Surah Al-Mu'awanah (?)

Selepas mujahadah nariyahan di aula pondok sampai tengah malam, lahir batinku terasa lebih segar, sebagaimana dirasakan kawan-kawan santri lainnya. Sejam kemudian mataku mulai ngantuk dan tubuhku pun sudah mengajak rebah.

Wuzzz!

Tiba-tiba aku berada di tengah ruang masjid, suasananya seperti masjid pondok Krapyak, aku menghadap seonggok bangku kecil dengan mushaf terbuka di atasnya. Dalam mimpi itu, aku langsung sadar bahwa aku sedang berada di momen tadarusan malam Ramadhan. Memang mimpi sering datang silih berganti, namun mimpi-mimpi yang kuanggap istimewa patut dicatat agar tak lupa. Kriteria mimpi yang istimewa adalah terasa jelas sejelas kenyataan di saat jaga, termimpikan dalam keadaan tidur yang baik, lebih istimewa lagi jika suci dari hadats.

Nampaknya sudah giliranku membaca, akupun maju mendekati mushaf. Di sana terlihat dua halaman mushaf yang terbuka. Halaman sebelah kanan sudah dibaca, sebelah kirilah bagian yang akan kudaras. Tertulis di baris paling atas: Surah al-Mu’awanah (artinya: pertolongan). Saat itu pun aku mulai merasa aneh, nama surah ini tidak ada di Al-Quran.

Lalu setelah baris judul dan basmalah, ada baris-baris ayat sebagaimana di dalam Al-Quran. Namun baris pertama surat tersebut sangat susah dibaca. Tidak berharakat dan susunan hurufnya tidak lazim, bukan kata-kata populer dalam bahasa Arab. Baris-baris setelahnya, kulihat, normal-normal saja, mudah dibaca. Tapi bagaimana aku bisa melanjutkan membaca baris-baris di bawah kalau baris pertama saja belum dibaca?

Akupun mulai mengeja huruf demi huruf baris pertama Surah Al-Mu’awanah itu. Mikrofon tertodong di depan mulutku. Ketika aku maju mendekati mushaf, ada rasa ‘menggampangkan’ apa yang akan kubaca karena sudah belasan tahun membaca Al-Quran. Tapi begitu menghadapi momen itu, sikap ‘rumongso iso’ itu runtuh. Aku terbata-bata, seperti orang yang buta aksara dan belum terbiasa membaca Al-Quran sebelumnya.

Secara sembarangan, kubaca baris pertama itu bolak-balik sambil kukira-kira bagaimana tepatnya. Tentu saja suara bacaan amburadulku terdengar ke seantero lingkungan sekitar masjid. Didengar oleh para santri lain dan Romo Kiai pula. Orang-orang yang duduk di belakangku mulai tak nyaman, “Sudah, sudah..” tegur mereka. Akupun menyudahi bacaanku, mundur.

Nampak dalam mimpiku, ruangan lain di ndalem Romo Kiai. Beliau yang mengenakan baju batik dan peci hitam sedang berbincang dengan seorang santri senior, entah siapa, sebut saja ‘Kang Santri’. Di tengah perbincangan, mereka berdua menyimak bacaan sumbangku dari speaker masjid. Merasa ada bacaan yang aneh, beliau memerintahkan Kang Santri untuk memeriksa. Maka ia pun bergegas menuju masjid dan menemuiku.

“Kang, siapa yang tadi baca?” tanya Kang Santri.

“Saya,” jawabku pelan.

“Lha kok gitu bacaannya?” telisiknya.

“Wah gimana ya,” aku bingung. Kemudian kutunjukkan padanya halaman mushaf yang kubaca. Ia pun mulai duduk bersila dan mengamati halaman itu. Lama sekali Kang Santri mengernyitkan dahi.

“Gimana, Kang?” tanyaku balik.

“Wah, susah ini,” jawab Kang Santri geleng-geleng. Akupun hanya melongo dan mulai curiga, jangan-jangan mushaf yang kubaca salah cetak, atau bahkan palsu.

Pagi hari aku terbangun dalam kebingungan, menerka-nerka, penuh tanya. Lalu mulai kuurai. Aku sering mengandaikan bagaimana agar bisa melihat diriku dari luar diriku sendiri, berhubung tak punya ilmu ragasukma, mimpi adalah salah satu jalannya.

Melalui mimpi, kita bisa melihat diri sendiri melalui perspektif luar diri. Bahkan kita bisa melihat kondisi seseorang yang tidak kita ketahui secara inderawi, entah berkaitan dengan masa lalu, masa kini maupun masa depan. Nah, di dalam suatu mimpi istimewa sejelas itu, tentu ada variabel utama yang menjadi pesan pokok yang perlu ditindaklanjuti, dan ada variabel-variabel imbuhan yang sekedar menjadi bunga-bunga tidur.

Ramadhan (bulan mulia), Tadarus (resitasi ayat suci), Rumongso Iso (merasa bisa), Al-Mu’awanah (pertolongan), Romo Kiai (guru spiritual), adalah variabel utama yang perlu kurenungkan betul-betul. Bagiku, mimpi ini tentu saja menjadi pelajaran berharga, berisi teguran dan persiapan menyambut datangnya bulan mulia.

Agar lebih mengencangkan ikatan sarung, yakni deresan Al-Quran yang memang menjadi tujuan utamaku datang ke Jogja. Agar mulai belajar menggempur habis-habisan ego, sifat merasa bisa, dan beragam variasi ‘rereget ati’, bahwa tidak ada secuil hal pun yang bisa dilakukan tanpa pertolongan dari-Nya, bahkan dalam bidang yang dikuasai dan digeluti sekalipun. Serta agar mulai mengeratkan kembali rabithah suhbah dengan guru, yakni pertemuan langsung sebagai bentuk penguatan sinyal-sinyal jiwa, karena memang sudah lama tak setoran sebab kerapuhan fisik yang terlalu dimanja.

Dalam khazanah kesantrian, pertemuan fisik dengan guru adalah hal yang sangat penting. Baik dalam rangka transfer ilmu secara teknis, maupun sekedar tegur sapa sowan. Semua bentuk interaksi itu menjadi proses ngaji yang tak bisa diperoleh melalui buku maupun media-media secanggih apapun. Bismillah.

Simak aku, Sayang.
~
Selasa Wage, Sya’ban 1436 / Juni 2015

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya