Dalam romantisme kehidupan pesantren, hubungan antara kiai dan santri adalah pusatnya. Tidak seperti pola pendidikan sekuler yang lebih mementingkan materi pengetahuan, sehingga ada atau tidaknya guru menjadi tak penting, lalu setiap orang bebas menggali pengetahuan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Tidak begitu dengan karakter pesantren.
Ada asupan-asupan yang tidak bisa didapatkan dari skriptur-skriptur tertulis atau media-media secanggih apapun. Karena asupan-asupan ini bukan muatan yang sekedar tersimpan di memori, tapi menembus hingga inti kesadaran manusia sebagai makhluk berjiwa.
Ibarat air hujan, ia jatuh di hamparan tanah kering, lalu meresap dan membasahinya dari dalam. Tak sekedar tertampung di mangkuk porselin yang mengkilap. Proses peresapan itu hanya bisa terjadi dengan koneksi antara kiai dan santri.
Hubungan yang dimaksud di sini tak melulu kontak fisik dengan pertemuan atau obrolan. Tak sekedar kehadiran saat pengajian atau kunjungan rutin sowan. Itu memang penting, namun ada sisi penting yang lain, yakni keterpautan jiwa.
Ada semacam kontrak spiritual antara kiai dan santri, merajut satu kontak batin satu arah dari guru kepada muridnya. Tidak ada profit materil dalam kontrak semacam ini, hanya ada proses regenerasi ‘manusia’ serta pembimbingan kesiapan hidup dan mati. Terutama bila kiai yang dimaksud adalah sosok dengan daya batin ampuh. Dalam tradisi tarekat, bisa lebih ketat lagi.
Dengan adanya keterpautan ini, isyarat dan perilaku kiai bisa menjadi ‘asupan’ bagi santri, yakni asupan yang tak sekedar pengetahuan, tapi juga pemahaman dan kebijaksanaan. Dengan keterpautan itu pula, tingkah polah santri bisa terkontrol dan terpagari dari hal-hal yang bisa memerosokkan diri ke dalam gelapnya jurang kehingar-bingaran, kericuhan, dan segala bentuk kepalsuan.
Peran kiai sangat terasa di sini. Ketika si santri terlampau lalai, maka kiainya akan menegur dengan cara yang sama sekali tak dinyana. Contohnya melalui mimpi.
Alan, sebut saja begitu, seorang santri penghapal Qur’an di sebuah pesantren tua pulau Jawa. Ia ‘mengikatkan diri’ sebagai murid kepada seorang kiai sepuh pewaris trah keilmuan dan kewibawaan para wali.
Secara formal, tugas utama Alan di pesantren itu adalah mengaji, yakni setoran hapalan Al-Qur’an dan menjaga hapalannya. Namun sial, sudah hampir setengah dasawarsa Alan mengaji, hapalannya masih saja tak nambah-nambah. Selain tak begitu hobi menghapal, Alan juga sok sibuk dengan berbagai kegiatan yang menurutnya penting sebagai pendewasaan, mumpung masih muda.
Namun segala pengalihan itu justru membuat tugas utamanya terbengkalai.
Dua minggu berlalu tanpa setoran. Alan terlampau sibuk dengan beragam job remeh temehnya. Di malam hari ketika tidur, ia bermimpi bertemu kiainya. Di situ, Alan seakan-akan sedang sowan bersama seorang kawan. Uniknya, kiai hanya mengajak bicara kawan Alan, sedangkan Alan sendiri didiamkan.
Alan terbangun dan introspeksi. Ia yakin, mimpi ini adalah teguran teramat halus dari kiai. Persis seperti yang dialami santri-santri lain yang kepalang ndableg, mereka juga kerap didatangi kiai dalam mimpi.
Mestinya setelah itu ia ‘tobat’, namun Alan masih kalah dengan hawa nafsunya. Selang sebulan kemudian, Alan belum juga berangkat setoran. Nanti, nanti, dan nanti, begitu janjinya dalam hati. Tentu saja dia sedang tertipu oleh dirinya sendiri.
Maka suatu malam, lagi-lagi gurunya ‘datang’ dalam mimpi. Kali ini Alan duduk sendiri di hadapan kiainya dan dua kiai lain. Tidak ada perbincangan, di sana Alan hanya salaman. Salaman kepada gurunya, lalu kepada kiai di samping kiainya, lalu ketika minta salaman dengan kiai terakhir yang terkenal aneh, ia ditolak. Lagi-lagi Alan terbangun dengan penyesalan. Mimpi itu membuatnya bertekad untuk kembali setoran.
Tapi dasar anak bandel, pas sebulan kemudian, dia masih saja kelayaban tak jelas. Kesana kemari sok menggali pengalaman dan melalaikan tugas. Maka untuk ketiga kalinya dalam jarak yang tak begitu lama, ia kembali bermimpi.
Kali ini sang kiai duduk dikelilingi para santri yang hendak setoran. Alan duduk di barisan kedua, sedang antri setoran. Lalu ketika gilirannya hampir tiba, Alan justru melengos keluar, dia pergi.
Tentu Alan terbangun dengan sesal yang berlipat-lipat. Kalau kali ini ia tak segera tobat, berarti bandelnya sudah keterlaluan.
