![]() |
Brosur SALAM |
Sepeda motor kami parkirkan di pinggir Jalan Nitiprayan. Untuk menuju SALAM, kami musti menyusuri jalan parit setapak berjarak seratus meter dari jalan aspal. Karena memang tidak ada akses kendaraan bermotor untuk sampai di sekolah itu. Jadi, tak akan terlihat jejeran mobil dan motor menyesaki badan jalan atau halaman sekolah, seperti yang sering terlihat di SD favorit selatan kampus UIN. Hehehe.
Hamparan sawah dan gemericik air sepanjang parit menyambut kami. Suasana ini cukup menyegarkan rasa gundah akibat keruwetan problem sehari-hari. Maknyes. Ada tiga blok gedung di sana, atau lebih tepatnya; ‘saung besar’. Tiap bangunan nampak adem dengan konstruksi bambu khas saung. Tiga bangunan itu mengitari halaman sekolah yang kerap dijadikan lapangan upacara, lengkap dengan tiang bendera bambunya.
Ketika kami datang jam setengah sebelas, suara lagu-lagu dolanan anak nyaring terdengar di lingkungan sekolah itu, diputar dengan pengeras suara. Saat itu wayah istirahat. Kebanyakan mereka menenteng piring dan sendok, rupanya itu saat makan bersama. Jadi sebelum pulang, mereka selalu dikenyangkan dulu dengan menu sehat yang disediakan pengelola sekolah.
Di sekolah ini, konon, untuk memanggil anak-anak masuk kelas bukan dengan lonceng atau bel, melainkan dengan lagi ini;
“Cah dolan dha mrenea, cah dolan dha mrenea, yo ayo padha kumpul pul, kumpul ..kumpul…..”
![]() |
Suasana kelas saung Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam |
Cewek pertama berkepang, bergelayut di atas tangga besi oval, cewek kedua berbaju pink sedang bermain entah apa di bawahnya. Aku mendekat dan bertanya,
“Hei, kamu sedang main apa?”
“Itu! Itu! Itu!” teriaknya sambil menunjuk-nunjuk sesuatu di awang-awang. Duh, jangan-jangan bocah ini indigo, bisa melihat makhluk gaib semacam kolor ijo?! Setelah kuamati betul-betul, oalah, ternyata ada ulat kecil yang menggantung dengan benang sutra, hampir tak terlihat.
“Aku makan yaaa,” kataku sambil membuka mulut siap mencaplok si ulat.
“Jangan jangan jangaaan!” seru si bocah.
“Lha kenapa?” tanyaku memancing. Dia malah mendekatiku, memepetkan telapak tangan dengan mulut ke telingaku, lalu berbisik,
“Mas, Mas, Mas.. Kenapa ya ulat nggak boleh dibunuh?”
“Wah kenapa ya?”
“Nantiii..” jelasnya, “Kasihan ibunya..”
“Ooh.. Iya ya. Tapi kalau ulatnya tetep mati gimana dong?”
“Ya nanti ibunya hamil lagi,” jawabnya polos, “Terus keluarnya dari sini,” lanjut si bocah sambil menunjuk anunya.
Duh, aku keselek! Lalu kuajak kenalan mereka, nama mereka panjang khas anak zaman sekarang. Si bocah kepang bernama Biru, si bocah ulat berbaju pink namanya Raisa, tapi lebih suka dipanggil ‘Pink’. Ah, ternyata mereka lagi jadi Power Rangers. Ya, akupun berpura-pura jadi Jason si Ranger Merah, mereka ketawa-tawa, senangnya.
![]() |
Saung selatan kelas Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) |
Mas Yudhis bercerita tentang sejarah pendirian SALAM. Sanggar Anak Alam adalah sebuah komunitas yang bergerak dalam bidang pendidikan. Didirikan pertama kali tahun 1988 di desa Lawen, Banjarnegara diinisiasi oleh Ibu Sri Wahyaningsing atau Bu Wahya. Komunitas belajar itu berawal dari kegiatan warga sekitar yang mencoba berdikari secara ekonomi dan pendidikan, kemudian berkembang menjadi wadah belajar bagi anak-anak yang manusiawi.
Bu Wahya ini istri Pak Toto Raharjo. Bagi jamaah Maiyah, Pak Toto dikenal sebagai moderator diskusi yang bisa bikin suasana gayeng jadi lebih gayeng. Pada 1996, Bu Wahya hijrah ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun 2000, beliau bersama suaminya, Pak Toto Raharjo, memulai aktivitas SALAM di Kampung Nitiprayan. Si sini, SALAM melakukan desain ulang agar sesuai dengan kondisi sekitar. Dibantu oleh beberapa relawan, SALAM mengadakan pendampingan belajar bagi anak usia sekolah, yang kemudian dikembangkan menjadi banyak aktivitas lain.
“Jadi, SALAM ini nggak sekedar sekolahan ya, Mas?”
“Nggak. SALAM ini adalah komunitas belajar. Buat semua orang semua rentang usia.”
Intinya, SALAM bergerak di bidang pendidikan dengan basis komunitas independen. Nah, bentuk kerjanya ada tiga jenis. Yang pertama ada sekolah, yakni mulai Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama. Yang kedua, ada Taman Belajar, yakni menggelar berbagai pelatihan Program Lingkungan Hidup yang meliputi produksi kompos, beternak, daur ulang kertas, dan briket arang. Ada pula Kegiatan Seni dan Budaya, berupa kegiatan teater, musik dan tari. Ada lagi Perpustakaan Anak, Jurnalistik Anak melalui media Halo Ngestiharjo dan Buletin SALAM . Yang ketiga, fundraising dengan pengelolaan produk hijau maupun donasi.
Sedangkan ranah sekolah yang digelar SALAM, misinya adalah mewujudkan ide-ide pendidikan alternatif, memberikan ruang seluas-luasnya kepada anak untuk saling berinteraksi, berekspresi, bereksplorasi menemukan pengetahuan, dengan memanfaatkan potensi lingkungan terdekat sebagai media belajar.
![]() |
Ruang kelas lantai atas Sekolah Dasar Sanggar Anak Alam (SALAM) |
“Konsep belajarnya,” jawab Mas Yudhis, “Kalau di sekolah pada umumnya masih memakai konsep sosialisasi.”
“Maksudnya?” kejar Sutri.
“Begini. Di sekolah, biasanya guru melulu menyampaikan dan terus menyampaikan apa yang sudah mereka pelajari sebelumnya, yang mereka dapatkan dari wacana-wacana orang yang entah siapa. Jadi, kegiatan yang terjadi di kelas adalah proses sosialisasi pengetahuan dari guru kepada murid,” terang Mas Yudhis, “Kalau di sini nggak gitu.”
“Lalu?” Neneng juga penasaran.
“Di sini anak-anak didampingi untuk riset. Guru, atau dalam istilah kami; fasilitator, bertugas mendampingi anak-anak agar menemukan pengetahuan melalui penelitian mereka sendiri secara mandiri. Jadi di sini, anak-anak tidak sekedar mendengar dan melihat, tapi ditemani untuk melakukan dan menemukan. Karena kalau kamu melihat, kamu lupa. Kamu mendengar, kamu ingat. Kamu melakukan, kamu paham. Dan kalau kamu menemukan sendiri, berarti kamu kuasai.”
“Wah berarti kayak di tempat kita ya, Fin!” sahut Wikan, teringat komunitas belajar Qoryah Thoyyibah tempat ia pernah belajar dahulu. Fina mengangguk mengiyakan.
“Proses pendampingannya itu gimana, Pak?” tanya Fina, pasti Mas Yudhis terperanjat karena disangka bapak-bapak. Kayaknya Fin nggak tahu betapa remuknya perasaan seorang pemuda kalau dipanggil dengan sapaan ‘Pak’, duh sakitnya tuh di sini.
“Di Sanggar Anak Alam,” kata Mas Yudhis, “Kami menyebut ‘fasilitator’ untuk para pendamping atau teman belajar anak. Anak-anak biasa memanggil fasilitator sesuai dengan kebisaaan di rumahnya, ada yang memanggil ‘Bu’, ‘Mbak’, ‘Mas’, ‘Pak’, ‘Bang’, dan yang lainnya. Tugas fasilitator yang mendampingi, mengenal anak-anak, dan memfasilitasi potensi mereka.”
“Mata pelajaran bagaimana?” tanyaku.
“Maksudnya?”
“Kalau di sekolah tempat saya pernah ngajar ‘kan ada jadwal mata pelajaran. Ada Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, macem-macem. Di sini bagaimana?”
“Oh, beda Mas,” terang Mas Yudhis. “Di sini bukan melulu sosialisasi, tapi lebih kepada mengapresiasi potensi anak-anak dalam menangkap pengetahuan baru. Misalnya gini ya, saya jadi fasilitator, kalian jadi anak-anak. Coba anak-anak, ada berapa meja di ruangan ini?”
Kami mulai menghitung.
“Sembilan!” seru Sutri sambil jingkrak-jingkrak guling-guling, betul-betul menghayati perannya jadi anak-anak, hehehe nggak ding.
“Sembilan ya.. Oke,” lanjut Mas Yudhis, “Kok bisa tahu?”
“Ya karena kami ngitung,” sahut Neneng si mata panda, hehe.
“Sebelum masuk ruangan ini tadi mejanya berapa?”
“Nggak tahu,” jawab Wikan, geleng-geleng sepolos bocah SD.
“Begitulah!” seru Mas Yudhis, “Anak-anak tahu keberadaan meja dan jumlahnya melalui riset yang mereka lakukan sendiri. Dari data yang mereka dapatkan itu, kita bisa ajak anak untuk menulis aksara ‘sembilan meja’ di papan tulis, itu sudah masuk Bahasa Indonesia. Dari data sembilan meja itu, kita bisa ajak anak-anak untuk main penjumlahan atau pengurangan, itu sudah masuk Matematika. Dari sembilan meja itu kita bisa juga tanyakan posisi dan ‘pemiliknya’, ini IPS, kewarganegaraan, bakan akhlak. Kita bisa juga ajak anak-anak untuk meneliti bahan untuk membuat meja dan bagaimana itu dibuat, nah ini sudah masuk IPA dan kerajinan tangan. Komplit, Mas! Jadi, tugas fasilitator hanya bertanya dan mengarahkan saja.”
Wah aku terpana. Inilah model belajar yang sebenarnya dirancang dalam Kurikulum 2013, yakni ketika satu mata pelajaran dikaitkan dengan elemen mata pelajaran-pelajaran yang lain. Namun karena basis filsafatnya sudah dikotomis, ya pada prakteknya bakal susah dan menyusahkan. Namun ternyata ini sudah dipraktekkan sejak lama di SALAM, ajaib!
![]() |
Suasana belajar di Sanggar Anak Alam (SALAM) |
“Untuk yang tingkat SMP bagaimana?” tanya Fina antusias.
“Ya agak berbeda. Tempatnya di seberang sana, tidak nyampur dengan anak-anak kecil di sini. Mereka lebih diarahkan pada karya, proyek pembuatan suatu karya secara gotong royong dengan kesepakatan bersama,” sahut Mas Yudhis.
“Peran orang tua sejauh mana? Adakah hubungan antara fasilitator di sini dengan orang tua siswa?” berondong Fina.
“Sangat vital!” tegas Mas Yudhis, “Peran orang tua adalah hal yang sangat kami tekankan di sini. Jadi setiap ada penerimaan siswa baru, yang kami seleksi bukan si anak, melainkan orang tuanya. Kami tanyakan kesediaan mereka untuk bekerja sama dengan kami dalam pendidikan anak-anak mereka. Karena SALAM bukanlah tempat penitipan anak, atau tempat servis anak yang mana orang tua kerap lepas tangan dan terima beres, bukan begitu. Makanya dalam proses pendidikan pun kami selalu melibatkan orang tua, entah di rumah maupun di sini. Inti pendidikan anak ya pada orang tua, sementara kami hanya menyediakan fasilitas saja. Jadi, kesepakatan-kesepakatan tentang target pencapaian anak, misalnya, ya orang tua juga harus ikut berperan. Sehingga tidak terjadi ketimpangan.”
“Waaah,” Neneng, Wikan dan Fina ternganga. Sutri masih melongo dengan pandangan mata kosong, kayaknya dia kesurupan deh.
“Model belajar semacam itu serta pendampingan yang dipraktekkan, sebenarnya tujuannya apa tho Mas?” tanyaku.
“Ya agar anak-anak mengenali diri mereka sendiri serta siap bersikap sesuai konteks yang dihadapi.”
“Ujian nasional bagaimana? Ada?”
“Ya formalitas aja, buat kesetaraan.”
“Naik kelas?”
“Selalu naik kelas.”
“Raport?”
“Semacam catatan evaluasi saja, tentang perkembangan dan kecenderungan anak.”
“Bukan nilai-nilai nominal?”
“Bukan,” jawab Mas Yudhis tersenyum.
![]() |
Suasana belajar anak-anak Sanggar Anak Alam (SALAM) |
Dua minggu sekali digelar upacara bendera. Model upacaranya pun unik, disesuaikan dengan kondisi, tak melulu baris-berbaris seperti di sekolah-sekolah formal. Ada kalanya dibuat dalam format games, sehingga lebih mengasyikkan dan kreatif.
