DI ATAS PERADABAN ~ Jalan-jalan ke Tuwel

“Di deket rumahku ada bendungan juga lho, Om,” ujar Bimo ketika menerangkan lokasi rumahnya. Saat itu mobil yang kami kendarai sudah memasuki wilayah Kendalsari, Pemalang.

“Wah, berarti akeh iwak e yo, Mo!” sahut Mukid dengan antusias, sambil pandangannya tetap fokus ke depan agar laju mobilnya stabil. Maklum, banyak jalan berlubang di daerah ini.

“Iyo, Om. Tapi mancing ning kono ora entuk polisi lho!” jawab Bimo.

Mukid terperanjat, “Lha kok iso?!” kini ia melotot ke arah Bimo yang duduk di sampingnya. Aku pun, mau tak mau, ikut tertarik dengan pernyataan Bimo. Talkhis yang duduk bersebelahan denganku pun mulai mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa warga tidak diperbolehkan polisi mancing di bendungan mereka sendiri? Jangan-jangan pernah ada kasus kecelakaan yang fenomenal sehingga melahirkan aturan itu. Dalam dua detik banyak kemungkinan berseliweran di kepala kami. Semua penasaran menunggu penjelasan dari Bimo.

“Hehehe,” Bimo ngekek. Wah, ini pasti ada yang nggak beres, benakku. Dahi Talkhis makin mengernyit sembilan lipatan.

“Yo mosok mancing entuk polisi,” kata Bimo, “Mancing yo entuk iwak to, Om..”

“Jiaaancuuuuuuuuk!” teriak Mukid merasa digobloki. “Asyuuuuuuu!” tak kalah seru misuhku. Talkhis terpingkal-pingkal sampai kaku perutnya. Kami ngakak berjamaah. Aku mulai membayangkan ada orang mancing entuk (dapat) polisi, mak jedul dari dalam sungai. Jancuk tenan.

Dari sekian lama pergaulanku dengan Bimo, ini kali pertama dia bisa melontarkan joke yang berhasil bikin kami ngakak. Biasanya selalu saja garing dan cuma dia yang ketawa. Ini menunjukkan bahwa Bimo sudah naik level. Di tengah gelak tawa kami, Pram yang duduk di jok belakang terbangun dari tidurnya sambil melongo, “Ono opo to?”


Lima jam perjalanan Jogja-Pemalang via Parakan. Kami meluncur dari Krapyak hari Sabtu (23/5) jam setengah empat pagi, mampir subuhan di Masjid Agung Temanggung, dan sampai di tujuan jam sembilan pagi. Hari itu memang sudah kami agendakan khusus buat jalan-jalan, refreshing sambil sambang silaturrahmi. Rencananya, ada 8 penDuduk Selingkar yang hendak ikut. Namun tiga gugur, sisanya tinggal lima orang: Bimo, Mukid, Pram, Talkhis, dan aku.

Destinasi pertama ke rumah Bimo, kami berhasil ketemu ibunya, namun gagal ketemu bapaknya karena beliau masih sibuk berburu batu akik. Hehe, nggak ding. Foto Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki terpampang di ruang tengah rumah Bimo, di situ pula berserak dampar-dampar kecil yang biasa digunakan anak-anak mengaji. Ternyata bapak Bimo ini memang guru ngaji di kampungnya.

Setelah sarapan, pukul sebelas kami cabut dari Kendalsari dengan membawa sangu pisang rebus dari ibu Bimo yang baik hati. Kami lanjut menuju Tegal, mampir ziarah makam Mbah Nur Durya di Desa Walangsanga Moga, bermalam di tanah kelahiranku Desa Tuwel, keliling menikmati pemandangan dari atas bukit Pekandangan Guci, dan berendam air panas di curug Sigeong. Dalam perjalan-jalanan ini, Bimo absen karena kangen dengan biyungnya, tinggal empat penDuduk yang ikut. Siapa saja mereka? Check it out!

~

MUKID



Namanya Zainal Muhidin, tapi bukan Haji Muhidin musuhnya Haji Sulam lho ya, biasa dipanggil Mukid. Dialah yang mencetuskan ide jalan-jalan ke Tegal. Mungkin karena sedang cari inspirasi untuk penyelesaian skripsinya, atau ingin kabur sejenak dari kejaran para muslimah yang minta dikawininya, entahlah. Perjalan-jalanan kali ini diakomodasi oleh Mukid sepenuhnya. Panther yang mengangkut kami, ia sopiri dengan beringas. Setiap lubang di jalan, dia libas. Dadaku mak cekot-cekot tiap melewati tikungan tajam menurun. Aku curiga dia alumni Sumber Kencono.

Cowok kelahiran Grobogan Purwodadi ini selalu saja berdecak kagum setiap melewati persawahan. Apalagi melihat ibu-ibu dan bapak-bapak sedang matun di sawah, setia dengan tanam-tanaman mereka. Kata Mukid, ukuran orang sukses adalah ia yang berhasil atas dirinya sendiri, berhasil dengan kesetiaannya berproses, menjaga dengan sabar apa yang ia tanam dan semai, berhasil menaklukkan keinginan-keinginannya, berhasil menemukan damainya kerelaan yang ada di hati dan kehidupannya.

Sukses tak seperti yang dikoarkan para motivator di seminar-seminar motivasu, katanya. Bukan tumpukan duit ukuran kesuksesan, maupun bengkaknya rekening. Bukan pula gelar berderet-deret maupun aset-aset hartawi. Maka, orang-orang yang sedang rehat di gubuk tengah sawah sambil bersenda gurau itu, bisa jadi adalah orang yang sangat sangat sangat sukses.

Mereka tidak mempedulikan terik, kotor, apa lagi gengsi yang biasa diderita oleh para pemuda. Mereka sedang bekerja. Cangkul, arit, tanah, debu, lumpur, kerikil, terik, angin, dan panas menyatu bersama mereka. “Gagah tenan!” berkali-kali gumam Mukid.

Siap-siaplah untuk hancur, ancam Mukid, jika sewaktu-waktu seseorang berani mengacuhkan atau meremehkan orang-orang seperti mereka. Yang bagi sebagian orang hanya dianggap sebagai orang kasar, tidak tahu landasan teori, referensi, kata-kata ilmiah, SKS, karya sastra, tidak paham teknologi, dan semua cap kerendahan dan pinggiran yang sengaja disandangkan oleh orang yang merasa diri lebih.

Tidak ada satupun di bumi ini yang berhak untuk diremehkan! Ini seperti lingkaran; tidak ada yang lebih tinggi, tak ada pula yang lebih rendah, tak ada yang terdepan, tak ada pula yang terbelakang. Ini persis seperti Selingkar, wuidih!

Entah mengapa Mukid begitu on fire berorasi, mungkin sebab sajak kemanusiaan Cak Nun yang berulang-ulang diputar di tape mobil, menyelingi dendang Campursari dan Dangdut Koplo yang menemani perjalan-jalanan kami.

~

TALKHIS



Fotomaniak satu ini nampak begitu menikmati jalan-jalan. Sepanjang perjalanan ngakak terus. Dia begitu antusias menyimak cerita-cerita yang dikisahkan Pramono. Bukan hanya karena keabsurdan cerita-cerita itu, atau gaya bercerita Pram yang memang asik, tapi sebab si pengisah memang mengalaminya. Bukan bualan ‘kulak jare adol jare’ sebagaimana sering orang-orang lontarkan.

Pemuda asal Pedurungan Semarang ini menelisik eksistensi madrasah di kampung-kampung yang kami singgahi. Menurutnya, madrasah adalah tonggak penting pendidikan agama di desa-desa, baik madrasah yang menginduk di pesantren maupun independen.

Di Kendalsari, kampung Bimo tinggal, tak ada madrasah. Ngaji dilakukan secara kultural, itupun sebatas ngaji bacaan Al-Quran serta pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak di masjid kampung yang baru berjalan setengah windu belakangan. Pemuda bisa baca Quran adalah suatu hal yang wow, kata Bimo. Maka bapaknya berjuang untuk menyemai bibit-bibit masa depan desa itu, yakni dengan mulang ngaji anak-anak kecil tiap sore, tanpa absensi tanpa gaji.

Melewati Moga, kami melihat bangunan madrasah yang begitu megah dan ramai, Madrasah Salafiyah namanya, saat itu sedang ada acara imtihan atau purnasiswa. Tentu pemandangan ini sangat kontras dengan kondisi pendidikan agama di Kendalsari. Kesuburan madrasah tentu dipengaruhi orang-orang di daerah itu. Seperti halnya di Tuwel.