Mimpi pertama, seakan-akan mengatakan agar Alan mau muncul di hadapan kiai, dalam momen apapun meski tidak setoran. Mimpi kedua lebih lugas, seakan-akan menyuruh Alan untuk sowan menghadap kiai. Mimpi ketiga paling jelas dan tegas, Alan diposisikan sedang setoran dan kabur! Seakan-akan mengatakan; sampai kapan kabur dari tugas?!
~
Krapyak, 19 Maret 2015
Tidak begitu dengan karakter pesantren.
Ada asupan-asupan yang tidak bisa didapatkan dari skriptur-skriptur tertulis atau media-media secanggih apapun. Karena asupan-asupan ini bukan muatan yang sekedar tersimpan di memori, tapi menembus hingga inti kesadaran manusia sebagai makhluk berjiwa.
Ibarat air hujan, ia jatuh di hamparan tanah kering, lalu meresap dan membasahinya dari dalam. Tak sekedar tertampung di mangkuk porselin yang mengkilap. Proses peresapan itu hanya bisa terjadi dengan koneksi antara kiai dan santri.
![]() |
al-Barokatu Mastuurotun, by Zia |
Ada semacam kontrak spiritual antara kiai dan santri, merajut satu kontak batin satu arah dari guru kepada muridnya. Tidak ada profit materil dalam kontrak semacam ini, hanya ada proses regenerasi ‘manusia’ serta pembimbingan kesiapan hidup dan mati. Terutama bila kiai yang dimaksud adalah sosok dengan daya batin ampuh. Dalam tradisi tarekat, bisa lebih ketat lagi.
Dengan adanya keterpautan ini, isyarat dan perilaku kiai bisa menjadi ‘asupan’ bagi santri, yakni asupan yang tak sekedar pengetahuan, tapi juga pemahaman dan kebijaksanaan. Dengan keterpautan itu pula, tingkah polah santri bisa terkontrol dan terpagari dari hal-hal yang bisa memerosokkan diri ke dalam gelapnya jurang kehingar-bingaran, kericuhan, dan segala bentuk kepalsuan.
Peran kiai sangat terasa di sini. Ketika si santri terlampau lalai, maka kiainya akan menegur dengan cara yang sama sekali tak dinyana. Contohnya melalui mimpi.
Alan, sebut saja begitu, seorang santri penghapal Qur’an di sebuah pesantren tua pulau Jawa. Ia ‘mengikatkan diri’ sebagai murid kepada seorang kiai sepuh pewaris trah keilmuan dan kewibawaan para wali.
Secara formal, tugas utama Alan di pesantren itu adalah mengaji, yakni setoran hapalan Al-Qur’an dan menjaga hapalannya. Namun sial, sudah hampir setengah dasawarsa Alan mengaji, hapalannya masih saja tak nambah-nambah. Selain tak begitu hobi menghapal, Alan juga sok sibuk dengan berbagai kegiatan yang menurutnya penting sebagai pendewasaan, mumpung masih muda.
Namun segala pengalihan itu justru membuat tugas utamanya terbengkalai.
Dua minggu berlalu tanpa setoran. Alan terlampau sibuk dengan beragam job remeh temehnya. Di malam hari ketika tidur, ia bermimpi bertemu kiainya. Di situ, Alan seakan-akan sedang sowan bersama seorang kawan. Uniknya, kiai hanya mengajak bicara kawan Alan, sedangkan Alan sendiri didiamkan.
Alan terbangun dan introspeksi. Ia yakin, mimpi ini adalah teguran teramat halus dari kiai. Persis seperti yang dialami santri-santri lain yang kepalang ndableg, mereka juga kerap didatangi kiai dalam mimpi.
Mestinya setelah itu ia ‘tobat’, namun Alan masih kalah dengan hawa nafsunya. Selang sebulan kemudian, Alan belum juga berangkat setoran. Nanti, nanti, dan nanti, begitu janjinya dalam hati. Tentu saja dia sedang tertipu oleh dirinya sendiri.
Maka suatu malam, lagi-lagi gurunya ‘datang’ dalam mimpi. Kali ini Alan duduk sendiri di hadapan kiainya dan dua kiai lain. Tidak ada perbincangan, di sana Alan hanya salaman. Salaman kepada gurunya, lalu kepada kiai di samping kiainya, lalu ketika minta salaman dengan kiai terakhir yang terkenal aneh, ia ditolak. Lagi-lagi Alan terbangun dengan penyesalan. Mimpi itu membuatnya bertekad untuk kembali setoran.
Tapi dasar anak bandel, pas sebulan kemudian, dia masih saja kelayaban tak jelas. Kesana kemari sok menggali pengalaman dan melalaikan tugas. Maka untuk ketiga kalinya dalam jarak yang tak begitu lama, ia kembali bermimpi.
Kali ini sang kiai duduk dikelilingi para santri yang hendak setoran. Alan duduk di barisan kedua, sedang antri setoran. Lalu ketika gilirannya hampir tiba, Alan justru melengos keluar, dia pergi.
Tentu Alan terbangun dengan sesal yang berlipat-lipat. Kalau kali ini ia tak segera tobat, berarti bandelnya sudah keterlaluan.
Mimpi pertama, seakan-akan mengatakan agar Alan mau muncul di hadapan kiai, dalam momen apapun meski tidak setoran. Mimpi kedua lebih lugas, seakan-akan menyuruh Alan untuk sowan menghadap kiai. Mimpi ketiga paling jelas dan tegas, Alan diposisikan sedang setoran dan kabur! Seakan-akan mengatakan; sampai kapan kabur dari tugas?!
~
Krapyak, 19 Maret 2015