“Bulanannya berapa, Mas? Tanya Fina menyelidik.
“Ada dua belas bulan dalam setahun,” jawab Mas Yudhis melucu, kayaknya dia mulai lapar. Hahaha.
Biaya pendidikan di SALAM ditetapkan sesuai kesepakatan orang tua dan fasilitator. Sehingga mereka rutin kumpul rembugan untuk membahas berbagai hal berkaitan dengan pendidikan. Misalnya untuk tingkat Taman Anak (TA), ada pertemuan bulanan forum orangtua. Dalam pertemuan ini, dibahas mengenai laporan keuangan pengelola Taman Anak SALAM, agenda kegiatan belajar mengajar, dan sharing dari masing-masing orangtua siswa tentang komunitas SALAM dan perkembangan anak-anak mereka. Dalam forum ini, orangtua dapat dengan leluasa menyampaikan usulan dan kritik kepada pengelola TA SALAM, serta berembug bersama-sama mencari kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi bersama.
“Dari pemerintah bagaimana Mas?” tanyaku.
“Apanya?”
“Ya barangkali sokongan dana dari pemda atau kemendikbud begitu,”
“Sampai saat ini belum ada.”
“Jadi pembiayaan betul-betul independen orang tua murid?”
“Begitulah. Tapi kami juga punya badan usaha yang menyokong kegiatan di sini, ya dua puluh sampai tiga puluh persen bisa menutup kebutuhan. Pernah juga sih kami dapat bantuan dari pemerintah, tapi bukan dari kemendikbud.”
“Terus dari siapa?”
“Dari kementerian lingkungan hidup, itu jadi alat produksi biogas, hehehe. Kami juga pernah dapat bantuan dari kedutaan besar Australia.”
“Wah malah dari luar ya,”
“Iya, hehe.”
![]() |
Kegiatan orang tua dan lingkungan di SALAM |
“Ya secara alamiah saja,” terang Mas Yudhis, “Kesediaan para petani yang membolehkan galengan sawahnya diinjak-injak anak-anak, petak sawahnya buat dolanan anak-anak, itu juga bentuk interaksi yang baik ‘kan. Jadi nggak perlu bikin sesuatu yang formal buat menjalin interaksi. Ya tapi tetap ada sih acara-acara tertentu. Dalam beberapa periode sekali, ada Pesta Panen Wiwit bersama masyarakat tani Nitiprayan. Ada pula Pasar Seni, nanti di situ ada bazaar, pementasan, ya macam-macam.”
“Jadi, singkatnya SALAM ini sekolah alam ya?” potong Sutri.
“Mmm, bukan sekolah alam sih, tapi ini adalah sekolah kehidupan,” pungkas Mas Yudhis sambil tertawa gembira.
Kami pun pamitan pulang, sebenarnya kami ingin melanjutkan perbincangan dengan Bu Wahya dan Pak Toto. Namun kondisi tak memungkinkan. Di satu sisi, kunjungan singkat ini semakin menambah kesegaran dalam jiwa dan pikiran kami tentang pendidikan yang manusiawi. Di sisi lain, semakin menyuburkan rasa penasaran kami tentang bagaimana teknis dan tata kelola di sana, serta kemungkinan penerapannya di panti asuhan maupun pondok pesantren.
Ah, insyaallah lain kali kami akan berkunjung lagi. Oiya, tentang SALAM ini, Pak Toto sudah menuliskannya dalam sebuah buku berjudul “Sekolah Biasa Saja”, biasanya dijual di momen-momen maiyah pitulasan Mocopat Syafa’at.
![]() |
Sampai jumpa lagi, SALAM :) |
Krapyak Yogyakarta, 25 April 2015.
*Foto: koleksi Fina & situs SALAM
[Rasanya baru kemarin April Mop, eh sudah akhir bulan, ah rasanya waktu berlalu begitu cepat]
ada yg bertanya Berapa info biaya nya? Bisa saya dapatkan info nya di kontak mana mas? Terimakasih
ReplyDeleteuntuk sekolah atau yayasan yang sedang mencari tempat untuk membeli cover ijazah, rapor, medali, trophy, plakat dll bisa buka website josouvenir http://pembuatanplakat-medali.com
ReplyDeleteBiaya nya berapa ?....
ReplyDeleteank2 sy mau sy pindah di sana semua