ke aula pondok, ia mulai dikerubungi santri-santri yang penasaran.

“Oalah Miiiil, aku kira kamu diculik begal lho!” cetus Rahma sambil menggoyang-goyang bahu Milah.

“Hush! Ngawur kamu!” sela Sari sambil menyuguhkan air putih hangat. Mulai dari A sampai Z, Milah cerita semuanya.

“Maaf ya temen-temen, jadi nggak belanja hari ini. Masaknya gimana?” sesal Milah.

“Nggak apa-apa Mil,” kata Sari, “Hari ini masaknya libur dulu.”

“Hoooreeee!” seru Ijul dan Hurun, pasangan koki yang piket hari itu.


~


Lingkungan pondok terletak di lingkup kota, namun tata letak dan bangunan-bangunan sederhana lebih menggambarkan daerah itu selayaknya desa. Bukannya mereda, makin siang hujan malah makin deras. Biasanya, hujan begini bisa sampai sore.

Jalanan tak seramai biasanya. Beberapa ruas jalan nampak tergenang sebab got mampet, aliran air tak tersalurkan. Begitu pun nasib warung lotek Bu Minah. Lima puluh meter dari pondok. Sepi pembeli, hanya ada dia dan siaran radio butut cemprengnya.

“Selamat tinggal Teluk Bayur permai.. daku pergi jauh ke negeri seberaang..” dendang Ernie Djohan lewat program nostalgia radio itu.

Bu Minah melamun, dendang lagu syahdu tak mampu menghibur suasana hatinya. Empat belas porsi ketupat masih tergantung di atas cobek. Biasanya habis dzuhur begini dagangannya sudah ludes, paling banyak sisa dua porsi. Hari ini dia kecele. Empat porsi normal masih tersisa, apalagi porsi tambahan yang telah repot disiapkannya, masih utuh semua.

“Bu!”

Perempuan itu tersentak.

“Ngelamun ya?” sapa gadis berpayung di hadapannya. Sangkin ngelanturnya, Bu Minah sampai tak menyadari kedatangan orang ke warungnya.

“Eh, Mbak Pondok ya?” kata Bu Minah, lupa nama, “Lama gak kelihatan nih, Mbak.”

“Hehe, iya Bu. Buatin lotek ya, Bu,” ujar Sari sambil melihat-lihat ketupat-ketupat yang masih banyak menggantung.

“O, iya Mbak. Berapa?”

“Sepuluh ada?”

“Hah?”

“Sebelas ding, sebelas. Ada to, Bu?”

“A, a, ada Mbak. Ada,” gagap Bu Minah, “Banyak banget Mba..”

“Iya, tadi di komplek nggak jadi masak Bu,” terang Sari, “Hujan pula. Mau jauh-jauh juga males, yang deket aja lah. Penting kenyang.”

“Oooalah, ya silakan duduk dulu Mbak, saya bikinkan lotek istimewa. Sabar yaa..”

Sari mengangguk sambil meletakkan payungnya, ia duduk menunggu dan mulai tenggelam di layar ponselnya.

Bu Minah segera beraksi, sigap meracik bumbu dan merajang sayur-sayuran. “Alhamdulillaaaaah,” bisiknya lirih, plong meleleh-leleh.

Lukisan Warli, oleh Jivya Soma Mashe (India, 1970)
~
Krapyak, 15/03/2015

1 Comments

  1. Seru sekali saya membacanya kang. Saya jadi ingin terus membayangkan sosok perempuan itu. Bagaimana kelanjutannya kang? Saya menunggu😊

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya