Sohib Story #7 ~ Jodoh Si Mbah

“Pokoknya Desember tahun ini aku harus udah lamaran!”

Begitu tegas Si Mbah, seorang kawan yang terbilang paling sepuh di antara kami. Awal tahun depan usianya genap menginjak tiga puluh. Malam ini ia nampak kacau galau, rona mukanya suram padam. Sebagaimana biasa, kalau dia sempat mampir di kosku berarti hendak curhat bermanja-manja. Maklum, di tempatnya tinggal, ia duduk di jajaran sesepuh yang dihormati para santri, sehingga tak memungkinkan baginya buat curhat bak remaja.

Ketika beberapa tahun lalu ditawari pilihan santriwati oleh gurunya, ia berkali-kali menolak. Saat itu ia merasa belum siap. Kondisinya sebagai sarjana muda yang masih pontang-panting mencari penghidupan membuatnya berkeinginan untuk ‘nglegakke’ orang tua. Wajar saja, pemuda seusia itu tentu ingin mandiri secara ekonomi. Maka tawaran-tawaran itu ia tolak.

Kini ia sudah berpenghidupan, dalam arti ada pekerjaan yang dilakoni sebagai ‘pangupo jiwo’. Ia pun sudah merasa butuh pendamping hidup, dan merasa sanggup menafkahinya, lahir batin. Ia punya rinsip untuk menikah sebelum berkepala tiga. Artinya, target jatah lajangnya tinggal hitungan bulan lagi. Tapi sayang, dia belum punya calon, dan apesnya belum ada tawaran-tawaran.

Ternyata ketiadaan calon inilah yang membuatnya galau. Terasa betul hawa ‘kesusu’ dari sorot matanya. Pengap betul atmosfer ‘grusa-grusu’ dari setiap ucap curhatannya.

“Hmmmmm…” aku menghirup napas panjang, menatap rona muka kawanku yang tertunduk lesu itu.

“Piye Quranmu?” tanyaku pelan.

Ia tersentak. Seperti orang yang tengah naik angkot dan teringat bahwa pintu rumahnya belum dikunci, bahkan masih terbuka dengan berbagai barang berharga di dalamnya. Lalu Si Mbah menggeleng dan mendengus sesal. Meski tanpa kata, tentu aku tahu maknanya.

Si Mbah ini adalah salah satu dari sekian banyak kawanku yang sudah khatam menghapal Al-Quran, tinggal dijaga. Siapapun paham bagaimana beratnya menjaga hapalan Al-Quran. Ya, penghapal Al-Quran bukanlah suatu hal yang patut dibangga-banggakan oleh si penghapal sendiri. Karena bagaimanapun, ia tidak hanya bertanggung jawab menjaga hapalannya itu, tetapi juga harus mengendalikan kondisi hati dan tingkah lakunya agar sesuai dengan apa yang sedang ia jaga.

Lima tahun lalu saat aku ketemu dia pertama kali, aku baru mulai menghapal sedangkan dia sudah khatam. Dalam tempo empat tahun, Si Mbah mengkhatamkan hapalannya, lalu enam bulan kemudian berani simakan tiga puluh juz bilghaib. Tentu saja hal ini selalu membuatku iri.

Pertanyaanku justru membuat Si Mbah tambah galau. Akhir-akhir ini Qurannya tak terpelihara dengan baik, katanya. Nderes pun tak sekonsisten saat awal-awal khatam dahulu. Belum lagi kelezatan interaksi dengan Quran yang dahulu begitu nikmat, kini terasa kering.

Tak bisa kubiarkan ia tenggelam dalam kegalauan demi kegalauan semacam itu. Maka kuingatkan kembali tentang apa yang sedang dan harus ia jaga dengan baik. Suatu kemuliaan yang tak boleh disia-siakan. Suatu tugas non-duniawi yang harus dinomorsatukan dari apapun, bahkan dari perkara jodoh sekalipun.

Lagi-lagi ia tercengang.

Iya juga, katanya. Kalau seorang penjaga kalam suci sudah ribet dengan berbagai urusan fisikal duniawi, semisal sibuk pekerjaan dan perjodohan, sedangkan Qurannya belum mapan betul, maka kacaulah tatanan. Apa yang dijaganya pasti akan terlantar, dan untuk memperbaikinya bakal sangat susah, melelahkan dan menguras energi begitu besar. Hampir seperti orang yang mulai dari nol. Begitu kata para senior.