Di kampungku, kehidupan beragama memang begitu kental terasa. Mulai dari taman pendidikan Al-Quran buat bocah-bocah imut nan empuk, ngaji deresan tiap bakda maghrib, madrasah diniyah sore buat remaja, jamiyah rutin pekanan para pemuda, pengajian bandongan bakda subuh di musola-musola, geliat pesantren-pesantren sekitar desa, simakan Al-Quran dan Dzikrul Ghofilin bergilir tiap bulan, hingga majlis tarekat orang-orang tua.

Budaya nyantri pun masih dipertahankan hingga kini. Mungkin inilah yang menyebabkan masih terjaganya nuansa adem ayem tentrem di kampung kami. Kebanyakan mondok di Jawa Timur, entah Ploso atau Lirboyo. Dan setelah pulang kampung, mereka inilah yang menjadi motor penggerak keberagamaan di desa dan terus mempertahankan nuansa relijius kampung dari generasi ke generasi. Kalau menurut istilah Talkhis, dengan kondisi seperti ini, satu desa sudah menjadi pesantren seluruhnya. Semoga tetap terjaga.

~

ZIA

Ya, ini aku sendiri. Ajakan Mukid untuk dolan ke Tegal tentu kusambut dengan gegap gempita, sudah setengah tahun lebih nggak pulang. Aku pangling dengan keadaan kampung. Beberapa kawan sudah nampak momong bayi, wajah para tetangga mulai nampak menua. Kebun belakang rumah yang sempat kujadikan taman kini berubah jadi kandang ayam. Saluran air yang dulu memanfaatkan tampungan bak desa, telah berganti jadi PAM langsung dari gunung. Peternakan ayam kelolaan Mas Yus di utara Kali Gung sudah nambah bangunan.

Tentu saja kesempatan pulang ini kumanfaatkan buat kangen-kangenan dengan keluarga. Di ruang tengah, ibu bapak mengajak rembug tentang kelanjutan pendidikan adik perempuanku. Sebagai tunarungu berbakat yang baru lulus SMA-LB, tentu musti ketemu wadah untuk mengembangkan dan menyalurkan bakat lukisnya. Universitas Brawijaya menjadi pilihannya, jurusan Seni Rupa Murni yang nampaknya akan dia ambil.

Ibu mengutarakan cita-citanya untuk ngopeni anak-anak difabel di rumah. Minimal menggelar pengajian untuk anak-anak berkebutuhan khusus, agar mereka juga mengenal Allah dan Rasulullah, melaksanakan ibadah yang menjadi keniscayaan makhluk ciptaan Tuhan. Sekaligus sebagai wadah pendidikan alternatif untuk mengembangkan potensi diri anak-anak difabel. Bapak mengamini betul-betul, katanya, alangkah mulianya orang yang mau bermanfaat bagi orang lain dan medan juang ini jarang digarap orang. Khususnya di Tegal.

Kebetulan saat itu sedang tayang sosok pendidik difabel di Kick Andy. Kebetulan adik perempuanku tunarungu sejak lahir dan dia berkali-kali juara melukis, baik tingkat kabupaten maupun nasional. Kebetulan almarhum adik ayahku tunanetra sejak belia dan dia sanggup menghapal Kitab Suci Al-Quran dengan begitu lancar. Kebetulan aku nyemplung di pesantren dan tertarik dengan tema pendidikan alternatif. Lalu kupikir-pikir lagi, itu semua bukan kebetulan. Maka bapak mendorongku untuk sinau tema ini mumpung masih di Jogja. Siap!

~

PRAM

Nah ini dia man of the match kali ini, Pramono. Perawakannya subur mededet, persis jasad yang baru ditemukan seminggu setelah hilang di gunung, atau seperti petarung tinju yang usai dihajar habis-habisan oleh lawannya. Selama di Tuwel, dia ini yang paling banyak ditanggap untuk berkisah. Bakan kakak sepupuku, Mas Arafat, dan kakak kelasku, Kang Jaya, terpana menyimak kisah-kisah pemuda Kenjer Wonosobo ini.

Kampungnya, kata Pram, adalah satu-satunya kampung di Indonesia dimana orangnya berani mengumumkan ajakan tawuran via toa masjid. Kampung dimana orang-orangnya bisa bentrok dengan brimob dan tetap menang. Kampung dimana orang-orangnya sering tawur hingga bakar rumah namun tetap poyan (minta izin) kepada si empunya rumah. Kampung dimana para gentho yang marah-marah siap tawur dan tak bisa dihentikan oleh polisi maupun lurah sekalipun, masih mau manut, mingkem dan membubarkan diri ketika diceramahi pak kiai.

Tarkam alias Liga Bola Antar Kampung adalah event jos gandos dwitahunan di kampungnya. Memang pertandingan hanya level kampung, namun pemainnya sekelas ISL. Banyak pemain-pemain klub besar yang dibon untuk sekedar berlaga di Tarkam ini semisal Gendut Doni dan Bambang Pamungkas. Tentu saja liga ini mengundang banyak saudagar untuk taruhan. Hadiah utama pertandingan yang hanya lima sampai sepuluh juta, masih kalah jauh dengan taruhan yang bisa sampai satu milyar, nah di sinilah letak gengsinya.

Pertandingan pun tak sepi dari ulah ganas suporter. Pemain dikeroyok jadi bulan-bulanan adalah pemandangan biasa, maka polisi pasti selalu dikerahkan dan siap siaga. Selepas pertandingan, tawur antar suporter kemungkinan besar selalu meletus.

Menjelang pertandingan, sang korlap akan mengumumkan lewat toa masjid, “Bagi yang merasa berjiwa muda! Mari saksikan laga pertandingan klub kampung kita sore ini! jangan lupa bawa peralatan seperlunya!” Tentu kita paham apa yang dimaksud dengan ‘perlengkapan seperlunya’ dan untuk apa penggunaannya.

Pram juga berkisah tentang tetangga-tetangganya yang tak kalah absurd. Tentang Kompreng, sosok santun dan gemar menolong yang kabur ke Kalimantan setelah menggadaikan sertifikat tanah warga. Tentang Pak Haji Evi Abdurahman Saleh, orang terkaya di kampungnya yang mampu mengobati berbagai penyakit selain penyakit warga kampungnya sendiri.

Di Wonosobo memang masih banyak orang-orang ‘ampuh’ dengan ilmu-ilmu semacam itu. Pram sendiri mengalaminya. Pernah di semester muda, dia tersiksa sakit gigi. Pipi kanannya bengkak, bikin mukanya tambah bubrah. Kesana kemari dia periksa, berbagai jenis obat dia tenggak, sama saja. Beberapa minggu tak kunjung sembuh, hanya gulang-guling di kamar kos saja kerjaannya.

Prihatin dengan kondisi putranya, ibu Pram menyuruh anaknya itu pulang. Mau diajak berobat, katanya. Pram kira, ibunya akan mengajak ke rumah sakit. Tak disangka, ia malah diantar ke rumah Mbah Dullah, seorang sepuh nan saleh yang kerap jadi jujugan warga Wonosobo untuk berobat.

Sebagai orang yang tak percaya hal-hal ‘begituan’, Pram tentu saja kaget. Tapi dia tak bisa menolak karena sudah kadung sampai di lokasi, dan tak enak hati kepada ibunya yang sudah repot-repot mengantar. Tiba gilirannya, Pram duduk di hadapan Mbah Dullah sambil memegang pipinya yang bengkak.

“Waah, kiye kena sambang,” ujar Mbah Dullah. Sambang maksudnya adalah menyentuh makhluk halus yang menyebabkan giginya sakit. Pram geli dalam hati, ah masa iya, batinnya. Kemudian Mbah Dullah memulai pengobatan, kaki Pram dipegangnya. Ada satu titik di betis Pram yang ia pijat.

“Adduuuuh!” erang Pram. Rasanya betul-betul sakit, katanya. Titik itu terus dipijat Mbah Dullah, kemudian lengan Pram dipadukan di belakang kepala, lalu diapitnya sehingga bunyi ‘kriyek’ tulang-tulang Pram.

“Wis, keprige rasane?” tanya Mbah Dullah.

“Rasa nopone, Mbah?” tanya Pram, heran. Masa’ belum diobati kok sudah ditanya rasa.

“Ya untumu. Jal ditapuk-tapuk.”

Pram menurut, ditampar-tamparlah pipi kanannya. Ajaib! Tak terasa sakit sama sekali. Bengkaknya pun perlahan kempes. Hampir tak percaya, terus ia tampar pipinya berkali-kali hingga sadar betul bahwa giginya sudah sembuh!

Wealah Pram, kampungmu betul-betul di atas peradaban!

~
Sambel Kothok (kiri bawah), Tempe Goreng, Sayur Sop, Cocol Kecap Tomat
~
Yogyakarta, 27 Mei 2015

3 Comments

  1. Mbah Dullah Kenjer WSB ya?
    Almt lgkpe prige kang.. mbokan inyong pas sowan mbahbuyute anakku (kalibeber)

    ReplyDelete
Sebelumnya Selanjutnya