Aku serasa bagai pendaki gunung yang hilang ditelan kabut. Kesasar di tengah rimba yang entah. Di tengah ketersesatan, aku melihat seonggok gapura berbatu penanda gerbang desa, nampak ada perkampungan di sana. Sepi, tua, dan berkabut. Aku masuk saja.
Tiada siapa-siapa di sana, hawa angker bikin sekujur badan merinding. Mungkin inilah yang disebut kampung setan di tengah gunung. Ya, apa mungkin aku sedang ‘diculik’ di kampung setan? Tapi, siapa yang menculikku? Lha wong aku nyasar sendiri ke sini.
Tiba-tiba kudengar suara adzan, suasananya gelap-gelap terang, nampaknya jamaah Shubuh mau digelar. Yang jelas, ada satu tempat yang terang benderang saat itu. Sebuah bangunan berbentuk pendopo joglo khas Jawa. Di sana ramai orang-orang berdatangan. Ah, mungkin itu surau kampung ini. Tapi, masa’ ada orang sembahyang di kampung setan?
Aku pun turut menghampiri bangunan itu. Benar saja, orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru dan mulai menata shaf-shaf jamaah shalat. Mereka adalah warga kampung sini yang entah darimana munculnya. Anehnya, dari sekian wajah yang kulihat, aku mengenali mereka sebagai orang-orang tak waras di kehidupan nyata. Orang-orang yang disebut gila, idiot, terbelakang, cacat mental, gendeng dan semacamnya yang sering berkeliaran di pinggir-pinggir jalan. Penampilan mereka lusuh, dekil, compang-camping, tingkah mereka pun aneh, ya khas orang-orang terbuang.
Oh, kalau ternyata ini adalah shaf-shaf jamaah shalat orang-orang terasing. Lhah, bagaimana denganku?
Cukup banyak barisan yang terbentuk, jauh lebih banyak dibandingkan barisan orang-orang waras di masjid-masjid mewah kala subuh. Jamaah berbaris rapi sambil menunggu imam datang. Aku penasaran, siapa yang jadi imam. Perasaanku mulai takjub, orang-orang yang berkumpul ini bukan orang sembarangan. Mereka orang-orang mastur (tersembunyi) dan dianggap ‘gila’ di alam wadag namun ‘waras’ di alam arwah, tidak bisa diatur oleh birokrasi alam lahir namun bershaf-shaf begitu teratur di alam batin. Tentunya imam mereka adalah sosok dengan kapasitas rohani yang luar biasa. Begitu pikirku.
Orang yang ditunggu pun datang. Ia bergamis dan berjubah hitam, mengenakan surban putih melilit kepala dan selendang krem tersampir mengitari pundaknya. Wajahnya tak asing lagi, cerah menenteramkan. Ah, kalau ini aku kenal! Habib Umar bin Hafidh!
Beliau berdiri di pengimaman, mengomando jamaah agar melurus-rapatkan barisan, lalu mulai takbiratul ihram sebagai penanda dimulainya shalat berjamaah. Suasana begitu tenang. Orang-orang ‘gila’ itu menebarkan hawa yang embuh, syahdu sekali. Seakan-akan aku sembahyang di ruang angkasa, menatap gugusan bintang dan galaksi. Ngeri-ngeri khidmat.
Selesai salam, aku menatap kanan kiri. Dan yang tertatap mataku saat itu bukan lagi rupa lusuh orang-orang ‘gila’ tadi. Mereka sudah ‘berubah’ berupa tubuh-tubuh bercahaya putih kebiruan memancar ke langit. Lalu aku terpental entah kemana, dan tersadar sedang berada di tengah sabana berkabut sebuah puncak gunung.
Kemudian aku terbangun di akhir malam, pukul empat menjelang fajar.
~
Kamis malam Jum’at (16-17/04/2015)
Kos Abu Dhabi, Krapyak, 17 April 2015
Tiada siapa-siapa di sana, hawa angker bikin sekujur badan merinding. Mungkin inilah yang disebut kampung setan di tengah gunung. Ya, apa mungkin aku sedang ‘diculik’ di kampung setan? Tapi, siapa yang menculikku? Lha wong aku nyasar sendiri ke sini.
Tiba-tiba kudengar suara adzan, suasananya gelap-gelap terang, nampaknya jamaah Shubuh mau digelar. Yang jelas, ada satu tempat yang terang benderang saat itu. Sebuah bangunan berbentuk pendopo joglo khas Jawa. Di sana ramai orang-orang berdatangan. Ah, mungkin itu surau kampung ini. Tapi, masa’ ada orang sembahyang di kampung setan?
Aku pun turut menghampiri bangunan itu. Benar saja, orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru dan mulai menata shaf-shaf jamaah shalat. Mereka adalah warga kampung sini yang entah darimana munculnya. Anehnya, dari sekian wajah yang kulihat, aku mengenali mereka sebagai orang-orang tak waras di kehidupan nyata. Orang-orang yang disebut gila, idiot, terbelakang, cacat mental, gendeng dan semacamnya yang sering berkeliaran di pinggir-pinggir jalan. Penampilan mereka lusuh, dekil, compang-camping, tingkah mereka pun aneh, ya khas orang-orang terbuang.
Oh, kalau ternyata ini adalah shaf-shaf jamaah shalat orang-orang terasing. Lhah, bagaimana denganku?
Cukup banyak barisan yang terbentuk, jauh lebih banyak dibandingkan barisan orang-orang waras di masjid-masjid mewah kala subuh. Jamaah berbaris rapi sambil menunggu imam datang. Aku penasaran, siapa yang jadi imam. Perasaanku mulai takjub, orang-orang yang berkumpul ini bukan orang sembarangan. Mereka orang-orang mastur (tersembunyi) dan dianggap ‘gila’ di alam wadag namun ‘waras’ di alam arwah, tidak bisa diatur oleh birokrasi alam lahir namun bershaf-shaf begitu teratur di alam batin. Tentunya imam mereka adalah sosok dengan kapasitas rohani yang luar biasa. Begitu pikirku.
Orang yang ditunggu pun datang. Ia bergamis dan berjubah hitam, mengenakan surban putih melilit kepala dan selendang krem tersampir mengitari pundaknya. Wajahnya tak asing lagi, cerah menenteramkan. Ah, kalau ini aku kenal! Habib Umar bin Hafidh!
Beliau berdiri di pengimaman, mengomando jamaah agar melurus-rapatkan barisan, lalu mulai takbiratul ihram sebagai penanda dimulainya shalat berjamaah. Suasana begitu tenang. Orang-orang ‘gila’ itu menebarkan hawa yang embuh, syahdu sekali. Seakan-akan aku sembahyang di ruang angkasa, menatap gugusan bintang dan galaksi. Ngeri-ngeri khidmat.
Selesai salam, aku menatap kanan kiri. Dan yang tertatap mataku saat itu bukan lagi rupa lusuh orang-orang ‘gila’ tadi. Mereka sudah ‘berubah’ berupa tubuh-tubuh bercahaya putih kebiruan memancar ke langit. Lalu aku terpental entah kemana, dan tersadar sedang berada di tengah sabana berkabut sebuah puncak gunung.
Kemudian aku terbangun di akhir malam, pukul empat menjelang fajar.
~
Kamis malam Jum’at (16-17/04/2015)
Kos Abu Dhabi, Krapyak, 17 April 2015