“Mbah, kau butuh sowan. Kau butuh ziarah,” usulku saat ia mengeluhkan lunturnya semangat nderes.

Memang, untuk mempertahankan semangat nderes macam ini, seorang penjaga butuh kawan. Ketika ia sudah berada di luar komunitas para penjaga, maka mau tak mau dia harus terus menerus menjalin ikatan dengan para guru. Baik yang masih di alam dunia, maupun mereka yang telah sejahtera di alam barzakh. Karena hal ini, meski nampaknya sepele, bisa membangkitkan himmah yang sekarat, menyalakan bara yang hampir padam.

“Perkara jodoh, ada jatahnya Mbah,” kataku.

“Iya, ya. Pokoknya ta’ lancarkan lagi dulu Quranku ya,” sahutnya mulai agak cerah.

“Iya memang harus begitu! Kami-kami ini yang belum khatam aja tetangisan kok. Lha ente yang udah khatam kok malah disia-sia begitu?” sambungku yang memang belum apa-apa bila dibandingkan Si Mbah.

“Lha wong mereka yang nggak paham agama aja tenang. Masa’ ente yang paham hukum kok galau, Mbah,” cecarku sambil mengutip beberapa referensi tentang jodoh.

Bahwa ada dua tipe kondisi manusia dalam hal nikah. Ada yang bersedia, ada pula yang tidak atau belum bersedia. Orang yang tidak atau belum bersedia bisa disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah ketiadaan calon. Dalam tuntunan agama, orang yang sedang mengalami fase ini diarahkan untuk menyibukkan diri dengan ibadah. Baik ibadah mahdhah maupun muamalah. Namun tentu saja, bentuk ibadah paling utama bagi seorang penjaga yang sudah lumutan adalah memperbaiki hapalannya agar kembali lancar.

Si Mbah menegakkan punggung, “Iya, ya..” gumamnya.

Lagipula, lanjutku, perkara jodoh itu persis maut. Tak ada gunanya kita menggalaukan kapan tepatnya bakal mati, dimana akan dicabut dan bagaimana jenazah kita diurus, itu konyol dan tak produktif. Begitu pula tentang jodoh. Hal yang paling logis menghadapi kedua hal itu bukanlah mengangan-angankan variabel-variabel pasti, melainkan dengan bersiap-siap dan memapankan tanggung jawab. Adapun tanggung jawab utama para penjaga tentu adalah penjagaannya. Lagipula, mengharuskan ini-itu terhadap hak dan ambisi namun mengabaikan kewajiban yang semestinya ditunaikan adalah sikap kekanak-kanakan.

Si Mbah manggut-manggut. Aku tak berniat menggurui, tapi memang seseorang yang galau itu butuh banyak didengar dan sedikit-sedikit diingatkan tentang apa yang ia lupa. Khusus dalam kasus ini, adalah tentang tugasnya. Aku pun yakin, kalau amanah hapalannya sudah lancar betul, perkara lain semisal pencaharian dan jodoh pun bakal lancar pula. Tentu hal ini juga menjadi pengingat buatku yang masih nol besar.

“Memangnya apa sih hambatan yang bikin keteteran?” tanyaku.

Urusan pekerjaan tak begitu mengganggu nderes, jawabnya. Namun memang semangat untuk memulai lagi bukanlah hal yang gampang muncul begitu saja. Butuh proses perlahan. Apalagi saat ini godaan gadget semakin gemulai saja. Mulai dari beragam jenis media sosial hingga aplikasi games yang ada di smatrphone miliknya cukup ampuh membuatnya terlena. Dan ini, menurutku, tak hanya terjadi padanya, tetapi juga pada kebanyakan kawan-kawan penjaga.

Kelihatannya sepele memang. Namun bagi orang yang sudah kecanduan, kalau tak segera disapih, bakal betul-betul membelenggu dan memenjarakan. Tapi tentu saja, hambatan teknis ini bisa mudah diterabas jika satu pondasi dasar sudah dikokohkan, yakni: himmah alias semangat.

Sebelum dia berpamitan pulang, kutanyakan lagi tentang resolusi lamarannya di akhir tahun. Ia menggeleng sumringah, sambil berujar mantap;

“Ganti prioritas!"

"Apa?"


"Pokoknya Desember tahun ini Al-Quranku harus sudah mbalik lancar!”

~

Krapyak, Malam Jumat 8 Ramadhan 1435 / 26 Juli 2015

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya