Unek-unek Bersekolah

Aku punya unek-unek tentang model sekolah yang sudah belasan tahun kulakoni. Terutama sejak jenjang sekolah menengah; SMP dan SMA. Entah kepada siapa bisa kucurahkan unek-unek itu kalau bukan di tembok ratapan ini. Hahahaha.

Kalau jenjang sekolah dasar sih tidak terlalu kupermasalahkan. Karena memang fungsinya sekedar tempat dolan dan bergaul bersama kawan-kawan, sambil belajar membaca, menulis dan berhitung. Tapi kalau sekolah menengah masih berfungsi kayak sekolah dasar, ya nggak banget lah ya, itu buang-buang umur namanya. Jadi, unek-unek ini bersifat otokritik terhadap rekam jejak pendidikan formalku sendiri.

Unek-unek pertama; adanya ketidakfokusan pola belajar di sekolah, lha bagaimana mau fokus, aku disuruh belajar 4 sampai 5 mata pelajaran dalam 6 hingga 7 jam sehari, bagaimana bisa optimal? Padahal aku juga musti ngaji di madrasah sore atau malamnya, belum lagi sebagai remaja aku butuh jalan-jalan dan bergaul. Capek sodara-sodara!

Hal semacam ini dirasakan oleh hampir semua siswa dan merata di semua sekolah. Ketidakefisienan ini melahirkan ketidaktercapaian pemahaman siswa, sehingga muncullah jam tambahan, les mata pelajaran dan semacamnya. Kalau begitu, lalu buat apa mata pelajaran yang dibebanbelajarkan di sekolahan itu? Sangat tidak efisien dong.

Kau belajar Bahasa Inggris di sekolah, sejak SMP sampai SMA, itu berarti sudah enam tahun. Orang yang belajar bahasa selama enam tahun mustinya sudah mahir dengan bahasa itu, minimal ya bisa paham teks berbahasa Inggris, syukur bisa menulis artikel, malah jos lagi bisa lanyah speaking. Tapi nyatanya? Jawab sendiri lah.

Anehnya, justru kau baru bisa reading-writing-speaking dengan baik setelah ikut kursus yang hanya beberapa bulan. Tahu sebabnya? Ya efisiensi dan fokus! Tapi ‘kan tidak semua orang punya minat? Ah, minat bisa ditumbuhkan, dipancing dan distimulus. Lain lagi kalau urusan kecenderungan dan bakat, dua hal itu hanya butuh diarahkan, dan di sekolahan tidak ada upaya optimal untuk itu. Untung masih ada ekstrakurikuler.

Kedua, terlalu banyak pemaksaan pemahaman tanpa melibatkan daya pikir dialogis. Semua mata pelajaran ditransfer searah up-down, tanpa celah untuk berdiskusi, presentasi, dan mengkritisi, bahkan dalam materi sosial humaniora sekalipun. Padahal usia remaja semestinya pikiran siswa dibimbing untuk mulai berpendapat dan bersikap kritis, apalagi berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial. Untuk anak SD mungkin cocok terus disuapi, tapi untuk remaja jenjang menengah sudah waktunya untuk dibimbing menggali, berpendapat dan berdialog.

Coba lihat, ketika anak-anak lulusan SMA itu masuk bangku kuliah. Kemudian mereka dihadapkan pada cara belajar gaya baru, ya mereka kaget karena belum terbiasa. Disuruh presentasi, malah sekedar baca teks. Disuruh berdiskusi, malah berdebat. Itu sebab belum terbiasa dan cara berpikir belum dewasa. Beda halnya dengan anak-anak kuliahan semester tua atau mereka yang melanjutkan ke pascasarjana, sudah beda cara mereka presentasi dan diskusi, lebih matang.

Ketiga, over crowded! Mungkin kelebihan jumlah siswa dalam satu kelas yang menyulitkan untuk diskusi dan berpendapat. Belum lagi kemampuan guru yang sangat terbatas untuk ‘menguasai’ kelas. Bayangkan, satu kelas ada 30-40 kepala. Ya jangan salahkan kalau ada di antara mereka yang tidur di belakang, mainan hape di bawah jendela, atau baca komik di pojok kelas.

Dulu, dalam kondisi seperti itu, aku pernah merenung di samping tembok di bawah jendela kelas. Berpangku dagu sambil menatap langit berarak awan; apa yang kulakukan di sini? Atau saat aku bosan mendengarkan di dalam kelas, lalu mulai corat-coret menggambar, kemudian dihardik oleh guru; kamu ngapain? Mau nggak lulus ujian? Perhatikan! Duh.

Keempat, terlalu banyak tekanan pencapaian dan hawa kompetitif yang membebani pikiran. Setiap siswa dituntut untuk menguasai subjek-subjek yang tidak ia sukai, dan memang tidak berminat terhadap subjek tersebut. Harus mencapai nilai minimal tertentu, kalau tidak ya bisa tinggal kelas, tak lulus, atau apalah.

Pelajaran sekolah dijadikan sebagai hal utama bagi anak sekolah, begitu ditekankan oleh guru maupun orang tua di rumah. Jangan sampai hobi seorang bocah mengganggu pelajarannya di sekolah. Segala hal di lain perkara sekolah adalah urusan sekunder yang tak penting, bahkan mengaji sekalipun. Bedebah! *ups*

Apa gunanya kau bisa otak atik alat-alat elektronik kalau nilai pelajaranmu di sekolah jeblok? Paling-paling kau jadi tukang servis radio. Buat apa kau bisa nggambar kalau nilai matematikamu encok? Begitulah cara berpikir sekolahan. Sama sekali tak menghargai kecenderungan anak. Kualitas siswa diukur dari pencapaian nominal mata pelajaran, khususnya mata pelajaran IPA.

Jaman SMA, jurusan IPA dianggap keren, tempatnya anak-anak pintar. Sedangkan jurusan IPS dianggap sarang anak-anak nakal, cuwakwakan dan tak begitu pintar. What the hell?! Ketika mulai penjurusan dari kelas 1 naik kelas 2, anak-anak diseleksi; siapa yang pantas masuk IPA, siapa yang tersingkir masuk IPS. Memang ada pilihan, tapi itu hanya basa-basi, karena nilai akademiklah yang memutuskan. Ada pilihan ketiga waktu itu; kelas Bahasa, yakni buat mereka yang masuk IPS-pun tak bisa.

Lhah aku justru menjadikan kelas Bahasa sebagai pilihan pertama. Karena –selain seni rupa- aku memang gandrung dengan pelajaran bahasa, saat itu di sekolah ada pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Perancis, di madrasah belajar Bahasa Arab. Maka kelas Bahasa pastinya jadi surga buatku. Eeeeh, berhubung peminat kelas bahasa tak mencapai kuota satu kelas (40 orang), aku terpaksa masuk IPA dengan nilai Biologi yang mepet, selanjutnya saat UAN pun nilai matematikaku kritis sekarat. Oke deh, lupakan.

Kelima, subjek yang disajikan di sekolahan mengawang di langit-langit teori, tidak membumi. Ada ketidakseimbangan antara teori dan praktek aplikatif. Baik itu ilmu eksak maupun sosial humaniora. Tempo hari, seorang kawan mahasiswa pendidikan kimia menyusun satu buku tentang ‘kimia di rumahku’ sebagai pegangannya kelak saat mengajar, keren sekali! Seorang dosen sejarah di kampus mengarahkan para calon guru untuk mengajak murid-muridnya menarik kesesuaian antara kejadian masa lampau dengan masa kini melalui diskusi antarsiswa, ini juga keren sekali! Tapi kenapa saat sekolah dulu, aku nggak mengalami? Ah!

Keenam, pengisian kognisi an sich yang mengabaikan pembimbingan jiwa. Bagaimana bisa membimbing jiwa, lha wong tak ada keterikatan batin antara guru dan murid. Ya kalau keterpautan emosional sih tetap ada, tapi spiritual? Nehi nehi nehi.

Di sekolahan, aku masuk pagi dengan membawa kepala yang terbuka, siap diisi. Duduk manis, gonta-ganti guru sesuai mata pelajaran, aku digilir selama berjam-jam. Lalu pulang siangnya dengan asumsi kepalaku sudah full dengan ilmu pengetahuan yang siap mencerakan dunia! Yeah! Pagi hari ketika masuk, aku merasa segar penuh semangat. Ketika pulang siang harinya, hanya lelah dan penat. Bukankah ini aneh? Semestinya semangat jadi berlipat, tapi ah sudahlah.

Hanya suapan-suapan materi yang ada di sekolahan. Itu pun sudah dirancang sedemikian rupa dengan materi-materi yang kelak akan diujikan. Ya, logika sederhananya; belajar di seklahan untuk menghadapi ujian, ujian untuk ijazah, ijazah untuk pekerjaan, pekerjaan untuk uang, uang untuk makan, makan untuk hidup. Jadi, mau bertahan hidup? Ya harus belajar di sekolahan.

Urusan keteladanan dan pembimbingan jiwa tak digarap secuilpun di sekolahan. Bimbingan dan Konseling? Lebih mengarah pada penggarapan anak-anak bermasalah. Itu bukan tindakan preventif. Di sekolahan, guru sekadar pengajar, kepala sekolah sekadar pucuk administratif di sekolah, tak lebih dari itu. Tak sedikit siswa sekolahan yang justru membully guru-gurunya sendiri, bahkan kepala sekolahnya sendiri. Dengan halus, maupun kasar.

Padahal posisi guru idealnya adalah sebagai orang tua, bukan menggantikan peran orang tua di rumah, hanya melengkapi. Tapi itu takkan terjadi jika tidak ada keterpautan jiwa antara guru dengan murid. Maka ya tak usah heran kalau banyak kasus kenakalan remaja di sekolahan, banyak faktor, salah satunya ya kegersangan di sekolahan.

Ketujuh, keasingan terhadap bakat diri sendiri. Ketika lulus SMP, aku tak punya pertimbangan apapun dalam memilih sekolah lanjutan selain faktor peringkat sekolah. Maka aku mendaftar di sekolah favorit dan keterima. Ketika aku lulus SMA, pertimbanganku memilih kampus pun sama, malah lebih banyak karena faktor ikut-ikutan tren. Aku pun menaftar, dan keterima. Tapi selanjutnya aku plonga-plongo; merasa tidak cocok dan bukan aku banget. Lalu aku mulai sadar bahwa ternyata aku belum mengenal kecenderunganku sendiri. Nah kalau begitu, selama ini aku ngapain?

Hal ini juga banyak dikeluhkan kawan-kawan, tak sedikit dari mereka yang salah jurusan, berontak dari bidangnya, tak optimal dalam lapangan pekerjaannya. Sebab apa? Bukan passion mereka. Mengapa bisa keliru begitu? Sebab tidak dituntun untuk mengenal diri sendiri sejak awal. Jadinya ya setengah-setengah, tak bisa total membaktikan diri dalam bidang yang ia geluti. Sekadar cari duit buat beli nasi, kalau lebih ya buat dugem.

Kedelapan, kebuta-tulian terhadap lingkungan. Ini yang paling kentara di sekolahan. Tembok sekolah betul-betul menjadi pembatas dan penghalang antara siswa di dalam dengan realita lingkungan di luar. Baik lingkungan sosial masyarakat maupun lingkungan alam hayati. Hal ini terjadi mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perkuliahan. Anak-anak sekolahan tidak diperkenalkan dan diakrabkan dengan daerah dimana ia hidup, dengan air yang dia minum, dengan udara yang dia hirup, dengan langit yang ia gunakan bernaung, dengan tanah yang ia pijak. Lalu bagaimana bisa tanggap dengan realita? Bagaimana mau bermimpi menyelesaikan masalah di kehidupan nyata? Bagaimana bisa bercita-cita berguna bagi bangsa dan negara? Guombal!

~
Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf
Dalam kericuhan sekolahan yang sedemikian rupa, sering kulabuhkan langkah ke tempat-tempat sunyi, semisal langgar-langgar di tengah kampung, serambi-serambi masjid, dan makam-makam wali, sendirian. Lontang-lantung tak menentu, mencoba merenungi ketidakberesan yang saat itu belum bisa kuurai.

Saat itu aku juga sering jalan-jalan, melihat-lihat nuansa pendidikan khas rakyat di kampung-kampung: pesantren. Di Al-Falah kidul rumah, di Attauhidiyyah Giren, di Ma’hadut Tholabah Babakan, di Ploso dan Lirboyo. Ah, aku terpesona dengan rasa ta’dzim santri terhadap kiainya. Aku terpesona dengan pengayoman guru kepada murid-muridnya. Aku terpesona dengan keakraban orisinil para santri. Aku terpesona dengan budaya diskusi mereka. Aku terpesona dengan spiritualitas yang tetap terjaga. Dan satu lagi: aku terpesona dengan keayeman lingkungan di dalamnya.

Ah, lalu beberapa tahun kemudian kupikir-pikir, pesantren adalah sistem pendidikan yang bisa melengkapi lubang besar kegersangan dan kebasa-basian di sekolahan. Tapi gawatnya, banyak pesantren yang justru latah mengadopsi model pembelajaran gaya sekolahan di dalam lingkungannya. Perusakan nilai dalam predikat keren: 'pesantren modern' yang berkualitas dan… mahal!

Tidak heran masih ada beberapa kiai di pesantren-pesantren besar yang ‘Say No’ terhadap sekolahan. Menolak mendirikan sekolah formal kapitalis di lingkungan pesantrennya. Tak berlebihan menurutku, itu sikap protektif yang wajar. Dulu aku menganggap mereka kolot dan wagu, tapi kini bisa kumaklumi, dan sangat kumaklumi.

Lalu bagaimana dengan santri yang mau melanjutkan sekolah atau kuliah ke bidang-bidang ilmu non-syariat? Ya dengan ijazah. Caranya? Paket kesetaraan. Mutunya? Ala kadarnya. Inilah masalah yang kemudian muncul. Paket kesetaraan di pesantren hanya basa-basi saja, sekadar cari ijazah. Padahal kalau mau digarap dengan sedikit agak serius, menyeseuaikan dengan gaya belajar ala pesantren, tanpa katut arus sekolahan formal, santri kejar paket bisa sangat jos!

Nah, dari kegundahan itu, kutelaah apa yang salah, kulacak berbagai teori pendidikan, kutelusuri referensi pendidikan, berdiskusi dengan berbagai pihak, kutampung rupa-rupa pandangan dan pengalaman, kukunjungi para pejalan edukasi dan literasi. Kucari-cari bentuk sekolahan yang efektif dan efisien bagi pesantren salaf. Dari hasil racikan itu, lalu kurumuskan hasilnya dalam bentuk konsep ini: Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf.

Yakni bentuk sekolah yang diselenggarakan bagi rakyat dengan berbasis pada pendidikan ala pesantren. Diperuntukkan bagi pesantren salaf yang ingin menggelar pendidikan ilmu-ilmu ‘umum’ tingkat menengah secara efektif dan integratif dengan kultur pesantren. Baik berupa sekolah formal (SMP-SMA) maupun paket kesetaraan.

Model pendidikan ini dirancang sebagai upaya untuk memadukan kajian syariat di pesantren dengan pemahaman wawasan keilmuan umum, dengan gaya pembelajaran yang efektif dan efisien, serta tidak membebani siswa dengan berbagai macam tanggungan belajar. Juga menciptakan atmosfer yang nyaman bagi siswa untuk memahami dirinya sendiri dengan cara menggali ide, maupun mengenal lingkungan ia hidup.

Konsep ini dilandaskan pada tiga basis pemikiran. Sebagai santri, tentu pemikiran pendidikan spiritual ala Imam al-Ghazali sangat menonjol, tentang bagaimana hubungan guru dan murid seharusnya. Lalu sebagai manusia Nusantara, model pendidikan pawiyatan yang telah dirumuskan Ki Hadjar Dewantara sangatlah pas untuk dilestarikan. Kemudian sebagai makhluk sosial yang berpikir, konsep pendidikan dialogis pedagogik yang dikampanyekan Paulo Freire patut mewarnai proses belajar.

Konsep ini mencoba mengintegrasikan tiga aspek utama itu; spiritual berbasis pesantren, teladan pawiyatan, dan dialogis. Namun konsep ini juga masih sangat terbuka untuk dikritik dan dikoreksi oleh siapapun yang memiliki concern terhadap pendidikan umum berbasis pesantren. Juga sangat terbuka bagi siapapun yang mengelola lembaga pesantren dan hendak menggelar sekolah formal yang efisien.

~

Nah, beberapa hari lalu, seorang teman lama semasa SMA menelepon, setelah bertahun-tahun tak pernah menjalin kontak. Dia diamanahi mengelola sebuah lembaga pendidikan pesantren tahfidh al-Qur'an megah di Tegal. Bangunan masjid dan asrama santri senilai enam milyar itu rencananya akan 'dilengkapi' dengan sekolah formal.

Namun tunggu dulu, katanya, alangkah sayang jika sekolah yang dibangun justru mengganggu tujuan primer pesantren, atau sekedar basa-basi sebagai sarana pencetak ijazah. Sering dia mengikuti tuangan ide-ideku tentang sekolahan di Facebook dan merasa cocok. Lalu dia mengajakku untuk terjun membangun bersama suatu bentuk sinergi antara pesantren dan sekolahan yang manusiawi, bukan basa-basi, dan murah tapi tak murahan.

Berhubung aku belum bisa terjun, maka kutanggapi ajakan kawanku itu dengan mengajukan konsep ini. Kukirimkan file proposal bentuk SMP ala pesantren yang telah disesuaikan dengan kurikulum diknas. Kalau cocok, ya bisa segera eksekusi. Kalau tidak, ya semoga beberapa hal mendasar tetap bisa diterapkan, semisal model pendampingan, efisiensi energi, pemahaman lokal kedaerahan, serta apresiasi ide dan karya.

Ah semoga tak sekadar jadi konsep bagai mendung di awang-awang, tapi turun menggemuruh bagai hujan yang membasahi bumi dan menumbuhkan bunga-bunga. Semoga bermanfaat.

~
Krapyak Yogyakarta, 21 Maret 2015

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya