Jotos Raimu!

Ribuan kali kita tidur dan tak terhitung berapa kali kita bermimpi. Mengalami kehidupan sadar di alam lelap. Dari sekian banyak mimpi itu, ada yang langsung terlupa saat terjaga, ada yang terkenang begitu lama meski akhirnya pun dilupakan begitu saja.

Namun untuk mimpi yang satu ini, jelas akan kuingat terus seumur hidup.

~

Sebagaimana mahasiswa sok intelek pada umumnya, pemuda itu mencoba bersikap skeptis terhadap wacana apapun yang masuk. Demokrasi itu baik katanya, apa iya? Pancasila digemborkan sebagai harga mati, apa betul? Bahkan praktek ritual ibadah pun ia gugat. Betulkah semua ritual itu punya kontribusi positif terhadap kemapanan personal dan peran sosial? Atau justru semua itu hanya menjadi penghambat produktivitas, bahkan hanya menjadi legitimasi kesalehan pribadi yang kemudian mengakibatkan egoisme bertopeng reliji?

Kalau tentang keberadaan Tuhan, pemuda itu sudah tak ragu lagi. Ketika di kampung, ia rutin mengaji akidah di sebuah pesantren yang membahas teologi secara mendalam. Di sana, akal para santri ditempa secara serius agar bisa memantapkan keyakinan di dalam hati tentang keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Di pesantren ini juga ditekankan disiplin ritual dengan berbagai wirid dan amalan. Pada bulan Ramadhan 2007, sebulan lamanya pemuda ini merasakan nikmatnya tenggelam dalam suasana surgawi: penempaan akal dengan berpikir filosofis sekaligus olah batin dengan berbagai ritual.

Singkat kisah, empat tahun kemudian ia sudah bermukim di Yogyakarta. Menempati sepetak kamar bersama lima belas kawan lainnya, pesantren. Ya, ia tinggal di sebuah pesantren legendaris di kota pelajar itu. Tepatnya di satu komplek yang dihuni para penjaga kitab suci. Tentang keputusannya mondok di sini, ada di lain kisah yang akan ditulis di lain waktu.

Tak seperti pesantren bergaya klasik lain, komplek yang ia huni cenderung ‘bebas’ karena sebagian besar santrinya berusia dewasa. Kebanyakan sudah pernah mondok dimana-mana, lalu memungkasi dengan menghapal kitab suci di sini. Santri bisa belajar dan berkarya apapun asalkan tetap mematuhi jadwal mengaji. Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan pola hidup disiplin, tentu kondisi ini tak jadi masalah. Tapi bagi pemuda amburadul yang masih susah disiplin itu, kondisi ini jadi medan perang baginya. Ya, perang terhadap diri sendiri.

Di samping mondok, ia juga belajar ilmu pendidikan di kampus putih. Di situ ia mulai bersentuhan dengan berbagai wacana sosial humaniora dan tentunya filsafat. Ia mulai menggeluti asupan-asupan filsafat, mengasah logika dan dialektika, mempertajam kemampuan berpendapat secara lisan maupun tulisan. Hasilnya lumayan. Proses inilah yang kemudian melahirkan sikap skeptis pada dirinya.

Apakah shalat itu betul-betul bisa mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar? Ah tidak juga. Toh banyak orang shalat tapi masih saja dzalim, maling, bejat. Dan begitu banyak para dermawan, pengabdi masyarakat, orang-orang bijak, yang tidak shalat. Apakah shalat betul-betul bisa menenteramkan hati? Ah tidak juga. Ada banyak metode menenteramkan keadaan kejiwaan, itu semua hanya manipulasi psikis saja. Dan apakah betul orang yang meninggalkan shalat akan gersang hidupnya? Bagaimana bisa tahu kalau belum dicoba?

Maka ia pun bereksperimen, apa yang akan dirasakan jika satu bulan ke depan ia tinggalkan shalat? Tentu hal ini dilakukannya atas dasar empiris, yakni penelitian ilmiah. Toh dia pernah dengar ada kerabat kawannya yang bereksperimen hingga setengah tahun. Ada pula kawannya yang jarang shalat, bahkan ada kenalannya yang tak shalat sama sekali. Toh mereka tak apa-apa. Lagipula, gurunya di pesantren yang ia tempati juga tak akan tahu bahwa dia tak shalat.

Maka ia pun mulai uji coba dengan meninggalkan shalat shubuh. Ketika santri lain mulai turun ke masjid, atau ketinggalan dan kemudian berjamaah di kamar, dia tak beranjak dan tetap santai. Beberapa kawan memang menegur, namun mereka tak punya wewenang apa-apa.

“Sa’ karepmu,” mereka bilang.

Sehari dua hari memang terasa ada yang mengganjal. Serasa ada yang kurang, ada lubang yang kosong. Maklum, orang yang terbiasa shalat kemudian meninggalkannya seketika, tentu akan merasa ada hal yang hilang. Ini wajar, menurutnya. Setelah empat sampai lima hari, rasanya sudah biasa-biasa saja. Tidak ada rasa sesal atau kehilangan ketika meninggalkan shalat wajib. Maka pemuda ini mulai menemukan kecocokan dengan teorinya.

Namun, genap seminggu, terjadi sesuatu yang di luar jangkauan telaah pemuda itu.

Suatu malam menjelang pagi, pemuda itu kelelahan sebab seharian dan semalaman mobat-mabit berkegiatan tak jelas. Ia rebah di ‘ranjang emasnya’. Yakni ruang sempit di balkon belakang kamar pondok, beralaskan selimut untuk menghalangi dinginnya ubin, berkemul sarung dan berbantal buntalan baju kotor, ia tidur.

Baru saja lelap tertidur, tiba-tiba muncul seseorang yang sangat ia kenal, Kiai Ahmad Sa'idi, sosok kiai yang ia dulu mengaji ilmu akidah kepadanya. Kiai yang terkenal lantang di satu sisi, namun juga sering tersedu merindukan Sang Pencipta. Tanpa ba bi bu, kiai itu mendekat dengan tergesa-gesa, dengan wajah sengit dan penuh kemarahan, lalu mulai menghantamkan bogem mentah bertubi-tubi ke muka si pemuda.

Bak! Buk! Bak! Buk!

Tentu saja pemuda itu kelabakan, ia terkejut sekaligus kesakitan. Ia pun terlonjak bangun dari tidurnya dan menyadari langit sudah terang. Napasnya memburu, ngos ngosan seperti maling yang diburu massa. Keringat dingin membulir di dahinya. Entah dapat ilham dari mana, tanpa pikir panjang seperti biasa, ia langsung bangkit berwudhu. Lalu membenahi sarung, memakai baju koko lengkap dengan kopyah, kemudian mulai bertakbir untuk shalat Shubuh.

Sungguh pemandangan yang mengejutkan, kawan-kawan sekamarnya pun sampai kaget. Mereka menggodainya ketika ia shalat,

“Tobat nih yee..”

“Malaikat kok shalat..”

“Lhoh, jare wis dadi tuhan?”

Gonggongan-gonggongan itu tak ia hiraukan. Tubuhnya bergetar dan rasa takut masih melekat kuat. Selesai salam, ia lanjutkan dengan istighfar sebanyak-banyaknya. Lalu ditutup dengan layang fatihah bagi guru yang telah menjotosnya melalui mimpi.

Sejak saat itu, ia kembali melaksanakan shalat, namun masih berat dan bolong-bolong, atau sering qodho karena telat. Mungkin karena sudah seminggu meninggalkan shalat, membuatnya merasakan betapa ‘enaknya’ lepas dari shalat yang mengikat.

Dua minggu berlalu dengan kelakuan seperti itu, ia kembali bermimpi. Kali ini yang datang bukan kiai yang menjotosnya. Melainkan dua habib bersaudara tempatnya mengaji ilmu adab (tata krama keislaman) saat masih mukim di Jakarta, Habib Jindan dan Habib Ahmad.

Pemuda itu sedang berdiri di suatu jalan dekat rumah, ia mengenakan jubah, imamah dan atribut khas yang melambangkan ‘kesalehan’. Lalu ia melihat dua habib itu duduk di kursi belakang mobil, melewati kampung halamannya. Merasa gembira atas kedatangan guru, pemuda itu menyongsong dan menghampiri mobil dengan penuh antusias. Di samping pintu, ia menawari dua habib itu untuk mampir ke rumahnya. Namun entah mengapa, keduanya tak merespon, tak bersuara, bahkan wajah mereka melengos ke arah lain seakan tak sudi menatap wajah si pemuda.

Tawaran ia ulangi, dua kali, tiga kali, tetap saja tak digubris. Ia merasa heran, padahal jubah dan imamahnya sudah begitu bagus, putih bersih dan wangi. Namun kedua habib itu seakan jijik memandang wajahnya, seolah-olah wajahnya begitu kotor dan busuk. Terakhir, ketika pemuda itu mencoba menawarkan lagi, salah satu habib berkata kepada kakaknya,

“Ayo balik. Di sini bau!”

Pemuda itu terbelalak bukan main. Pedih tersayat-sayat hatinya. Dari tadi ocehannya tak digubris, lalu sekalinya berucap justru dihina. Mobil pun melaju pergi. Si pemuda tertegun dan mulai merasakan wajahnya menghitam, membusuk. Ia pun terlonjak bangun dari tidur sambil menggumamkan istighfar. Lagi-lagi langit sudah terang.

Sejak itu ia mulai memperbaiki kekeliruannya. Ia melanjutkan proses pendewasaan diri menuju keseimbangan dengan menambal sisi-sisi yang selama ini diremehkan, yakni spiritualisme tata ritual. Shalat fardhu mulai diakrabinya kembali, sesekali dengan shalat sunnah sebagai penambal lubang-lubang kekurangan.

Memang betul bahwa shalat dan berbagai ibadah ritual lain adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhan. Namun tetap saja ada keterhubungan tanggung jawab secara emosional dengan para guru, dan terutama dengan sang pembawa risalah, Rasulullah. Ketika hubungan itu sudah terjalin erat, maka akan ada apresiasi yang muncul atas beragam tingkah, baik pujian maupun teguran.

Nah, apresiasi yang didapatkan si pemuda atas tingkah polah sembrononya adalah teguran melalui mimpi. Hidup manusia tidak sekedar tersusun atas alam fisik yang kasat indera, tetapi juga alam spiritual yang punya anatominya sendiri. Bisa saja kau nampak cantik mempesona, gagah rupawan, rapi dan wangi, namun ternyata busuk jiwamu, gersang dan gelap batinmu. Atau sebaliknya, kau nampak dekil bak gembel, namun justru bercahaya jiwamu.

Make up jiwa itu adalah berupa lelaku spiritual yang dilakukan dengan anggota badan, proses menadah kucuran cahaya dengan membersihkan bejana fisik. Dan Islam melalui syariat yang dibawa Rasulullah sudah menyediakan fasilitas yang sangat ampuh untuk itu, yakni shalat.

Dalam Islam, shalat adalah ibadah yang tak bisa ditinggalkan. Selama indera kita masih bisa memahami percakapan, maka kita wajib mendirikan shalat, selemah dan seambruk apapun kondisi tubuh. Bahkan Rasulullah mewanti-wanti bahwa shalat adalah amal ibadah yang pertama kali akan ditimbang di akhirat kelak.

Memang terserah bagi siapapun untuk meninggalkan shalat, atau tata ibadah fisik lainnya. Namun atas tindakan semacam itu, ia harus menanggung konsekuensi berupa kekeroposan-kekeroposan batin yang bahkan ia sendiri tak pernah sadari. Kalau malas beribadah ya akui saja, dan ikuti dengan istighfar, tidak usah sok berkelit dengan berbagai alasan intelek, padahal nafsu terselubung. Apalagi dengan berbagai dalih dan kilah yang sebenarnya bersumber dari hawa nafsu berpoles intelektualitas itu kemudian mentolerir sikap-sikap serupa yang dilakoni ribuan orang lainnya.

Oh, tidak! Toleran memang harus, namun jangan sampai ada rasa rela atas pembangkangan dan kedurhakaan yang dilakukan orang lain. Itulah prinsipnya, karena toleransi pun harus berdasarkan pada ilmu. Nah, untuk menyadari hal-hal semacam ini, tentu saja jalur ilmu merupakan gerbang utama. Ngaji kepada guru adalah suatu keharusan dan kebutuhan mutlak.

Entah bagaimana nasib si pemuda jika beliau-beliau tidak menegurnya melalui alam jiwa. Entah sudah sejauh mana lorong gelap yang ia susuri jika tak dijotos dan dicaci, meski hanya dalam mimpi.

Puncaknya, ketika ia sedang sakit dan tergolek lemah di kamar, kiai yang mengasuh pesantren tempat jiwa raganya bernaung saat itu menegur. Kali ini bukan dalam mimpi, melainkan dalam keadaan jaga. Beliau tak tahu kalau santri pemalasnya itu sedang sakit, mengiranya masih tidur dan belum shalat shubuh padahal sudah masuk jadwal ngaji. Saat itu, Kiai Najib menendang pelan kaki pemuda yang terbaring itu sambil berkata,

“Sakit ya sakit, tapi ya tetep shalat.”

Masjid Al Munawwir Krapyak
 ~
Yogyakarta, medio 2011.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya